Hubungan Antar-Agama: Dimensi Internal dan Eksternalnya di Indonesia
Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid
Hubungan antar-agama di Indonesia selama kurun waktu 30 tahun terakhir ini telah berkembang dalam berbagai dimensinya, yang secara kualitatif telah merobah, dan pada saat yang sama dipengaruhi oleh perkembangan pemikiran keagamaan di kalangan umat beragama itu sendiri. Hal ini minimal dapat ditelusuri pada pemikiran keagamaan kaum muslimin atau umat Islam, dalam sosoknya yang tampak balau pada saat ini. Tulisan ini dimaksudkan untuk menelusuri beberapa sisi yang dapat dilihat pada dimensi teologis dan dimensi politis dari hubungan kaum muslimin yang “mewakili Islam” dan umat beragama lain. Pada akhir tulisan akan dikemukakan beberapa aspek yang dapat diproyeksikan pada perubahan yang terjadi dalam pola hubungan antar-umat beragama yang ada pada saat ini.
Sebagaimana telah diketahui dari sejarah bangsa kita, Islam datang di kawasan ini dalam bentuk dan corak yang heterogen. Dalam garis besarnya, Islam datang kemari dalam bentuk utusan-utusan politik, para pedagang dan para sufi. Utusan politik dari sumber-sumber Islam di negeri lain dapat dilihat, umpamanya, pada heterogenitas gelar para penguasa muslim di negeri ini. Kerajaan Ternate, dengan raja pertama Mubarak Syah, jelas merupakan “utusan” dari penguasa-penguasa bergelar sama yang datang dari Asia Tengah, Persia, dan kawasan Afghanistan. Gelar Almalikus Shaleh, yang disandang raja-raja muslim di Aceh, menunjukkan nenek moyang mereka berasal dari lingkungan penguasa dinasti Ayyubid (Ayyubiyin, dengan tokoh utama Salahudin Al-Ayyubi atau Aaladin The Saracen) dari wilayah Turki, Syiria sekarang ini. Gelar “sultan” menunjukkan hubungan dengan para sultan di India, kalau tidak langsung dari jantung kerajaan Abbasiyah di Bagdad, Irak.
Nama kata-kata seperti Pasai, Jayakarta (fathan mubinan), Bonang, dan Demak menunjukkan asal usul geografis yang sangat beragam dari pusat pemerintahan Islam di seluruh kawasan Cina, Asia Selatan, Asia Tengah, Asia Barat, dan Afrika Utara. Tidaklah mengherankan jika nama-nama yang umum dipakai di sini merujuk kepada daerah-daerah yang menjadi pusat-pusat pemerintahan Islam atau sumber gerakan-gerakan besar dalam Islam. Nama-nama seperti Dimyati, Hamdani, dan Sayuti menunjukkan pada kota-kota seperti Damietta di Mesir, Hamdan di Iran, dan Aisut di Mesir. Nama Asmoro Kendi sangat populer di Jawa Timur, merujuk pada Syeikh Ibrahim Samarkan di Asia Tengah, yang menyebarkan agama Islam di berbagai tempat di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Bahkan ada yang menyatakan bahwa tokoh legenda Ki Ageng Selo, yang terkenal bergelar Penyambar Petir, tidak lain adalah tokoh politik yang berasal usul Tabarqah (Toburk) dalam bahasa Barat di Libya. Nama daerah kota Tabarqah ini diambil dari istilah barq dalam bahasa Arab, yang berarti petir.
Demikian juga peristilahan politik yang masuk kemari dari khazanah Islam yang berasal usul heterogen, menunjukkan pluralitas yang tinggi. Gelar seperti Wazir, modin (singkatan imamuddin), sultan, syahbandar, dan sebagainya, menunjukkan ragam jabatan pemerintahan yang berasal dari berbagai dinasti kerajaan Islam. Tidak lupa pula, hukum-hukum agama Islam (fiqih) menunjukkan keragaman asal usul politik Islam di Timur Tengah, Asia Tengah, dan Asia Selatan. Pejabat pelaksana hukum agama Islam dengan gelarnya yang beraneka ragam, mulai dari kadi (qadi), hakim, dan penghulu menunjukkan pluralitas asal usul politis Islam itu.
***
Para pedagang muslim berdatangan kemari sejak sekitar sembilan abad yang lalu. Batu nisan Fatimah binti Maimun di desa Leran, Gresik, menunjukkan telah ada komunitas muslim di daerah pelabuhan pantai utara Jawa Timur bahkan sebelum kerajaan Majapahit berdiri. Pasai, Peureulak dan Samudra di wilayah Aceh merupakan komunitas niaga kaum muslimin yang pertama kali dilaporkan oleh para pelapor Barat dan Cina pada abad ke13 Masehi. Kantor dagang dan kedutaan Banten di wilayah kerajaan Inggris telah ada semenjak abad ke 16 Masehi. Kesibukan luar biasa dalam pelayaran niaga antara kawasan Timur Tengah dan Nusantara, sebagaimana dilaporkan Laszbo dan Al-Sairafi dari abad ke 10 Masehi, menunjukkan variasi sangat tinggi dalam proses integrasi kaum pedagang muslim asing ke dalam masyarakat pribumi di kepulauan Nusantara.
Di kerajaan Malaka dan Goa, kaum pedagang muslim itu memasuki lingkungan istana raja-raja melalui perkawinan, sedangkan hal itu tidak dilakukan oleh keraton Mataram di Jawa. Demikian pula, di kawasan Aceh dan Sumatera Utara, kaum pedagang pribumi dan kaum pedagang muslim berintegrasi melalui perkawinan, menciptakan lapisan orang kaya yang memiliki kekuatan politik sangat besar dan sanggup mengimbangi kekuatan politik kaum bangsawan di istana raja-raja. Gilda-gilda para pengrajin di berbagai kota juga menunjukkan heterogenitas asal usul niaga kaum muslimin di negeri ini, dari kerajinan tenun, arsitektur, ukiran, kerajinan logam, keramik, dan penyamak kulit hingga pengolahan makanan.
Alat pengukur kuantitas barang dan pembukuan transaksi finansial di berbagai daerah di masa lampau menunjukkan ketinggian variasi praktek-praktek niaga kaum pedagang muslim negeri ini.
***
Mistisisme Islam (tasawuf) juga menunjukkan heterogenitas sangat tinggi dalam asal usul geografis Islam yang sampai ke negeri ini. Dalam kurun waktu berbeda-beda dan melalui “titik-titik pendaratan” yang berlainan, gerakan tasawuf berbentuk tarekat maupun non-tarekat berkembang dengan pesat di Indonesia. Tarekat-tarekat besar seperti Qadiriyah, Naqsyabandiyah, Saziliyah, Sattariyah, dan Rifa’iyah berdatangan kemari dari “titik pemberangkatan” yang berbeda dalam kurun waktu yang berlainan, seperti Naqsyabandiyah yang masuk ke Jawa barat dan Jawa Tengah melalui Pamijahan di pantai wilayah Tasikmalaya, yang berbeda dari tarekat Qadiriyah-Naqsyabandiyah yang kini tersebar di Jawa Tengah dan Jawa Timur melalui kerajaan Banten dan arus jamaah haji yang pulang dari Tanah Suci dalam abad ke 19 Masehi.
Kepercayaan kepada wali Sembilan (Walisongo) di Jawa Tengah dan Jawa Timur menyembunyikan dalam dirinya heterogenitas aliran tasawuf yang mereka ikuti. Jelas sekali sangat besar pertentangan antara sikap tasawuf Sunan Kalijaga, yang demikian toleran dan mampu menyerap praktek-praktek mistis dari era Hindu Buddha di pesisir utara pantai Jawa. Kecenderungan ini pun masih tampak pada zaman ini, kalau dilihat “import praktek-praktek tasawuf” seperti Darul Arqam dan Jamaah Tabligh/Jaulah yang masing-masing datang dari semenanjung Malaysia dan anak benua India.
Heterogenitas asal-usul Islam di Indonesia itu, menunjukkan pula variasi sangat tinggi dalam pengalaman menjalin hubungan antar-agama yang dibawa oleh kaum muslimin ke negeri ini. Dalam pola sinkretik kehidupan beragama orang Islam di keraton Mataram hingga puritanisme Islam yang kemudian meletus dalam Perang Padri di Sumatera Barat pada paruh pertama abad yang lalu, terbentang spektrum luas dengan manifestasi hubungan antar-umat beragama yang sangat beragam. Muslimin masyarakat Jawa menerima “kekramatan” bertemunya hari penting Arab Jum’at dan hari penting Jawa Kliwon atau Legi, dengan melakukan ibadah ekstra pada hari tersebut. Ironisnya, mereka juga menyebut hari Arab Ahad dengan sebutan hari Minggu, yang berasal dari Domingo, yang berarti hari Tuhan bagi orang-orang Katolik Portugal, dan kemudian diikuti orang-orang Eropa lain untuk pergi ke gereja. Penyerapan “nama Kristen” bagi hari Arab Ahad itu akhirnya sekarang menyembulkan faset baru berupa kegiatan keagamaan kaum muslimin, seperti majlis ta’lim dan pengajian umum pada hari tutup kantor dan hari tutup sekolah itu. Perubahan “hari Kristen” menjadi “hari Islam”, tanpa mengubah penyebutan nama harinya itu menunjukkan keindahan mozaik kerukunan hidup antara umat beragama, yang menyejukkan hati dan menentramkan jiwa.
Praktek-praktek mistis dari budaya pra-Islam, yang menjadi pola umum kehidupan keraton Jawa, dengan sekedar memberikan penghargaan formal dalam takaran minim kepada ajaran Islam, seperti perayaan Sekaten, diterima sebagai kewajaran oleh mayoritas masyarakat muslim Jawa hingga hari ini. Demikian juga daerah-daerah lain di Indonesia. Praktek perdukunan masyarakat Banjar di Kalimantan Selatan, penghormatan karuhun di masyarakat Sunda dan praktek-praktek lain yang sejenis di seluruh wilayah Nusantara, menunjukkan besarnya muatan “budaya lokal” dalam kehidupan beragama Islam di kepulauan Nusantara hingga saat ini. Walaupun hidup kesantrian dan hidup kejawen di Jawa dapat ditelusuri perbedaannya oleh Clifford Geertz namun identifikasi diri yang saling berbeda antara keduanya dapat dijembatani oleh universalitas manifestasi budaya Jawa dalam bentuk kesenian daerah (seperti wayang) dan tradisi kekerabatan orang Jawa.
Dengan ungkapan lain, antara tarikan integratif dan dorongan konflik dapat dicari keseimbangan elastis, yang mewakili kepentingan berbagai unsur dan sektor masyarakat itu. Kepercayaan diri cukup besar yang timbul dari keseimbangan kekuatan serta kondisi elastis itu, ternyata memiliki momentum cukup besar untuk memunculkan sikap tenggang rasa (toleransi) kepada keyakinan dan kepercayaan orang lain. Tidak heranlah jika hubungan antara agama di negeri kita pada masa lampau itu cukup mengesankan bagi para pengamat dan sejarawan. Kalaupun tidak bisa berbaur secara integratif dalam ukuran penuh, paling tidak umat berbagai agama di negeri ini mampu hidup berdampingan pada umumnya secara damai. Namun, tantangan modernisasi yang datang dari Barat ternyata menumbuhkan sikap-sikap baru di kalangan kaum muslimin, yang memerlukan pengamatan teliti dan pemahaman mendalam dari kita.
***
Tantangan-tantangan modernisasi, yang dilancarkan dunia Barat terhadap semua bangsa yang ada di dunia, telah menimbulkan perubahan-perubahan besar dalam cara kaum muslimin memandang kaitan antara Islam dan kehidupan mereka sendiri. Islam, yang selama berabad-abad telah mengembangkan berbagai corak hubungan dengan faktor-faktor lain dalam kehidupan, dipaksa untuk memeriksa dan merumuskan kembali orientasi kehidupan yang dimilikinya selama ini. Dengan sendirinya, pemeriksaan ulang dan perumusan kembali orientasi itu juga mempengaruhi dan sekaligus dipengaruhi oleh hubungan kehidupan yang lain itu. Islam yang pada mulanya bertumpukan pada tiga pilar kehidupan berupa hukum agama, kesusilaan (akhlak), dan akidah (teologi), dipaksa oleh perkembangan zaman untuk mempertanyakan kembali keabsahan pilar-pilar itu sendiri.
Sebuah idiom baru masuk ke dalam pemikiran kaum muslimin, yaitu ideologi politik yang dengan sadar menyatukan ketiga pilar itu dalam sebuah entitas eksklusif yang membedakannya dari “pola longgar” yang digunakan selama ini. Walaupun sama-sama beragama Islam, mereka yang tidak mengikuti identitas total keislaman itu dianggap sebagai orang luar, dan sebagai “mereka” yang berada di luar lingkungan “kita”. Kulminasi dari penonjolan identitas total keislaman itu, yang oleh Geertz dinamakan kesantrian, tampak pada penolakan ideologi Pancasila oleh gerakan-gerakan keagamaan Islam di tahun-tahun 1950-an, sebuah kemacetan yang akhirnya dapat diatasi dengan Dekrit Presiden Soekarno untuk kembali kepada Undang-Undang Dasar 1945. Dalam wajah politik formalnya, sikap ini telah digusur dari lahan percaturan melalui penyederhanaan partai-partai politik di tahun 1973 dan kemudian penetapan Pancasila sebagai satu-satunya asas bagi semua organisasi politik dan organisasi kemasyarakatan.
Tapi gagasan bahwa Islam adalah totalitas yang dibedakan secara formal dari keyakinan golongan-golongan lain dalam kehidupan bangsa, masih tetap memiliki daya tariknya sendiri. Bersamaan dengan tampilnya kebutuhan semacam itu, tampil kebutuhan untuk “membuktikan” keunggulan Islam sebagai sebuah sistem kehidupan (life system). Di negeri-negeri muslim lain pemunculan identitas itu ada yang berujung pada berbagai macam eksperimen “pengislaman kehidupan” melalui pemberlakuan syari’ah sebagai hukum negara, penerapan “ekonomi Islam” dengan segala perangkat institusionalnya (bank Islam, asuransi dan sebagainya), dan islamisasi di segenap bidang kehidupan. Di beberapa negara, proses pengislaman kehidupan itu akhirnya berbuah pada berdirinya sejumlah negara Islam, seperti Iran, Sudan, Libya, dan Pakistan. Di samping itu, proses pengislaman itu semakin memperkokoh tradisionalisme Islam di sementara kawasan, seperti Saudi Arabia, Afghanistan, Malaysia, dan Maroko.
Lawan besar bagi perkembangan seperti itu adalah faham kebangsaan yang betumpu pada pluralisasi. Pluralitas faktor-faktor kehidupan itu terutama berbentuk penyamaan hak-hak dan status antara golongan mayoritas dan golongan minoritas agama dalam kehidupan bangsa. Masyarakat yang mengalami proses pluralisasi tentu saja menolak pemberlakuan syari’ah sebagai sistem perundang-undangan nasional, menekan diri pada pengembangan nilai-nilai kemanusiaan yang universal dan memiliki obyektivitas sangat tinggi dalam perlakuannya terhadap semua warga negara, tanpa melihat asal usul keagamaan atau etnis mereka.
Perbenturan antara pola eksklusif, yang ingin menonjolkan Islam sebagai faktor utama kehidupan di satu pihak dan di pihak lain sikap inklusif, yang berusaha menekankan universalisme kehidupan masyarakat, berjalan secara berkepanjangan, dan belum berakhir hngga saat ini. Perbenturan itu dipengaruhi pada satu sisi oleh kerasnya perbenturan pandangan keislaman yang eksklusif dan inklusif itu, seperti tercermin dalam pelontaran isu kristenisasi di Indonesia oleh para intelektual muslim yang berorientasi eksklusif yang tergabung dalam ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia). Sikap inklusif untuk memberlakukan obyektivitas persamaan status warga negara dalam kehidupan bermasyarakat itu dinilai oleh para cendekiawan berpandangan eksklusif itu sebagai kelemahan dan ketidak mampuan menghadapi tantangan yang ditujukan kepada jantung kehidupan Islam sendiri. Dengan sendirinya, perdebatan seru mengenai isu-isu itu lalu sangat mempengaruhi hubungan antar-umat beragama yang berkembang. Apa yang seharusnya menjadi masalah internal kaum muslimin, akhirnya berkembang menjadi isu tersendiri dalam hubungan antar-agama. Sebaliknya, kegigihan para cendekiawan muslim yang berpandangan inklusif untuk mempertahankan universalitas nilai-nilai kehidupan bangsa, menimbulkan sikap semakin eksklusif dan tuduhan yang semakin menjadi-jadi (seperti antek Zionisme, alat kristenisasi, anggota kaum falanggists, dan agen “Barat”) dari pihak mereka yang berpandangan eksklusif. Eskalasi proses internal dalam tubuh umat Islam itu tentu saja memaksa umat-umat beragama lain untuk merumuskan hubungan antar-agama mereka dan Islam.
Jika pada kemelut keadaan seperti itu ditambahkan faktor politik, seperti dukungan salah satu pusat kekuasaan (power-center) kepada gerakan Islam eksklusif, guna “mengoreksi” ketimpangan kaum minoritas suatu agama, yang dianggap secara komparatif memiliki kekuatan bernilai-lebih terhadap seluruh kekuatan kaum muslimin, dapat dibayangkan betapa tinggi intensitas hubungan internal dalam tubuh Islam sendiri, dalam arti meluasnya salah pengertian antara mereka. Bahwa Dr. Nurcholis Madjid dianggap munafik dan murtad oleh sementara pihak yang berpandangan eksklusif, karena pernyataannya antara kedudukan agama Kristen sama dengan agama Islam, merupakan petunjuk betapa tinggi intensitas perbenturan tersebut. Dalam pernyataannya itu, ia melupakan pentingnya arti masalah-masalah teologi yang membedakan Islam dari agama-agama lain. Sedangkan lawan bicaranya melupakan bahwa dalam sebuah negara kebangsaan, seperti Republik Indonesia, bagaimanapun juga dijamin persamaan status dan perlakuan secara konstitusional bagi semua warga negara, tanpa memandang asal usul agama dan etnis mereka. Peliknya masalah dapat diperkirakan dari keputusan hukum gantung sampai mati yang dijatuhkan pemerintah Sudan atas diri seorang muslim yang bernama Dr. Mahmud Muhammad Toha lebih dari sepuluh tahun yang lalu, karena ia membela hak orang Islam untuk berpindah agama. Hak berpindah agama ini, dalam peristilahan Islam dinamakan murtad (apostasi), memang diancam hukuman mati oleh hukum agama Islam (fiqih) dan juga syari’ah sebagai sistem hukum Islam.
Mau tidak mau, masalah-masalah semacam ini akan selalu muncul dalam proses pengembangan hubungan antar-umat beragama yang sehat di masa depan. Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia yang telah diratifikasi oleh pemerintah kita, secara eksplisit mengakui universalitas hak berpindah agama. Sedangkan hukum Islam menolak hal itu secara kategoris. Para pezina (adulterers) dalam pandangan Barat tidak dianggap melakukan tindakan kriminal, sementara hal itu dianggap demikian oleh kalangan “Islam eksklusif” itu. Seribu satu masalah lain masih akan muncul, yang keseluruhannya merupakan dimensi internal dan eksternal dari proses dialog antara agama, dengan kedua dimensi itu saling mempengaruhi dan mengimbangi. Mana di antara kedua dimensi itu yang lebih mampu memenangkan percaturan, akan sangat menentukan corak hubungan antar-agama kita di kemudian hari.