Insya Allah, Saya Serius

Sumber Gambar: https://mubadalah.id/haul-gus-dur-ke-15-di-pekalongan-pentingnya-merawat-nilai-luhur/

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

Bermacam-macam cara orang menjanjikan sesuatu kepada orang lain. Ada yang sungguh-sungguh ingin melakukan hal yang dijanjikannya itu. Ada yang sebenarnya hanya mengelak. Selain itu, ada pula yang belum tahu lagi apakah akan melakukannya atau tidak, terserah kepada perkembangan keadaan nanti sajalah. Karena perbedaan cukup besar dalam menafsirkan janji yang diberikan, lambat laun muncullah ungkapan-ungkapan yang lebih menunjukkan kesungguhan hati orang yang mengucapkan untuk mengerjakan apa yang dijanjikannya itu. Ada ungkapan berbentuk sumpah, ada pula yang sekadar berandai-andai, ada pula rayuan yang sering disifati sebagai janji yang lain di mulut lain pula di hati. Pokoknya harus terkena apa yang dituju. Tetapi semua ungkapan itu lambat-laun mengalami inflasi arti pula, terbawa oleh perilaku orang yang mengucapkannya, yang kemudian menyalahi ucapan itu. Dibutuhkanlah ungkapan-ungkapan baru untuk menunjukkan kesungguhan lebih besar di pihak pemberi janji, yang pada waktunya nanti akan mengalami devaluasi nilai karena inflasi arti pula. Muncullah kebutuhan akan ungkapan-ungkapan yang lebih baru lagi, dan demikian seterusnya. Akhirnya, tanpa malu-malu lagi nama Tuhan dan para nabiNya diseret-seret kedalam urusan orang banyak yang tidak berpatutan suasananya dengan kebesaran nama itu sendiri. Lahirlah “demi Allah, aku bersumpah begini begini, demi Nabi Fulan, saya bersumpah begitu begitu” dan sumpah-sumpah lain yang sebangsanya.

Jadi, sebenarnya kita tidak perlu heran dengan semakin menurunnya arti sumpah-sumpah itu dalam perjalanan sejarah yang semakin panjang. Hal ini sebenarnya wajar di antara anak Adam yang jutaan jiwa banyaknya. Kalau ada orang yang begitu baik sehingga tidak bersumpah kalau tidak benar-benar perlu, dan kalau bersumpah jelas tidak akan melanggar janji, maka orang yang seperti itu bukanlah orang biasa lagi. la telah mendekati sifat-sifat kenabian yang dituntut Allah dari hamba-Nya yang terpilih belaka Literatur keagamaan penuh dengan tuntunan untuk mencapai derajat kemuliaan seperti itu dalam memberikan janji, tetapi wajar saja kalau sebagian besar ummat beragama tidak mampu mengikutinya. Mereka adalah manusia biasa, yang sulit sekali untuk menyesuaikan tingkah laku mereka dengar tuntunan agama secara menyeluruh.

Bangsa Arab tidak terlepas dari “keadaan” seperti ini. Mereka harus hidup dalam lingkungan yang kejam, selama ribuan tahun harus mampu hidup dengan mengandalkan budi daya mereka sendiri, dengan sedikit sekali memperoleh rahmat berbentuk keadaan pertanahan yang memungkinkan mereka bercocok tanam secara intensif dalam skala yang luas. Ya, kalau orang Melayu dikaruniai keadaan alam yang memungkinkan mereka bersikap hidup pasif selama itu, maka orang Arab harus merebut kehidupan dengan kelihaian tiada tara. Termasuk kelihaian memberikan janji terlalu muluk-muluk kepada orang lain. Di balik keindahan janji yang mereka berikan dan kesungguhan lahiriah sewaktu mengucapkannya, terdapat kenyataan umum tentang mudahnya mereka menyalahi janji tersebut. Inflasi arti dengan kesudahan devaluasi nilai janji yang mereka berikan, sesuai dengan siklus yang telah diuraikan diatas, akhirnya membawa bangsa Arab kepada ungkapan-ungkapan terlalu hiperbolis dan melambung tinggi dalam perkara janji berjanji ini sesuai dengan perkembangan sosiologi bahasa mereka sendiri.

Bangsa Arab harus tinggal di kawasan alam yang gersang, sedikit sekali pemandangan alamnya yang indah permai. Demikian pula, irama kehidupan yang keras dan harus ditempuh dengan curahan tenaga dan waktu yang besar, tidak memungkinkan mereka untuk mengembangkan bahasa yang deskriptif dalam artian memiliki kata-kata keterangan dan sifat yang lengkap sekali. Mereka harus puas dengan sedikitnya ajektif yang terdapat dalam bahasa mereka, dan mengembangkan cara lain untuk membuat mereka sendiri mampu mengekspresikan pikiran dengan jelas. Muncullah alegori (persamaan) sebagai bagian inheren dari kehidupan berbahasa Arab. Allegori itu tidak tanggung-langgung muluknya mata yang berwarna biru bagaikan kilatan sinar zamrud yang terkena cahaya api; kecantikan wajah yang dipersamakan dengan keindahan bulan purnama, kekuatan yang dipadankan dengan kemampuan meratakan gunung; kecepatan larinya kuda yang bagaikan kecepatan angin; dan seterusnya. Mungkin hanya ada dua bahasa yang dapat melampaui bahasa Arah dalam soal lambung-melambungkan gambaran fisik suatu kejadian atau benda, yaitu Bahasa Cina dan Bahasa Jawa. Bahasa Cina karena kata-katanya tidak bersuku dan terdiri dari bunyi yang sangat pendek (sehingga membawa kepada suara sengau dalam jarak waktu ribuan tahun) tidak memungkinkan penggambaran benda atau keadaan dengan kata-kata yang panjang. Dipakailah alegori atau kiasan, semakin berirama semakin baik (seperti ungkapan cerita silat yang menunjukkan rendahnya pandangan masyarakat kuno Cina akan profesi ketentaraan: “besi baik tidak dibuat paku, orang baik tidak jadi serdadu”. Kalau bahasa Jawa, kiasan-kiasannya yang melambung terjadi karena sastranya terdorong untuk menutup-nutupi kenyataan raja dan kaum bangsawan yang tidak sekuat yang mereka inginkan. Karena mereka harus hidup dalam suasana setengah dijajah oleh VOC dan kemudian pemerintahan kolonial Hindia Belanda, upaya mereka untuk melanggengkan kekuatan (yang hanya ada di angan-angan) diwujudkan dalam penciptaan ungkapan-ungkapun superlatif yang sangat jauh adanya dari kenyataan.

Perkembangan bahasa Arab yang begitu bergantung kepada ungkapan superlatif, ditambah pola kehidupan yang kejam yang membuat mereka sering tidak dapat memenuhi janji, akhirnya menurunkan kadar kesungguhan sumpah yang berat-berat. Kata “demi Tuhan” lalu tidak lagi punya arti selain untuk memaksa orang agar mau ditipu. Kata “demi Nabi” lalu menurun nilainya menjadi semacam bunga bibir untuk memberikan tekanan tertentu saja dalam suatu cerita yang sedang seru-serunya dikisahkan. Tinggal lagi beberapa kata yang masih punya nilai kesungguhan tersendiri, walaupun tidak lagi sepenuhnya. Di antara kata-kata itu adalah kehormatan, orang tua dan kehendak Tuhan.

Karena mereka tidak memiliki apa-apa selain kehormatan dan kebanggaan diri selama beradab-abad, bangsa Arab menilai tinggi sekali arti kehormatan. Kalau seorang Arab bersumpah “demi Allah” atau “demi Nabi”, belum tentu ia benar-benar bermaksud melaksanakan sumpahnya itu. Tetapi kalau ia menjanjikan sesuatu atas dasar kehormatan dirinya (wa asy-syarafi), jelas sekali kalau ia bersungguh-sungguh. Begitu pula kalau ia bersumpah dengan “kehidupan ayahku” (wa hayat abuya) atau “kehidupan ibuku” (wa hayat ummi), boleh dipercaya sumpahnya itu. Sedangkan yang lain-lain tidaklah memiliki arti kesungguhan sebesar ketiga kata di atas.

Orang Melayu sering tercengang dengan mudahnya orang Arab bersumpah atas nama Tuhan, karena bagi si orang pesek itu Tuhan berada dalam kedudukan di atas segala-galanya. Tidaklah patut bersumpah atas nama-Nya dengan tidak berniat sungguh-sungguh untuk melaksanakan sumpah itu. Orang Arab berpikir lain, dan itu adalah hak mereka. Asal si Melayu harus berhati-hati sajalah.

Sebuah kata lain yang memiliki arti kesungguhan, walaupun tidak seperti sumpah atas nama Tuhan dan Nabi atau atas dasar kehidupan orang tua, adalah kata ‘kehendak Tuhan’. Seorang Arab akan berusaha memenuhi janjinya, kalau ia memberikan janji itu dengan ungkapan “kalau Allah menginginkan (in sya’a Allah). Kesediaan bersikap sungguh-sungguh dalam hal ini dibawakan oleh pola kehidupan yang dahulu sedikit sekali dipengaruhi oleh upaya manusia, melainkan kepada keputusan nasib. Penghargaan kepada “kehendak Tuhan” adalah salah satu pola pengakuan kenyataan pahit ini dalam kehidupan orang Arab semenjak beberapa puluh abad yang lalu.

Sedangkan bagi manusia Melayu di kepulauan Nusantara, nasib lebih banyak membawakan kelembutan. Dengan malas pun mereka masih dapat hidup, sehingga kaburlah arti kehidupan dan dengan sendirinya arti pengaruh kehendak Tuhan atas kehidupan mereka. Mudahlah manusia Melayu untuk mengelakkan tanggung jawab memenuhi sesuatu janji, dengan hanya cukup mengutarakan “baiklah, kalau Tuhan menghendaki nanti”.

Cukup membingungkan, bukan? Kalau nama Tuhan dan Nabi dengan mudah dipermain-mainkan orang Arab dan hal itu tidak dimengerti manusia Melayu. Sebaliknya kemampuan orang Melayu untuk mengelak dari kewajiban memenuhi janji dengan hanya mengatakan “kalau dikehendaki Tuhan” juga tidak dimengerti orang Arab. Karenanya, tidak usahlah kita lalu terlalu keras menghukum orang lain, karena bagaimana pun juga dalam diri kita ada kelemahan-kelemahan yang tidak jauh berbeda. Kita tidak boleh marah diingkari janji yang dibuat atas nama Tuhan, sebagaimana juga orang lain tidak boleh marah kalau kita ber-Insya Allah pada waktu kita tidak bersungguh-sungguh.

Insya Allah saya serius dalam hal ini, kata penulis mengakhiri tulisan ini.