Jiwa dan Masa Depan PKB
Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid
Ada pemimpin Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), menyatakan bahwa ia tidak bersedia menjadi pengurus sekarang, karena kepengurusan PKB ada non-muslimnya. Ini adalah pernyataan yang aneh, karena itu beberapa alasan akan diuraikan di bawah ini. Padahal ia sudah bertahun-tahun menjadi pengurus PKB, dan sejak berdiri PKB senantiasa berisi orang-orang non-muslim sebagai pengurus, di samping kaum muslimin yang bukan warga Nahdlatul Ulama (NU). Bukankah itu berarti sekian tahun itu ia menipu diri sendiri? Mengapakah ia tidak langsung saja berterus terang menolak hasil Muktamar II di Semarang? Dalam pandangan penulis, penipuan kepada diri sendiri itu tidak lebih hanyalah sebuah alasan untuk menolak kehadiran ‘orang lain’ dalam PKB. Karena itu, memang lebih baik ia tidak berada dalam lingkungan pengurus partai, karena yang diperlukan adalah mereka yang jujur dalam kepengurusan.
Sebenarnya, memang ada perbedaan mendasar antara NU dan PKB. Ini dapat dilihat dalam 2 hal, yaitu masa lampau NU dan masa depan PKB. NU didirikan tahun 1926, tetapi sebenarnya ia bermula dari langkah yang diambil oleh Sultan Hadiwijaya dari Kerajaan Demak. Saat itu, ia dikalahkan dalam perang tanding melawan Sutawijaya, yang belakangan menggunakan gelar Panembahan Senopati Ing Ngalaga Sayidin Panatagama Kalipatullah Ing Tanah Jawi, dan menjadi pendiri Dinasti Mataram. Ketika kalah dalam perang tanding tersebut, Hadiwijaya lari ke Sumenep untuk meminta pertolongan ibunya, Kanjeng Ratu Putri di Astana Tenggi, wanita ningrat yang juga menjadi pembawa tarekat Qadiriyah ke Pulau Madura itu memberinya 40 macam kesaktian/ kanuragan kepadanya.
Dalam perjalanan pulang ke Pajang, Sultan Hadiwijaya singgah di pulau Pringgoboyo (sebelah selatan Paciran di Lamongan) di sana ia bermimpi didatangi oleh gurunya, yang menyatakan tidak ada gunanya ia kembali ke Pajang untuk memperebutkan tahta kerajaan, karena ia akan tetap kalah melawan Sutawijaya. la menurut perintah gurunya, dan tinggal di Pringgoboyo itu kemudian membuka sebuah pondok pesantren. Maka bermulalah sebuah tradisi baru (pondok pesantren) yang menjadi alternatif tradisi kraton besar di pusat kerajaan. Pondok pesantren merupakan kekuatan tersendiri, yang melaksaakan sistem nilai baru (kesantrian) sebagai sesuatu yang memiliki kemampuan seimbang dengan kraton.
Fungsi seharusnya diteruskan oleh NU, yang merupakan kekuatan alternatif bagi kekuatan pemerintahan pusat di Jakarta. Karena itulah dapat dimengerti jika kepemimpinan dalam NU hanya terdiri dari orang-orang NU. Dalam hal itu, pemimpin-pemimpin NU menjadi alternatif bagi kepemimpinan nasional, yang hanya dapat “dipatahkan” oleh Soeharto-Ali Murtopo melalui tindakan “penyederhanaan partai politik”. NU lalu menjadi bagian dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Maka bermulalah masa transisi/perpindahan dari parpol golongan menjadi parpol nasional.
****
Perjalanan sejarah inilah yang seharusnya disadari oleh tokoh tersebut. Tapi ternyata ia tidak menyadarinya sama sekali. Karena itu, ia berkeras untuk membuat kepemimpinan dalam PKB hanya dipegang oleh orang-orang NU saja. Padahal sejarah telah menunjukkan dengan jelas, bahwa sikap seperti ini tidak dapat terus-menerus dipertahankan, tanpa mengorbankan cita-cita NU sendiri.
Sejak lahirnya, PKB memiliki “jiwa” yang berbeda dari NU. Karena di masa depan, peranan politik di kalangan parpol akan bersifat nasional. Parpol akan menjembatani gerakan mahasiswa, lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan sebagian kaum intelektual. Di sisi lain, ada Tentara Nasional Indonesia (TNI) juga akan berfungsi politik, walaupun resminya bukan. Parpol harus menjadi jembatan yang menghubungkan antara keduanya. Karena itu, parpol harus bersifat nasional, dan tidak terlalu mementingkan kepentingan kelompok. Berdasarkan hal itu penulis menginginkan PKB mencapai lingkup nasional dengan sendirinya. Penulis harus mengusahakan agar PKB diminati oleh kelompok-kelompok non-muslim dan kelompok-kelompok muslim non-NU. Itulah sebabnya mengapa penulis berusaha memasukan kawan-kawan non-muslim dan non-NU ke dalam kepengurusan PKB.
Inilah yang penulis namakan “masa depan PKB”. Таnра mengerti hal ini, berarti kita tidak memahami masa depan dunia politik kita. Kalau hal ini tetap terjadi, NU akan tetap menjadi subordinat dari kehidupan nasional kita, bukannya menjadi koordinat. Kalau memang NU benar-benar besar, ia harus mau berbagi tempat. Dengan demikian akan menjadi bagian dari sesuatu yang lebih besar, yaitu dunia politik nasional kita. Ketidakmampuan memahami hal ini, akibat sikap “menjaga kemurnian”, akan membuat kita tetap terpecah-pecah dalam lingkup kesantrian, seperti terjadi dalam PPP terdahulu. Bagaimana klaim bahwa umat Islam merupakan kelompok terbesar dalam kehidupan nasional kita, sedangkan dalam kenyataan kita hanya berpikir tentang kepentingan kelompok saja.
Nyatalah dengan demikian, bahwa memang ada pergeseran besar. Kalau disadari dahulu NU mewakili kepentingan kaum santri yang bersifat sempit, dan membuatnya tidak berpartisipasi dalam kehidupan bangsa secara riil. Akibat pola lama yang berwatak kepentingan golongan yang selalu diusahakan agar ditentukan oleh NU. Maka sekarang justru PKB lah yang harus merambah pola kehidupan baru itu. Tetapi kepentingan nasional menghendaki kesediaan untuk memelihara peranan dalam kehidupan sebagai bangsa, dan dalam kenyataan bangsa kita memang terdiri dari bermacam-macam golongan. Dalam mengelola kehidupan sebuah parpol, hal ini memang harus selalu disadari dan dijadikan kebijakan/policy dasar. Bersama-sama dengan kemampuan melakukan pensejahteraan kehidupan, penegakan kebebasan, pemeliharaan kedaulatan hukum dan penyelenggaraan kehidupan saling berbeda.
Jelaslah di sini, bahwa NU memang berbeda dari PKB. Perbedaan kesejarahan masa lampau dan masa depan memang harus selalu diperhitungkan, kalau kita memang ingin dewasa. Betapapun “murni” dan “indah” keinginan untuk tidak memberikan tempat kepada pihak-pihak lain dalam PKB, jelas akan merugikan masa depan PKB sendiri. Mereka yang “bermimpi” seperti itu, haruslah menyadari bahwa PKB bukanlah parpol yang sesuai dengan keinginannya itu sendiri. Mereka bermimpi dengan sesuatu yang melayani kepentingan kelompok saja, bukannya kepentingan bangsa secara keseluruhan. Sudah tentu, bagi orang-orang seperti penulis, hal itu adalah tragedi yang harus dihindari. Di masa lampau, kebesaran NU terletak dalam kemampuan “menjaga kemurnian” NU sendiri. Tetapi di masa yang akan datang hal itu ada dalam kemampuan hidup bersama-sama dengan orang lain.
Dengan memahami perbedaan masa lampau dari masa depan, kita akan memperoleh daya gerak untuk mempertahankan daya gerak itu sendiri. Ini berlaku untuk semua pihak, dan selalu berulang kali terjadi kalau diperhatikan dengan teliti. Maka hanya pihak yang bersedia melakukan penyesuaian/adaptasi masa dahulu kepada masa depan saja yang akan mampu bertahan dalam kebesaran masa lampau. Inilah yang sebenarnya merupakan kemampuan melanggengkan dan menghilangkan apa yang kita kehendaki, sebagai bagian dari proses yang lumrah terjadi dalam sejarah manusia, bukan?