Jangan Sampai ABRI Merasa Dilawan (Wawancara)
Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid
TIDAK GAMPANG menerka sikap politik Abdurrahman Wahid. Ketua Umum PBNU itu memang kerap melakukan langkah yang kontroversial. Belakangan ini, ketika banyak orang mengharapkannya bergabung dengan Amien Rais dan Megawati, ia justru bersikap lain. Tokoh yang berbadan subur itu tak hadir dalam pertemuan di rumah Nyonya Supeni di kawasan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, 15 Januari lalu. Padahal, Mega dan Amien telah siap membentuk “aliansi tiga serangkai”.
Mengapa Gus Dur enggan bergabung? Wartawan FORUM, Wahyu Muryadi dan Lukas Luwarso, mewawancarai pemimpin NU itu. Berikut petikannya.
Mengapa Anda tidak hadir dalam pertemuan itu?
La, karena tidak ada konfirmasi. Saya itu menunggu telepon dari Bu Supeni. Dari pagi, sejak pukul 09.00, saya tunggu di kantor PBNU, eh, sampai pukul 12.30 kok tak ada yang mengonfirmasi. Tak ada yang menjemput. Ya, sudah, saya pergi saja ke acara lain. Saya kira acara itu ditunda.
Apakah itu berarti Anda kurang srek berkoalisi dengan Amien dan Mega?
Lo, ya, jelas enggak srek. Itu koalisi apa, wong belum dibicarakan, sasarannya apa, mau bagaimana mekanismenya, kok langsung pertemuan. Ya, susahlah. Jangan bikin forum kalau belum ada persiapan apa-apa.
Pertemuan itu mungkin maksudnya sebagai prakarsa ke arah itu…
La, kalau itu maksudnya, ya, enggak usah orang banyak, dong. Kita sendiri saja dulu, membereskan semuanya, baru kita bicara di depan orang banyak.
Jadi, Anda sebenarnya mau diajak bergabung dengan Mega dan Amien?
Tunggu dulu, Lihat dulu, untuk apa. Saya kan belum bertemu, mereka maunya apa. Saya enggak mau nggugah (membangunkan) macan tidur. Nanti dululah. Jangan sampai ABRI merasa dilawan. Nanti malah cari gepuk (kena pukul).
Kalau begitu, rencana aliansi Anda dengan Amien dan Mega gagal?
Nanti dulu. Maunya apa, sih? Apa nanti saya mesti mengerahkan massa besar-besaran untuk mengepung gedung DPR? Apa mau mengajak begitu? Kalau diajak begitu, saya enggak mau. Kalau diajak istigasah, memanjatkan doa bersama-sama, saya mesti mau. Saya tak mau yang serba kabur. Enggak bisa asal maju saja kayak anak kecil. Bertemu dulu, dong, diam-diam, Amien sama saya. Saya harus punya gambaran yang spesifik.
Apa Anda tidak takut ditinggal teman-teman yang selama ini satu perjuangan?
Enggak. Biarin saja. Wong aku gak lapo-lapo (Saya enggak ngapain-ngapain). Aneh, kalau saya takut ditinggal. Sudah saya bilang, kan dari dulu saya ini, ya, begini, melakukan gerakan kultural secara bertahap. Kalau berontak berontakan enggak mau dari dulu.
Tapi, apa mungkin orang seperti Amien dan Megawati yang telah mencalonkan diri bisa terakomodasi dalam Sidang Umum MPR?
La, ya, kita usahakan, kita tuntut supaya mereka diperkenankan. Jadi, ada pencalonan yang lebih bebas. Itu substansi idenya, kan, sebenarnya sama saja antara membentuk presidium dan membuka pintu bagi pencalonan banyak orang. Ya, sama saja. Kenapa kita harus membuat sesuatu yang tidak ada di undang-undang dasar kita. Terus terang, dalam hal-hal seperti itu saya konservatif.
Anda kok kurang progresif?
Ya, sudah, enggak apa-apa. Wong saya lebih memikirkan keselamatan bangsa dan negara. Kita itu harus memakai adagiumnya Mao Zedong, “Musuh menyerang kita lari, musuh diam kita ganggu, musuh lari kita kejar.” La, saat ini belum sampai ada musuh lari. Musuhnya lagi diam, diganggu-ganggu saja.
Tanggapan Anda mengenai pencalonan Megawati?
Saya mendukung pencalonannya, tetapi tanpa punya optimisme. Pencalonan itu perlu sebagai pendidikan politik. Tetapi, apakah pencalonan itu akan terwujud konkret di MPR, itu soal lain. Saya tahu IMF atau luar negeri sangat mengidealisasi Megawati. Nah, kalau pencalonannya disetujui semua pihak, mau tidak mau, kan punya dampak. Karena Megawati, bagaimanapun, didukung oleh 18,5 juta pemilih PDI yang meninggalkan PDI, ditambah 11 juta pemilih golput. Jadi, pendukungnya hampir 30 juta, sekitar 25 persen dari pemilih. Itu berarti tidak bisa diabaikan begitu saja.
Tetapi, juga jangan terlalu optimistis. Kalau tidak jadi, ya, jangan kecewa. Yang realistislah. Saya yakin tujuan Mega bukan menjadi presiden, atau mungkin saya salah menilai?
Lantas, bagaimana Anda melihat situasi sekarang ini?
Memang ada yang menilai seolah-olah pemerintahan kita ini sudah ambrol, jadi tinggal mengganti Pak Harto saja. Penggantian itu hanya soal waktu. Tetapi, jika kita melihat lebih dalam, lain lagi. Pokok pangkal masalah kan pada MPR/DPR. Lembaga ini bermasalah karena kena didikte terus dari dulu sampai sekarang. MPR sudah menjadi pemelihara status quo, tidak akan ada perubahan, yang ada pengukuhan. Saya melihat, belakangan ini banyak pernyataan yang menghendaki Pak Harto untuk mundur. Saya ini orang Jawa, yang selalu melihat dari segi keberuntungannya. Untung cuma diminta mundur, sehingga pihak sana bisa menjawab juga.
Apakah akan terjadi gejolak sosial berkaitan dengan krisis saat ini?
Melihat apa yang terjadi saat ini, adanya kesepakatan 50 butir antara pemerintah dengan IMF, sudah pasti akan muncul gejolak-gejolak ke depan. Tapi, apakah gejolak yang terjadi itu akan begitu besar, sehingga dapat mengubah fundamental kehidupan kita? Belum tentu.