Islam: Kajian Klasik ataukah Wilayah?

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

Pada waktu mendiang Dr. Soedjatmoko masih menjabat sebagai Rektor Universitas Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di Tokyo, penulis diundang ke sana untuk mengemukakan pandangan tertulis mengenai kajian Islam. Undangan tersebut ternyata membawa kepada sebuah pengembaraan yang sangat menarik hati penulis. Di samping bertemu Dr. Hassan Hanafi, yang sangat dihormati penulis, penulis juga bersama Dr. Soedjatmoko menonton film Gandhi di salah sebuah bioskop di Tokyo. Di situlah penulis mendapatkan gambaran yang sangat hidup tentang diri tokoh pejuang anti-kekerasan tersebut, yang selama ini hanya penulis kenal dari buku-buku belaka.

Penulis juga sempat di taman Jojogi Park bersama Dr. Soedjatmoko, untuk melihat bagaimana masyarakat Jepang menampung aspirasi anak muda yang gila dengan musik Barat mutakhir, dan menari/berdansa dengan iramanya. Dari pada mengganggu masyarakat di daerah tempat tinggal/pemukiman, aspirasi seperti itu disediakan wadah penampungan, dari pada ditindak secara represif. Mungkin hal ini setara dengan adanya Taman Hayde Park di tengah-tengah Kota London, tempat siapa pun boleh berdemonstrasi di tengah-tengah hingar bingarnya kota.

Penyaluran aksi protes seperti ini, di tempat-tempat umum, sebenarnya telah ada dalam budaya Jawa, dengan adanya alun-alun. Dalam konsep budaya semula, alun-alun juga berfungsi sebagai tempat warga negara yang ingin menyampaikan protes pada keraton atas sesuatu hal, dengan cara duduk di tengah-tengah hujan lebat dan sengatan matahari. Raja yang mengetahui hal itu, akan segera mengadakan pemeriksaan siapa yang bersalah dalam hal ini. Yang tidak jelas, kalau Raja sendiri yang bersalah, apakah sangsi yang harus dijalaninya?

*****

Dalam presentasinya, di hadapan staf Dr. Soedjatmoko, penulis menyatakan bahwa kajian Islam tidak dapat hanya bersifat tunggal. Kajian tunggal itu, sebagaimana dijalankan oleh beberapa perguruan Islam sendiri, hanya akan melahirkan kajian klasik tentang ajaran Islam. Kalau itu yang terjadi, maka hanya ada satu warna kajian Islam, yang sebenarnya menjadi inti formalisme agama dengan ujung Negara Islam. Nah, kalau kita tidak menginginkan negara seperti itu, apakah yang harus dilakukan di bidang kajian?

Untuk menghindarinya, harus dibuat lembaga yang melakukan kajian kawasan (area studies) bagi bangsa-bangsa muslim. Dengan demikian, di samping persamaan-persamaan ajaran yang dimiliki kaum muslimin se-dunia, seperti peribadatan dalam rukun Islam, yang menunjukkan persamaan penerapan ibadat itu sendiri oleh masyarakat, juga pengetahuan kita akan perbedaan dalam cara beribadat itu. Dengan mengetahui persamaan dan perbedaan yang dimiliki sebuah kawasan muslim dengan/dari kawasan-kawasan lain akan memperkaya pandangan kita tentang bagimana Islam dijalankan oleh masyarakat-masyarakat muslim yang saling berbeda tersebut. Hanya dengan pengetahuan seperti itulah kaum muslimin akan mengenal diri mereka dengan lebih baik.

Kajian kawasan yang diusulkan penulis adalah: Islam di kawasan Afrika Hitam, kawasan Afrika Utara dan negeri-negeri Arab, Islam di kawasan peradaban Turki-Persia-Afghan, kawasan Asia Selatan, kawasan Asia Tenggara dan kaum minoritas muslim di negeri-negeri  berteknologi maju (advanced countries). Digabungkan dengan sebuah pusat kajian klasik, dapatlah diharapkan kita akan memiliki pusat-pusat kajian (study centers) yang akan sangat memperkaya rangkaian tindakan-tindakan untuk memajukan agama tersebut.

*****

Kewajiban di atas, sebagian telah dipikul oleh berbagai Institut Agama Islam Negeri (IAIN) di negara kita. Tetapi wajah klasik Islam yang masih mendominasi kehidupan kaum muslimin di luar kampus, akan membawa gambaran yang keliru tentang Islam. Agama ini bukan hanya milik sebuah golongan atau dimonopoli oleh sebuah pihak saja, melainkan juga dominasi tampak nyata melalui berbagai gerakan dan institusi yang mewakili agama tersebut. Sebuah upaya untuk mengakui beberapa perbedaan antara berbagai penghayatan Islam di kawasan-kawasan dan lembaga-lembga tersebut, justru menampilkan kekayaan yang besar.

Dengan demikian, menjadi nyatalah bagi kita bahwa kosmopolitanisme Islam justru dibangun oleh kekayaan yang berbeda-beda tersebut. Karena itu, sangat wajarlah apabila kekayaan seperti itu dimunculkan oleh studi kawasan yang berbeda-beda. Mengingkari hal ini, berarti menolak kenyataan empirik yang ada dalam Islam sejak lahir sebagai agama samawi/langit.

Perbedaan adalah keniscayaan yang tidak dapat dibantah dalam kenyataan sejarah Islam sendiri. Hal itu diperkuat pula oleh firman Allah dalam kitab suci Al-Qur’an: “sesungguhnya telah Ku-ciptakan kalian sebagai lelaki dan perempuan, dan Ku-jadikan kalian dalam bentuk bangsa-bangsa dan suku-suku bangsa, untuk saling mengenal satu sama lain, sesungguhnya yang termulia di antara kalian di (mata) Allah adalah mereka yang paling bertakwa” (inna khalaqnaakum min dzakarin wa untha waja’alnaakum syu’uuban wa qabaaila li ta’arafu, inna akramakum inda Allahi atqakum). Perbedaan itulah yang menolak gagasan Negara Islam, karena penolakan Islam terhadap uniformitas masyarakat yang dipaksakan oleh sebuah kekuasaan.