Idul Adha & Solidaritas Muslim

Sumber foto: https://www.liputan6.com/hot/read/5318913/apakah-puasa-idul-adha-wajib-begini-ketentuan-bagi-yang-berkurban

Oleh: K.H. Abdurrohman Wahid

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم

Assalamu’alaikum wr.wb.

اللهُ أَكْبَرُ ٣ . اللَّهُ أَكْبَرُ كَبِيرًا ، وَالْحَمْدُ لِلَّهِ كَثِيْرًا. وَسُبْحَانَ اللهِ بُكْرَةً وَأَصِيلًا لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ صَدَقَ وَعْدَهُ ، وَأَعَزَّ جُندَهُ، وَهَزَمَ الأَحْزَابَ وَحْدَهُ. لَا إِلا اللَّهُ وَلَا نَعْبُدُ إِلَّا إِيَّاهُ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ وَلَوْ كَرِهَ الكَافِرُونَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَاللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ وَلِلَّهِ الْحَمدُ لِلَّهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِينُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوذُ بِهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا مَنْ يَهْدِ اللَّهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ، وَمَنْ يُضْلِلْهُ فَلَا هَادِيَ لَهُ أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَاشَرِيكَ لهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدَهُ وَرَسُولُهُ اللَّهُمَّ فَصَلِّ عَلَى هُذَا النَّبِيِّ الكَرِيمِ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِينَ. أَمَّا بَعْدُ . فَيَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَاتَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ

Allahu Akbar 9x Allahu Akbar Walillahil Hamd.

Segala puji dan rasa syukur kita panjatkan kepada Allah s.w.t.. yang telah melimpahkan karunia kehidupan dengan segala bentuk dan isinya kepada kita semua. Rasa syukur itu kita panjatkan agar kita memperoleh karunia lebih banyak lagi di masa depan, sesuai dengan firman-Nya:

لَئِن شَكَرْتُمْ لأَزِيدَنَّكُمْ وَلَئِن كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيد

yang artinya “jika kalian bersyukur (kepada-Ku), niscaya akan Ku-tambah (pemberian) karunia-Ku, dan jika kalian menolak (karunia-Ku), maka sesungguhnya siksa-Ku sangatlah pedih”.

Salam dan shalawat kita pintakan atas junjungan kita Nabi Muhammad s.a.w., yang telah membawa kita dari kegelapan iman kepada sinar tauhid yang terang benderang. Tidak heranlah jika beliau menjadi panutan hati kita semua, menjadi tumpuan harapan kita akan kebahagiaan akhirat dan menjadi teladan sempurna bagi kehidupan di dunia yang fana ini. Karena kedudukan beliau yang demikian sentral dalan kehidupan kita, tidak heran juga jika Allah memuliakan kedudukan beliau, seperti tercermin dari firman Allah:

إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ ۚ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمً

yang artinya “Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya membacakan shalawat atas (diri) Nabi; (karenanya,) hai orang-orang beriman, bacakanlah shalawat dan salam atas (diri) nya”.

Kita panjatkan puji dan syukur itu, karena pada hari ini kita dapat merayakan hari raya ‘Idul Adha’ untuk kesekian kalinya. Berhari raya bukan dalam arti bersenang-senang saja, tetapi utamanya untuk berbagi keprihatinan dengan mereka yang nasibnya kurang beruntung. Daging korban kita bagikan kepada mereka yang lebih berhak atasnya dari kita sendiri, dengan niat yang ikhlas untuk mencari ridha Allah semata-mata. Kualitas demikian tinggi dari kerja memberikan korban pada hari ini dipertinggi oleh kenyataan, bahwa kerja itu sendiri ditepatkan jatuhnya pada saat pelaksanaan salah satu rukun Islam, yaitu pelaksanaan ibadah haji di tanah suci Makkah al-mukarramah. Kita laksanakan shalat ‘id dan kita berikan korban, untuk mengiringi perjalanan saudara-saudara kita seagama yang sedang menunaikan ibadah haji yang mulia. Mudah-mudahan mereka semua memperoleh haji yang mabrur dan menghasilkan amal yang diterima di sisi Allah s.w.t. serta kembali ke tempat masing-masing dengan selamat dan sehat wal’afiah. Amin.

Kalau kita layangkan pandangan kita sejenak ke ufuk sejarah masa lampau, akan kita dapati kokohnya solidaritas kaum muslimin sangat ditentukan oleh pelaksanaan ibadah seperti pemberian korban. la ibarat tali pengikat yang mempersambungkan kesadaran iman kita kepada kesadaran akan pertingnya kerangka kebersamaan antara kita sesama kaum muslimin. Tanpa kesadaran seperti itu, pastilah sudah lama kaum muslimin bercerai berai dan berkeping-keping tanpa makna kehadiran sejak lama. Tetapi justru dengan kesadaran akan kebersamaan yang harus kita miliki, kaum muslimin tetap menjadi komunitas yang satu, dengan segala perbedaan pandangan dan sikap yang demikian dahsyat di antara mereka. Bahwa masih ada yang disebut Ummat Islam adalah pertanda dari kehadiran komunitas yang pada dasarnya utuh di kalangan kaum muslimin itu. Dari modal berupa keutuhan komunitas itulah sebenarnya dapat dilakukan upaya pencapaian cita-cita, tujuan dan saşaran segenap kegiatan kaum muslimın.

Kerangka kebersamaan kaum muslimin ditentukan bentuknya oleh prinsip-prinsip yang dipilih guna mengatur kehidupan mereka dalam artian yang paling luas, Karenanya, tidak terhindarkan adanya perbedaan dari satu ke lain masyarakat muslim, karena perbedaan sekala prioritas yang dipilih. Ada masyarakat muslim yang mementingkan ketelitian pelaksanaan ibadah murni (mahdhah) secara rinci, dan memiliki kecenderungan kuat kepada upaya meningkatkan sisi ritual dari kehidupan warganya. Kaum Sufi dapat memasukkan ke dalam kategori ini. Ada pula masyarakat yang mementingkan sisi pelaksanaan hukum agama secara kolektif, dengan kecenderungan legal-formalisme yang deras. Tetapi ada pula masyarakat muslim yang justru menekankan pentinnya perubahan kualitas hidup sebagai bentuk peribadatan yang utama. Berbagai kecenderungan seperti itu harus memperoleh hak untuk berkembang bersama-sama, tanpa harus dipertentangkan satu sama lain.

Dalam upaya mencari prinsip-prinsip untuk menegakkan kerangka kebersamaan tersebut, kaum muslimin perlu juga menengok kepada prinsip keadilan. Allah memerintahkan kita untuk menegakkan keadilan dalam kehidupan ini, dengan firman-Nya:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ بِالْقِسْطِ

yang artinya ‘Hai orang-orang yang beriman, jadilah kalian (orang- orang) yang menegakkan keadilan’. Islam lahir untuk menegakkan keadilan dan menentang ketidakadilan. Dalam bentuknya yang paling konkret. segala sumberdaya harus dipergunakan untuk tujuan menegakkan keadilan secara nyata dalam konteksnya yang bersifat mikro. Marilah kita perhatikan kandungan firman Allah:

وَمَا أَفَاءَ اللَّهُ عَلَى رَسُوْلِهِ فَلِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ وَلِذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَابْنِ السَّبِيلِ كَيْ لَا يَكُونَ دُولَةٌ بَيْنَ الْأَغْنِيَاءِ مِنكُمْ

yang artinya: “Dan apa yang dilimpahkan Allah kepada Utusan-Nya (haruslah) diperuntukkan bagi (kepentingan) Allah dan Utusan itu. (keperluan) sanak keluarga tidak langsung, anak-anak yatim piatu. orang-orang miskin dan pejalan demi agama, agar tidak menjadi alat permainan mereka yang lebih kaya di antara kalian”. Ayat tersebut memberikan paling sedikit dua dimensi dari karja kaum muslimin dalam mengatur kehidupan masyarakat. Dimensi pertama, kaum lemah harus memperoleh jaminan kebutuhan pokok mereka, dan dimensi kedua adalah pentingnya menjaga kepentingan kaum lemah dari kemungkinan manipulasi dan penghisapan oleh yang lebih kuat dan lebih berpunya.

Sebagai agama yang mengatur kehidupan perorangan para pemeluknya dan kehidupan masyarakat para pemeluk itu sendiri, Islam dengan demikian menegakkan prinsip keadilan sebagai sesuatu yang kongkret, bukan hanya sekedar impian utopis yang tidak mungkin diwujudkan dalam kehidupan di dunia ini. Prinsip keadilan ini memberikan motivasi kepada kaum muslimin untuk memperjuangkan kehidupan yang lebih baik. Kehidupan yang lebih baik dari sudut materi bukanlah merupakan sesuatu yang harus dijauhi dalam Islam. Rasulullah s.a.w. telah bersabda:

طُوبَى لِمَنْ هَدَى لِلْإِسْلَامِ وَكَانَ عَيْشُهُ كَفَافًا

yang artinya: “Sungguh baik sekali orang yang diberi petunjuk keimanan Islam dan hidupnya serba berkecukupan”. Keadilan tidak dicapai dengan melarikan diri dari kehidupan dunia, melainkan dengan mengatur agar kehidupan dunia tidak merugikan mereka yang lebih lemah dan menguntungkan mereka yang lebih berpunya saja. Keadilan harus ditegakkan dengan menjaga kepentingan masyarakat lapisan terbawah.

Prinsip keadilan seperti itulah dilambangkan oleh peristiwa pemberian korban oleh Nabi Ibrahim a.s. Kesediaannya memberikan pengorbanan berupa diri anaknya, Nabi Isma’il, melambangkan keikhlasan tertinggi kepada Allah, yang dimbangi oleh sang putera dengan sikap yang lebih agung lagi kesediaan mengorbankan diri bagi kepentingan ayahnya. Namun, pengorbanan dan keikhlasan demikian tinggi itu bukan hanya melambangkan hubungan hamba dan Allah belaka, hubungan hablum minallah semata, melainkan juga hubungan horizontal antara sesama manusia. Karena pada akhirnya Allah menggantikan Nabi Isma’il yang akan disembelih sebagai korban dengan domba. Penggantian makhluq yang dijadikan korban persembahan kepada Allah itu sekaligus memberikan dimensi baru bagi kerja pemberian korban itu sendiri. Jika tadinya ia adalah kerja peribadatan semata, sesuatu yang diperuntukkan bagi Allah semata, kini ia menjadi peribadatan sosial bagi kepentingan masyarakat, yaitu meratakan apa yang kita miliki di antara sesama kita yang kurang beruntung.

Prinsip keadilan dilambangkan oleh simbolisme pemerataan kekayaan masyarakat dalam peristiwa pemberian korban itu. Pada dirinya sendiri, pemberian hewan korban tidak memiliki arti penting sebagai alat pemerataan itu, tetapi sebagai bagian dari upaya lebih besar untuk meratakan hasil pembangunan secara menyeluruh. Tidak hanya hasil berupa produk material, melainkan juga dimulai sejak penyediaan peluang bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam pembangunan dari taraf dini. Keadilan akan tercapai, manakala warga masyarakat bukan hanya menjadi sasaran pembangunan, malainkan menjadi palaku pembangunan itu sendiri. Terpulang kepada kita semua, mungkinkah kita kembangkan dari simbolisme pemberian hewan kerbau itu sesuatu yang lebih bersifat makro, yaitu melaksanakan tugas menjadikan semua warga masyarakat pelaku-pelaku dalam pembangunan negara mereka sendiri. Makna inilah yang seharusnya kita cari dari peristiwa pemberian korban oleh Nabi Ibrahim a.s. kepada Allah s.w.t.

بَارَكَ اللَّهُ لِي وَلَكُمْ وَنَفَعَنِي وَإِيَّاكُمْ بِذِكْرِ آيِ الْحَكِيمِ وَاسْتَغْفِرُوهُ إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ