Kata Pengantar: Ilmiah Tapi Jangan Diilmiahkan
Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid
Buku yang berada ditangan pembaca ini adalah perjalanan hidup seorang anak manusia yang didera oleh kemanusiaan itu sendiri. la ingin mendekatkan diri kepada Allah SWT sejauh mungkin (atau sedekat mungkin…?), dan cerita buku ini adalah kisah mencari kedekatan tersebut. Sebuah perjalanan panjang, yang sebenarnya diwarnai oleh pengalaman hidup pribadi yang dahsyat. Tetapi, karena yang dialami adalah pengalaman pribadi, dengan sendirinya orang lain menjadi tidak tertarik. Inilah apa yang dinamakan kebodohan manusia yang tidak pernah mampu menarik pelajaran dari pengalaman semua agama, atau lebih tepat pengalaman para nabi, yaitu bagaimana menjadikan pengalaman pribadi itu menjadi sesuatu yang bersifat umum dan berlaku bagi semua manusia.
Setiap nabi pasti menekankan aspek etik (akhlaq) dari kehidupan manusia, karena aspek tersebut akan sangat lambat mengalami perubahan dibandingkan dengan aspek pemikiran rasio / akal. Kalaupun etika / akhlaq mengalami perubahan itu hanya terjadi dalam bentuk manifestasi / penampilan luar belaka, sedangkan esensinya tetap dan tak berubah-ubah.
Bagaimana pun juga etika akan tetap demikian sepanjang kehidupan manusia. Dalam pengertian inilah, harus dipahami firman Allah “Sesungguhnya engkau benar-benar mengikuti akhlaq yang sangat baik” (Innaka la’ala khulugin a’dzim). Artinya, etika yang mulia sejak awal memang harus dipenuhi oleh hal-hal yang sangat baik bagi hidup manusia. Dengan demikian, manusia yang berakhlak mulia haruslah meninggalkan akhlak yang buruk (al-akhlaq al-madzmumah). Dualisme ini memang menonjol dalam ajaran Islam, karena ia ditopang oleh doktrin Allah berhadapan dengan syetan. Saya bukanlah filosof yang mampu menerangkan dualitas itu, melainkan dalam kenyataannya begitu kuat ajaran tersebut mempengaruhi Islam sehingga ia diterima tanpa ribut-ribut.
Keseluruhan ajaran Islam itu menunjukkan bahwa ada dualitas yang terus menerus terwujud, antara yang baik dan dengan yang buruk, yang, bagaimana pun juga pada akhirnya dimenangkan oleh yang baik. Karena itulah: “Kita berkeinginan, Allah juga berkeinginan, tetapi Allah-lah yang melaksanakan keinginan-Nya” (nahnu nuridu, wa Allahhu yurid, wa Allahu fa’alun lima yurid). Kepastian yang baik akan menang dan yang buruk akan kalah. Inilah inti ajaran Islam disamping tauhid, rukun Islam, dan hal-hal lain sejenis. Bahwa manusia selalu dihadapkan pada pilihan antara yang baik dan yang buruk adalah sesuatu yang sangat fundamental dalam ajaran Islam. Firman Allah: “Dan jangan campur-adukkan kebenaran dengan kebathilan, dan kalian tutupi kebenaran sedang kalian mengetahui (wa la talbisu al-haqqa bi al-batil wa taktumu al haqqa wa antum ta’lamun)“.
Seorang aspiran sufi bepergian menengok gurunya, yang tinggal tiga hari perjalanan dari tempat ia sendiri berdiam. la bepergian menemui sang guru, guna mendapatkan berkah atau limpahan rahmat padanya melalui emanasi (al-faidh). Di hari kedua, ia bertemu dengan seorang Nasrani, dan segera mereka terlibat dalam pembicaraan yang seru mengenai hakikat dan sifat Tuhan. Ia mengkritik dengan tajam sikap sang Nasrani untuk melihat bahwa Tuhan harus dibedakan antara zat /esensi dan sifat, dengan mengemukakan Tuhan beresensi tunggal tetapi dapat bersifat / atribut yang terpisah, seperti halnya Tuhan Bapak dan Tuhan Anak yang masing-masing memiliki yurudiksi yang sama.
Pada hari ketiga setelah berpisah dari temannya, Sang Nasrani, ia pun sampai di hadapan pintu pekarangan gurunya yang dikunci rapat. Ia lalu duduk di tanah menghadap pintu yang terkunci itu. Demikianlah, ia melakukan hal itu selama tiga hari berturut-turut. Setelah itu, ia pun berseru lantang: “Aku datang kemari untuk meminta restu dan memperoleh berkahmu, tetapi keduanya tidak kamu berikan. Mengapa engkau berbuat demikian, wahai sang guru?”. Jawab suara yang menggelegar dari dalam rumah: “Karena engkau tidak menukik hakikat Tuhan, melainkan hanya sibuk dengan Baju-Nya”. Cerita Sang Sufi di atas menunjukkan betapa banyak cara menemukan Tuhan dapat ditempuh oleh manusia, dan pengalaman Abu Sangkan ini adalah salah satu dari padanya.
Menjadi jelaslah kiranya, pengalaman Abu Sangkan yang menemui Tuhan tanpa melalui ilmu-ilmu keagamaan yang lumrah, merupakan pengalaman pribadi yang patut dimengerti oleh manusia dalam keadaan serupa, la bukan menjadi cara tunggal untuk memahami eksistensi Tuhan. Bahkan ia menekankan independensi manusia sekaligus disandingkan dengan tundukan mutlak makhluk kepada Tuhannya. Akibat ketundukan mutlak dan sikap independen dari-Nya harus jelas merupakan pengalaman pribadi yang sangat menarik, yang bagi orang lain sangat sulit dimengerti. Pengalaman pribadi inilah yang membuat la didera oleh kebutuhan menjadi dekat kepada Tuhan.
Menjelang bulan puasa, saya didatangi oleh seorang transmigran Hindu Bali, yang tinggal di Sulawesi Tengah. Orang itu berusia setengah baya, dan bercerita kepada saya, tiap kali la mendengar nama Tuhan yang disebut, baik dari bahasa Arab maupun bahasa Sansekerta, apalagi dalam bahasa nasional Indonesia, air matanya menitik. la menjadi malu pada orang lain karena bukankah ini kelemahan bahwa ia tidak bisa menyembunyikan hubungan dengan-Nya?. Ini membuat ia menjadi penangis, dan dalam pergaulan ia merasa terasing karena ketidakmampuan tersebut. Apakah yang harus diperbuatnya, untuk tidak menangis begitu nama Tuhan disebutkan?. Bukankan dengan demikian, ia menjadi terhalang dalam hubungannya dengan sesama manusia karena menjadi begitu dekat dalam hubungannya dengan Tuhan? Karena itulah ia jauh-jauh datang dari Sulawesi Tengah ke Jakarta, untuk bertemu dengan saya.
Terus terang saya mengalami rasa campur aduk mendengar pembicaraannya itu. Disatu sisi, saya memahami orang itu sebagai mahluk yang sangat dekat dengan Tuhannya dan untuk itu ia harus diperlakukan secara terhormat. Bukankah ia justru memiliki sesuatu yang tidak dimiliki orang lain? Kedekatan dengan Tuhan itu membuat saya iri hati. Jarang ada orang yang memiliki hubungan begitu dekat dengan penciptanya. Namun, justru saya juga merasa kasihan kepada orang itu. Bukankah justru kedekatannya dengan Tuhan membuat ia berada dalam kedudukan serba salah dalam hubungannya dengan sesama manusia? Jadi kedekatan hubungan dengan Tuhan dapat juga mengganggu hubungan dengan sesama manusia. Disinilah terletak kelebihan Abu Sangkan, ia mampu mengungkapkan hubungannya dengan Allah dalam sebuah buku tanpa mengganggu kedekatan itu sama sekali. Mungkin inilah yang dimaksud oleh Nabi Muhammad SAW melalui ungkapan beliau: “Barang siapa mengenal dirinya, maka ia akan mengenal Tuhannya (man ‘arrafa nafsah fagod arafa robbahu).
Karena saya bukan orang Hindu, dikemukakannya kategori Islam dalam kedekatan hubungan pada Sang Pencipta kategorisasi itu termuat dalam firman Allah:
“Benar-benar telah ada dalam diri utusan Allah keteladanan yang sempurna, yaitu bagi orang yang mengharapkan ridha Allah, kebahagiaan akhirat dan sering mengingat tanda-tanda kebesaran Allah, lagad kana lakum fi rasulillah uswatun hasanah, liman kana yardzu Allaha wa al yauma al akhir wa dzakara Allaha katsira”. la yang hanya mengharapkan ridha Allah (dan tidak mengharapkan imbalan apa-apa dari-Nya), adalah orang yang terdekat dengan-Nya. Kemudian orang yang mengharap kebahagiaan akhirat (jadi ada permintaannya dari Tuhan) adalah derajat kedekatan yang berikutnya, Yang terakhir, orang yang hanya melihat kehebatan diri dalam hubungan dengan Allah (dengan mengingat tanda-tanda kebesaran-Nya). Sederhana tapi rumit melaksanakannya bukan?