“Kalau Sang Resi Berbicara”
Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid
Pada awal minggu kedua Juni 1978, sastrawan besar Alexander Solzhenitsyin berbicara di hadapan civitas akademika Universitas Harvard. Dalam pidato tersebut, sastrawan Rusia itu menyerang hilangnya kekuatan moral di Amerika Serikat, negeri tempat ia tinggal dalam pembuangan. Materialisme telah begitu hebat melanda negeri Paman Sam itu, menurut Solzhenitsyin, sehingga keberanian untuk mempertahankan kebenaran dan kemerdekaan telah sangat berkurang Kalau dahulu Amerika Serikat terkenal sebagai obor kemerdekaan yang menerangi hati semua bangsa yang tertindas dan memberikan harapan akan suatu masa depan yang cerah di kala hati mereka berada dalam kegelapan penjajahan dan penindasan, kini justru negeri itu yang berdamai dengan kenyaaan pahit atau akan adanya penjajahan dan penindasan itu sendiri.
Seluruh Amerika Serikat menjadi gempar dengan adanya penilaian Solzhenitsyin itu, Pidato itu menjadi bahan perdebatan sengit dan menimbulkan reaksi sangat luas di masyarakat. Umumnya bernada keras, bahkan sebagian secara ekstrim menuduh Solzhenitsyin sebagai orang yang tidak mengenal rasa terima kasih kepada bangsa yang telah menerimanya dengan begitu tulus dan terbuka. Padahal Solzhenitsyin sendiri telah mengemukakan rasa berat di hatinya untuk mengucapkan apa yang perlu diucapkan itu. Justru rasa terima kasihnya yang begitu besarlah yang mendorong memberikan peringatan kepada bangsa Amerika itu. Hanya ada sedikit pengulas yang mampu memeriksa isi pidato Solzhenitsyin itu dengan kepala dingin dan hati yang tidak terlalu dipengaruhi emosi. Begitu hebat kontroversi yang diakibatkan oleh pidato Solzhenitsyin itu, hingga terpaksa istri presiden Amerika Serikat Ny. Rosalynn Carter mengemukakan keberatannya atas pidato Solzhenitsyin, guna menghindari berlarut-larutnya perdebatan sengit yang ditimbulkannya.
Pada umumnya, pihak yang menolak selalu menunjuk kepada ketidaktepatan penilaian Solzhenitsyin atas gaya hidup orang Amerika. Memang benar mereka terlalu disibukkan dengan pengejaran hidup yang secara lahiriyah tampak materialistis. Bahkan kehidupan bangsa Amerika oleh seorang pemikir sosial telah dimasukkan ke dalam kategori “affluent“, serba berkelebihan. Tetapi ini tidak berarti bangsa tersebut telah hanyut begitu rupa, hingga kehilangan keberanian untuk membela kebenaran dan kemerdekaan. Sederetan contoh dikemukakan, dari kepeloporan Amerika Serikat dalam pembentukan Liga Bangsa-bangsa dalam tahun 1918 hingga kepada petualangan dalam perang Vietnam beberapa tahun yang lalu. Bahkan kinipun masih berlangsung komitmen Amerika Serikat untuk mempertahankan daratan Eropa Barat dan Selatan dan ancaman serangan komunis, Korea Selatan dan Jepang di kawasan Asia Pasifik dan Israel di kawasan Timur Tengah.
Pembelaan
Tetapi, di balik kebisingan reaksi terhadap pidato Solzhenitsyin itu, yang menarik adalah pembelaan harian The Philadelphia Inquirer atas pendirian sang sastrawan buangan itu. Solzhenitsyin benar dan berhak mengeluarkan pendapat seperti itu, menurut harian di atas, karena ia bertindak selaku seorang seniman dan moralis yang konsekuen dengan pendiriannya. Terlepas dari benar atau tidaknya fakta-fakta yang digunakan untuk mendukung pendapat itu, Solzhenitsyin sebagai seniman dan moralis telah mencoba menyoroti kehidupan bangsa Amerika dewasa ini secara menyeluruh, sebagai fenomena yang utuh. Memandang menurut kacamatanya sendiri, Solzhenitsyin sampai pada kesimpulan di atas. la mengembalikan landasan kehidupan bangsa Amerika kepada unsurnya yang terpokok yang umumnya dinamai “moral fibres” (serat-serat moral) yang membentuk wajah utama kehidupan itu sendiri secara keseluruhan Hanya sejarahlah yang akan membuktikan benar atau tidaknya kesimpulan yang diperoleh Solzhenitsyin dari sudut penglihatannya yang unik itu. Demikianlah ringkasan pembelaan The Phladelphia Inquerer atas pidato Solzhenitsyın itu, yang ditutup dengan peringatan keras berikut kalau Amerika Serikat tidak mampu mentolerir pandangan seperti yang dikemukakan Solzhenitsyın itu secara wajar, justru itu merupakan kekerdilan jiwa bangsa tersebut, sesuatu yang dahulu tidak ada.
Sering Didera
Apa yang menarik bagi kita dari jalannya “peristiwa Solzhenitsyin” di atas adalah perbandingannya dengan keadaan di negera-negara berkembang, termasuk negara kita sendiri. Semangat kemanusiaan (humanitas) bangsa-bangsa di Dunia Ketiga umumnya telah sering didera oleh kepahitan pengalaman dijajah bangsa lain atau ditindas oleh para pemimpin mereka sendiri. Peringatan demi peringatan yang dikeluarkan oleh para seniman besar dan moralis konsekuen dihadapkan kepada dua kenyataan serba pahit. Di satu pihak terdapat kesulitan sangat besar bagi para “guru bangsa” itu untuk melakukan penilaian dengan obyektivitas penuh dan sikap yang jujur. Di pihak lain, kalaupun toh dapat dibuat penilaian atas keadaan seperti itu, sedikit sekali perhatian yang diberikan kepadanya. Akhirnya, kerja menilai kehidupan bangsa secara keseluruhan menjadi bagaikan orang yang berteriak-teriak di gurun pasir. Sudah tidak jelas kepada siapa teriakan ditujukan, suaranya tidak bergema pula. Tidak ada pantulan, tidak ada umpan balik untuk digunakan sebagai bahan renungan bersama pada taraf selanjutnya.
Herankah kita kalau justru kerja melakukan penilaian itu lalu menjadi kesibukan antara sesama anggota suatu kelompok elit yang sangat kecil, tidak menyentuh kehidupan mayoritas bangsa yang membutuhkannya? Herankah kita jika bangsa yang tidak memperoleh bimbingan berupa kerangka moral dengan bingkai-bingkai yang jelas itu lalu mengembangkan kehidupan yang tidak jelas polanya? Bangsa itu secara keseluruhan lalu bertindak sebagai orang mabuk yang melangkahkan kaki serba tidak pasti dan menatap ufuk kehidupannya sendiri dengan pandangan nanar?.
Dalam keadaan demikian, tekanan terlalu besar yang dirasakan oleh pelopor-pelopor kelompok elit yang menjadi juru nilai itu akan membuat mereka berputus asa. Sikap berputus asa itu lalu berubah menjadi kepahitan sangat besar kepada pihak yang menguasai pemerintahan, dan akan berkesudahan pada caci maki kalang kabut yang ditujukan kepada penguasa. Atau lebih halusnya mengambil bentuk kekenesan untuk mengolok-olok pimpinan tertinggi negara. Seolah-olah dengan demikian terpuaskanlah sudah semua kekecewaan dari tuntutan moral yang tidak terpenuhi oleh penguasa. Personifikası pimpinan tertinggi negara lalu menjadi musuh utama yang harus diolok-olok dengan sejumlah satire dan parodi, dengan tidak menghiraukan martabat tinggi dari jabatan yang diolok-olok.
Kekenesan
Sang moralis segera akan menjadi populer dengan “kreativitas” sepert itu, karena bagaimanapun juga sejarah umat manusia telah membuktikan mudahnya mencari penerimaan rakyat banyak bagi upaya mencari kambing hitam, baik upaya itu datang dari pemerintah (yang mengkambinghitamkan pejuang-pejuang kebebasan dan kebenaran), maupun dari elit yang mengkambinghitamkan penguasa. Tetapi moralis yang menjadi kenes begini sebenarnya lalu menjadi terlibat dengan semacam politik praktis (atau justru “politik tidak praktis”) dengan kekenesannya itu. Seorang moralis, jika ia menginginkan perjuangannya memiliki kebenaran universal, ia harus mampu memperlihatkan keluhuran budinya sendiri, sebelum ia menuntut hal yang sama dari orang lain. Tingkat keluhuran seperti ini tidak mudah dicapai, dan justru tidak akan tercapai dengan segala bentuk kekerasan. Inilah yang membuat mengapa sikap hidup dan bimbingan moral yang tinggi biasanya malah datang darı para agamawan, walaupun sebenarnya ia bukanlah monopoli mereka. Bahkan mereka itu sering terbentur pada sempitnya bingkai penglihatan yang mereka gunakan, sehingga keluhuran moralitas mereka menjadi tidak menarik lagi, karena kehilangan watak universalnya.
Karenanya, yang diperlukan justru adalah perpaduan antara kemampuan memberi bimbingan moral yang tinggi, yang timbul dari kemampuan melihat perjuangan menegakkan kebenaran dan kebebasan dan melihat kebutuhan nyata masyarakat itu sendiri. Di masa lampau, dunia menjadi bergetar kalau sang maha resi yang memiliki perpaduan kedua unsur di atas mengatakan sesuatu. Kerajaan dapat tumbang oleh ucapannya. Mahkota dapat berpindah karena sabdanya.
Para moralis kita, terlebih-lebih dari lingkungan para seniman, hendaknya menyadari hal ini sedalam-dalamnya. Jangan jadikan diri sendiri sebagai badut yang tidak lucu dengan segala manifestasi kekenesan, melainkan jadikan diri sendiri sebagai sang maha resi yang tidak berucap kalau tidak didukung oleh wibawa moral yang kuat. Hanya dengan menjadikan diri sendiri sebagai maha resi yang demikianlah, bangsa-bangsa yang belum mengenyam kebebasan dapat membebaskan diri dari penindasan. Bangsa kita pun harus pula mengikuti pola yang sama, jika upaya menegakkan keadilan dan kemakmuran ingin berhasil diperjuangkan.