Islam dan Kebatinan: Sebuah Tinjauan Umum

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid
I
TULISAN ini dimaksudkan sebagai tinjauan yang benar-benar obyektif, dilakukan tanpa ada “pandangan menilai” (value-judgment) apapun. Bagaimanapun juga, penulisnya adalah termasuk yang terikat dengan pandangan keislaman dalam meninjau persoalan kebatinan. Karenanya, terlepas dari diterima atau tidaknya sudut pandangan itu sendiri oleh orang-orang Islam lainnya, tulisan ini bermaksud mengungkapkan bagaimana tinjauan umum tentang hubungan Islam dan kebatinan dari sudut pandangan orang-orang Islam.
Subyektivitas tinjauan seperti ini tidak mengurangi nilai ilmiahnya sama sekali, karena obyektivitas ilmu pengetahuan tidak selamanya harus dipertentangkan dengan pandangan menilai; bahkan tidak kurang dari seorang sarjana seperti Gurnar Myrdal yang menyatakan dalam The Asian Drama (1968) bahwa ilmu sosial sebenarnya tidak bebas dari penilaian sama sekali. Tinjauan bebas nilai (value-free judgment) tak akan pernah ada dalam meninjau kehidupan bermasyarakat. Obyektivitas ilmiah dapat disimpulkan bukan hanya dari kelayakan nilai dalam melakukan tinjauan, tetapi dalam memperlakukan nilai itu sendiri dalam hubungannya dengan fakta-fakta yang terkumpul. Selama nilai itu tidak mendorong ke arah pengambilan kesimpulan yang berat sebelah dari fakta-fakta yang ada, selama itu pula kesimpulannya tetap obyektif. Jadi obyektivitas ilmiah tidak menuntut penolakan atas titik tolak pandangan menilai, selama hal itu tidak berarti pengambilan kesimpulan yang salah dari fakta-fakta yang ada.
II
Dilihat dari penamaan fenomena yang dimaksud oleh tulisan ini dengan kata “kebatinan”, jelaslah dalam pandangan keislaman fenomena itu sendiri dikaitkan dengan perkembangan serupa yang pernah terjadi dalam sejarah Islam di tempat-tampat lain. Kehidupan Islam sendiri pernah terancam oleh perkembangan yang merusak ajaran-ajarannya, antara lain ketika golongan Syiah yang menjadi heterodoksi terbesar dalam Islam terpecah menjadi beberapa kelompok pecahan. Tiga kelompok-pecahan yang terbesar adalah Syiah Imamiyah dengan kedua belas imamnya (dan sekarang merupakan mayoritas golongan Syiah dengan populasi hampir lima puluh juta jiwa di seluruh dunia), Syiah Ismailiyah dengan ketujuh iman terang dan sekian puluh imam rahasianya, dan Syiah Zaidıyah yang banyak sekali melakukan akomodasi ajaran dengan golongan Sunni yang merupakan ortodoksi Islam.
Di antara pecahan-pecahan kecil Syiah itu terdapat sebuah kelompok yang dinamai Batiniyah, yang hingga sekarang pun masih belum dikaji secara mendalam asal-usul dan sejarah mula perkembangannya. Lambat laun nama Batiniyah ini tidak hanya melekat kepada kelompok kecil dengan ajarannya yang tersendiri itu, tetapi digunakan untuk menunjuk kepada semua kelompok yang tidak termasuk dalam pembagian Imamiyah, Ismailiyah dan Zaidiyah dı atas. Sebagai sebutan umum (catchword) bagi banyak kelompok yang berserak-serak, nama Batiniyah lambat-laun menjadi identik dengan sebutan-sebutan lainnya yang digunakan pada waktu yang sama atas kesemua kelompok itu: Ibahiyah (faham serba memperbolehkan segala-galanya), Ghulat (kelompok yang keluar dari ajaran agama), Rafidhiyah dan sebagainya. Dari penamaan bermacam-macam itu dapat ditarik kesimpulan bahwa penamaan dengan kata Batiniyah pada akhirnya mengandung konotasi ekstrimisme dalam menolak ajaran-ajaran formal Islam dan sikap serba memperbolehkan segala perbuatan yang dilarang agama. Kalau dalam perkembangan di Timur Tengah di abad kesepuluh dan kesebelas Masehi, terutama di Iraq dan Iran sekarang, pemunculan Batiniyah dikaitkan dengan pengenduran nilai-nilai moral (moral permissiveness) dan gerakan-gerakan kekerasan yang bersifat anarkis seperti kelompok “the assassin” (al-hasyasyin, diambil dari akar kata hasyisy) yang dipimpin oleh seorang tua dari pegunungan Hasan Ibn Sabbah, maka di Anak Benua India dan di Asia Tenggara penamaan dengan Batiniyah justru dikaitkan dengan upaya penyerasian ajaran Islam kepada kepercayaan-kepercayaan setempat yang telah berkembang sebelum kedatangan Islam. Kaitan inilah yang antara lain tercermin dalam penggunaan kata “kebatinan” bagi kelompok kepercayaan di Jawa, yang menolak asimilasi penuh dengan ajaran dan manifestasi kehidupan beragama Islam di sini. Sebagai konjungsi dari kata “batiniyah”, kata “kebatinan” ini lalu dikhususkan bagi kelompok-kelompok yang melakukan resistensi terhadap proses Islamisasi, resistensi mana berlangsung selama berabad-abad dengan mengambil macam-macam bentuk kultural, militer dan ekonomis.
Salah satu bentuk yang diambil adalah restorasi kebudayaan asli Jawa, dihadapkan kepada proses Arabisasi yang menjadi bagian inherent dari proses Islamisani. Demikian intens keterlibatan perlawanan terhadap Islamisasi ini dengan restorasi kebudayaan Jawa tersebut, hingga akhirnya timbul pula penamaan “kejawen” di samping kebatinan. Dalam perbenturan antara proses Islamisasi dengan kelengkapan sosiokulturilnya yang serba massif melawan manifestasi kehidupan kejiwaan setempat yang telah berurat berakar mendalam, tidak dapat dihindarkan adanya pengerasan sikap kedua belah pihak.
Kebatinan lalu dianggap sebagai agama tanding (counter religion) oleh pihak Islam, yang dianggap pula berbahaya bagi proses Islamisasi itu sendiri. Sebaliknya, di pihak kebatinan, Islam justru dianggap sebagai ancaman bagi manifestasi hidup kejiwaan manusia Jawa itu sendiri.
III
Sudah tentu pengerasan sikap itu baru terjadi setelah melalui proses perbenturan yang berkepanjangan. Demikian pula tidak selamanya hubungan Islam dan kebatinan sepenuhnya diwarnai oleh sikap mengeras pada kedua belah pihak. Di balik sikap mengeras yang di kalangan tertentu dicanangkan oleh pimpinan formal masing-masing, terdapat latar belakang serba luas yang berupa adanya proses penyesuaian yang berlangsung dengan sangat perlahan tetapi tetap.
Dalam keadaan salah satu pihak menjadi dominan tetapi dengan kekuatan yang semakin menurun, sedangkan pihak lain mulai “menikmati” pertambahan kekuatan secara berangsur-angsur memang terjadi pengerasan sikap dengan segenap eksesnya, seperti yang sedang terjadi dengan isu pemasukan nama “kepercayaan” dalam GBHN yang akan datang. Tetapi dalam saat di mana terdapat keseimbangan dengan masing-masing pihak tidak merasa terancam, seperti dalam hal pihak Islam merasa kekuatannya sedang berada dalam kondisi optimal dan pihak kebatinan mampu memelihara kubu-kubu pertahanannya di kalangan elite Jawa yang sedang berkuasa penuh, terjadi proses pendekatan yang cukup memukau perhatian. Dalam saat-saat seperti itulah kalangan pimpinan formal Islam merasa gandrung kepada manifestasi budaya bersifat Jawa, termasuk kegandrungan kapada hirarki pengaturan hidup kemasyarakatannya yang serba paternalistik. Di akhir abad yang lalu hingga pertengahan abad ini, umpamanya, terdapat kegandrungan kepada gelar-gelar keningratan Jawa di kalangan pemimpin-pemimpin formal Islam, seperti yang dapat dilihat di kalangan para pejabat kantor-kantor agama (penghulu) dan sebagainya. Sebaliknya, pernah pihak Islam, antara lain terbukti dari karya pujangga Jawa yang besar-besar seperti Yasadipura, Ranggawarsita, dan Mangkunegara IV, sumbangan ajaran-ajaran Islam itu sedemikian besar artinya bagi mereka, hingga justru karya mereka menjadi agung dengan penyisipan (cultural borrowings) yang mereka ambil dari Islam.
Dinamika pola yang senantiasa berubah-ubah seperti inilah yang membuat langkanya studi tentang hubungan agama Islam dan kebatinan secara mendalam, termasuk pula langkanya studi mendalam tentang kebatinan di kalangan penulis-penulis Islam dan tentang Islam di kalangan kebatinan. Tidak seperti halnya dengan studi Imam al-Ghazali tentang kelompok-kelompok Syiah yang berserak-serakan, yang diberinya judul Fadihatul Bathiniyyah (Skandal Batiniyah), yang oleh beberapa orientalisten dinilai mempunyai kekuatan dan akibat yang sama kuat dan intensnya dengan karyanya yang lain, Tahafutul Falasifah. Jika dalam karya yang pertama ia menegakkan supremasi ortodoksi Islam dan menghancurleburkan argumentasi kesemua kelompok heterodoks ekstrim itu, dengan karyanya yang kedua al-Ghazali menegakkan supremasi skolastisisme dan menghancurkan kubu-kubu humanisme dalam Islam. Bak seorang petinju yang dengan dua tangannya membuat knock-out dua petinju lawannya.
Di kala pola hubungan Islam dan kebatinan memiliki wajah lembut, tidak terasa adanya keperluan untuk membesar-besarkan perbedaan antara keduanya. Di waktu pola hubungan itu mengeras, sulit untuk mengkaji persoalannya tanpa ada bias sama sekali. Demikian pula persyaratan penguasaan dua bidang studi yang sama-sama berat (studi keislaman dengan persyaratan penguasaan bahasa Arab literer-nya dan studi kejawaan yang membutuhkan penguasaan bahasa Jawa kuna dan baru yang bersifat literer atau bahasa inggil) menghambat dilakukannya pengkajian mendalam pola-pola hubungan itu, walau sekarang pun telah mulai dirintis di sana-sini, seperti oleh Dr. Soebardi dari National University of Australia.
IV
Perkembangan hubungan antara Islam dan kebatinan di saat ini masih belum dapat diperkirakan kesudahannya. Studi mendalam tentang kehidupan masyarakat Jawa masih menyajikan penilaian yang saling bertentangan dengan arah perkembangan itu sendiri. Kebanyakan peneliti tentang kehidupan Jawa sekarang ini terutama di bawah panji-panji Geertz tentang agama di Jawa, memperkirakan bahwa proses Kejawen-lah yang akan mengalami peningkatan, dibarengi dengan menyurutnya kekuatan golongan Islam di Indonesia secara umum. Sebaliknya, Mitsuo Nakamura dalam disertasinya di Cornell University dalam tahun 1972 menunjuk kepada vitalitas sangat besar dari gerakan keagamaan golongan Islam di negeri ini, yang membuahkan peningkatan kesadaran beragama Islam dari masa ke masa, bahkan di kalangan yang tadinya sudah meninggalkan manifestasi kehidupan beragama Islam juga. Jika Clifford Geertz mencanangkan semakin menderunya proses Jawanisasi untuk meminjam istilah yang digunakan oleh seorang penyelidik lain sebelumnya, maka Nakamura memberi nama Reislamisasi kepada kebangkitan kesadaran keagamaan di kalangan golongan Islam dewasa ini.
Masih diperlukan lebih banyak studi mendalam lagi sebelum arah perkembangan dapat diperkirakan dengan ketepatan yang memadai. Apakah proses Jawanisasi vis a vis proses Reislamisasi juga dapat diperkirakan dalam garis konjunktur yang jelas, mengingat ada faktor-faktor lain yang juga mempengaruhi proses restorasi kebudayaan Jawa (seperti semakin terikatnya bangsa kita kepada kebudayaan nasional yang menyatu dalam manifestasi bidang-bidang kulturalnya yang semakin luas, termasuk drama, film, sastra), masih harus dipertanyakan pula.
Demikian pula, proses penyesuaian dengan kehidupan modern membawa pengaruh-pengaruhnya sendiri, yang ada kalanya bersamaan pada kedua pihak yang sedang berbenturan itu. Kecenderungan serba mistik untuk bersandar pada hal-hal yang supernatural seperti wangsit dan ilham sama-sama dirasakan meningkatnya, baik di kalangan kepercayaan maupun di kalangan Islam sendiri, sebagai akibat dari ketidakmampuan mencari sandaran rasional dalam suasana kehidupan serba tradisional yang dibawakan oleh modernisasi di negeri kita. Tidak dapat pula dikesampingkan adanya kecenderungan mencari untung sesaat (expediency) di dalam memanfaatkan suasana yang serba cair. Kecenderungan pemanfaatan suasana untuk keuntungan segera ini juga terasa sama kuatnya di lingkungan kepercayaan maupun di lingkungan golongan Islam. Dalam sebuah wawancara dengan majalah Tempo, penulis mengemukakan adanya kecenderungan sementara golongan tarekat dalam Islam terkena pengucilan karena sikap pemanfaatan suasana itu. Akomodasi antara mereka dan golongan kepercayaan atau kebatinan telah mulai terjalin, seperti dengan adanya pernyataan penerimaan pencantuman kepercayaan dalam GBHN oleh tangan kanan K.H. Musta’in Romly, Ketua Umun Jamaah Tariqah Mu’tabarah baru-baru ini. Adalah tidak mungkin untuk sama sekali mengabaikan terjadinya perkembangan baru akibat akomodasi antara kelompok yang terkena pengucilan itu dengan golongan kebatinan. Sikap pimpinan formal golongan Islam untuk menerima kehadiran golongan kebatinan di luar status hukum formal GBHN menunjukkan dengan jelas, betapa cairnya suasana dan betapa besarnya kemungkinan untuk melakukan akomodasi di masa depan.
Tetapi kalau kita pun harus berhati-hati untuk tidak demikian saja menyimpulkan adanya akomodasi total antara kedua belah pihak. Bagaimanapun juga, timbulnya kebatinan itu sendiri adalah sebagai reaksi atas proses Islamisasi yang telah berusia berabad-abad lamanya. Kalau benar terjadi peningkatan proses Islamisasi dalam bentuk Reislamisasi, sebagaimana di sinyalir oleh Nakamura, maka yang akan terjadi adalah justru peningkatan upaya mengembangkan kebatinan sebagai pertahanan terakhir. Sedang sebaliknya, kalau gejala meningkatnya manifestasi hidup kejawen yang terjadi, sebagaimana disinyalir oleh Geertz, maka yang akan terjadi adalah adanya reaksi berbalik (backlash) yang sangat intens di kalangan golongan Islam di negeri ini.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa terlepas dari perkiraan akan terjadinya akomodasi sekelompok kecil golongan Islam dengan golongan kebatinan, akan terjadi arah perkembangan yang cukup akomodatif, tetapi tidak menghilangkan eksistensi masing-masing. Sebuah pola hubungan serba tenang mungkin akan berkulminasi dalam jangka panjang antara kedua belah pihak, dan jika hal itu terjadi, akan besar sumbangan yang diberikan oleh keduanya kepada kehidupan bangsa kita di masa datang. Dengan menyerap manifestasi kejawen sebagai salah satu unsur pelengkap kebudayaan nasional kita, kehidupan golongan Islam akan semakin menunjukkan warna lokal yang nyata, yang akan mampu membawanya kepada pemenuhan kebutuhan sebenarnya bagi kebutuhan bangsa kita di bidang spiritual dan mental. Sebaliknya, pihak kejawen akan lebih mematangkan diri dengan melakukan penyisipan-penyisipan (cultural borrowings) dari manifestasi kehidupan beragama Islam, seperti yang pernah diperoleh para pujangga besar Jawa di masa lampau.