Kata Pengantar: Kasus Penafsiran Ulang yang Tuntas
Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid
BUKU yang ada di tangan pembaca ini adalah sebuah upaya penafsiran ulang atas salah satu tiang utama agama Islam. Agama samawi terakhir ini memiliki dua buah landasan utama, yaitu Rukun Iman dan Rukun Islam. Rukun Iman adalah pengakuan individual akan keterikatan seseorang muslim dengan eskatologi agamanya, sedang Rukun Islam adalah keterlibatan seseorang dengan fungsi sosial agamanya. Dalam Rukun Iman seorang muslim menyatakan keimanannya kepada Allah, para rasulnya, para malaikat, kitab-kitab suci, adanya hari kiamat dan kehidupan akhirat, dan keimanan bahwa hidup manusia berada dibawah ketentuan takdir-Nya. Sementara Rukun Islam mengharuskan seseorang muslim untuk menyatakan kesaksiaannya atas ketuhanan Allah dan kerasulan Muhammad, menegakkan salat, menunaikan zakat, puasa di bulan Ramadlan dan menunaikan ibadah haji bagi yang mampu.
Apa yang jadi kegelisahan utama dari tesis buku ini adalah bahwa dalam rentang sejarahnya yang sangat panjang, lebih dari 10 abad, umat Islam telah mengabaikan amanat sosial (kekhalifatan)-nya yang nota bene begitu jelas dalam ajaran agamanya. Bukan tidak ada dimensi sosial yang telah ditegakkan oleh umat dalam peri kehidupan politik, ekonomi maupun sosial lainnya. Akan tetapi kesemuanya itu tampak sebagai sesuatu yang tidak punya kaitan organik dan fungsional dengan jantung keyakinan agamanya. Islam, sekali lagi dengan komitmen sosialnya yang begitu eksplisit, telah direduksi menjadi agama yang hanya berurusan dengan peri kehidupan yang berskala personal dan bersifat penuh ritual. Sehingga, untuk dimensi kehidupan individual umatnya, barangkali Islam masih membersitkan pengaruhnya, akan tetapi untuk dimensi kehidupan sosialnya pengaruh itu hampir-hampir tidak lagi terasa. Masuk dalam tatanan masyarakat feodalistis, umat Islam ikut bersikap feodal, masuk tatanan masyarakat borjuis-kapitalistis juga ikut berperilaku seperti itu.
Adalah dalam rangka menegakan kembali bangunan sosial Islam, Masdar F. Mas’udi sebagai penulis buku ini mengangkat persoalan zakat dari timbunan puing-puing kesejarahannya. Dengan ungkapan-ungkapanya yang provokatif, ia mencoba meyakinkan kita semua bahwa zakat itulah pintu masuk bagi umat Islam, apabila memang benar-benar hendak menegakkan amanat kekhalifatnya dengan menegakkan keadilan dalam kehidupan sosialnya. Di dalam ajaran zakat, Islam bukan saja telah menunjukkan keterlibatannya yang bulat pada tata kehidupan masyarakat manusia yang sehat, adil dan demokratis, akan tetapi sekaligus mencanangkan pakem-pakem strategi kelembagaannya. Ungkapan ini berbau sloganistis dan mengingatkan kita kepada jargon-jargon lama yang sudah sering terdengar. Akan tetapi karena penafsiran ulang yang cukup tuntas yang dilakukan terhadap ajaran yang bersangkutan, maka kehampaan ungkapan-ungkapan tadi hampir sepenuhnya bisa dihindari
Sebenarnya, upaya untuk menegakkan kesalihan sosial melalui konsep zakat ini sudah banyak dilaksakan orang, dan akan terus saja dicoba laksanakan. Di kalangan masyarakat kita, terutama menjelang lebaran puasa, berbagai bentuk kepanitiaan zakat muncul di mana-mana. Umumnya berskala lokal, baik terkait dengan kepengurusan masjid, dengan kepengurusan ormas Islam, dengan lembaga pendidikan, majlis taklim dan sebagainya. Sementara kepanitiaan musiman itu terus digalakkan, pemerintah sendiri melalui inisiatif para birokrat muslim yang berperan di dalamnya, juga telah mencanangkan gerakan pengelolaan zakat melalui aparat birokrasinya. Apabila pada mulanya gerakan itu hanya merupakan inisiatif lokal dari aparat pemerintah daerah dengan BAZIS-nya, maka sejak awal tahun 1991 ini dicoba ditingkatkan menjadi suatu gerakan nasional yang didukung oleh SKB dua menteri, Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri.
Di beberapa nagara Islam’ lainnya seperti Malaysia, Bangladesh dan Pakistan, juga ada gerakan serupa. Di Malaysia, beberapa tahun yang lalu diusahakan penetapan fungsi komplementer antara zakat dan pajak. Pengeluaran zakat dapat dipotong dari jumlah penghasilan atau pemilikan yang terkena wajib pajak. Diharapkan dengan demikian, bahwa insentif bagi pembayar zakat akan menjadi membesar, karena tentunya wajib pajak akan merasa senang dengan keringanan beban pajak yang harus dibayarkannya. Dalam kenyataanya, kegairahan seperti itu tidak muncul secara luas. Apa pun caranya, tokh uang harus dikeluarkan juga dari koceknya.
Di Pakistan, pada dasawarsa tujuh puluhan Mahbubul Haq mencoba mengorganisasikan pemungutan zakat dalam sebuah kerangka makro dan masif. Dengan menggunakan tangan pemerintah otoriter mendiang Presiden Ziaul Haq, Mahbubul Haq selaku menteri Perencanaan mencanangkan pembentukan lebih dari 30.000 kelompok zakat (zakat councils) di seluruh negeri. Dengan upaya seperti itu diharapkan dapat dimobilisasikan dana masyarakat dalam jumlah besar dan untuk jangka waktu yang tak terbatas. Namun dalam ketidak jelasan wewenang dan kontrol, terletak sebab kegagalan upaya Mahbubul Haq yang tragis itu. Sebagai lembaga masyarakat, meski di bawah naungan pemerintah, kelompok pengelola zakat itu tidak memiliki keabsahan dalam pandangan pembayar zakat untuk menggunakan dana yang terkumpul bagi keperluan apa pun di luar yang semata-mata menjadi urusan konvensional zakat. Dengan kata lain, penggunaan dana zakat hanya dapat diterima oleh masyarakat sejauh diarahkan untuk hal-hal yang mikro dan bersifat santunan (karitas) belaka. Mahbubul Haq memang tidak melakukan rekonstruksi tuntas terhadap ketentuan-ketentuan Fiqh Zakat selain yang berkaitan dengan pengorganisasiannya saja.
Bahwa langkah-langkah pembenahan seperti itu tidak pernah mencapai sasaran disyariatkannya zakat untuk menggerakkan roda keadilan sosial seperti diharapkan Islam, tidaklah perlu disesali. Lembaga-lembaga kepanitiaan seperti itu selain tidak memiliki kewenangan memaksa mereka yang menolak membayar zakat, dan orientasi sosialnya sektarian, juga tidak bisa dikontrol oleh para wajib zakat, langsung maupun melalui perwakilannya. Dan yang lebih mendasar dari itu semua, berkaitan dengan pandangan filosofis dari Islam sendiri tentang kehidupan sosial, adalah bahwa semua upaya tersebut secara sadar atau tidak terjebak dalam kerangka sekularisme terselubung yang memisahkan agama dari negara; dan karena itu mereka pun memisahkan antara zakat dari pajak. Zakat adalah dana agama yang ada dalam kewenangan ulama, sedang pajak adalah dana negara yang ada dalam kewenangan umara (penguasa).
Dengan bahasa yang mudah dicerna, Masdar mengatakan bahwa seperti halnya ruh dan badan, zakat dan pajak memang beda. Tapi bukan untuk dipisahkan, apalagi diperhadapkan dan dipersaingkan. Zakat adalah ruhnya, sedang pajak adalah badannya. Sebagai konsep keagamaan, zakat bersifat ruhaniyah dan personal. Sementara konsep kelembagaan dari zakat itu sendiri, yang bersifat profan dan sosial, tidak lain adalah pada apa yang kita kenal selama ini dengan sebutan “pajak”. Oleh sebab itu, barang siapa dari umat beriman yang telah membayarkan pajaknya (dengan niat zakat) kepada negara, maka terpenuhilah sudah kewajiban agamanya. Sebagai seorang muslim (pasrah kepada Tuhan), ia telah menunaikan tanggungjawab sosialnya secara benar dan semestinya. Sebaliknya, seberapa pun besarnya sumbangan atau infak seseorang muslim kepada pihak-pihak tertentu tanpa lewat otoritas negara, maka sumbangan itu jatuhnya hanyalah sedekah biasa (tathawwu’) yang bersifat ekstra (nafilah) dan tidak bisa menggugurkan kewajiban pajaknya (sedekah zakat)-nya.
Penafsiran zakat sebagai konsep perpajakan terasa menyentakkan pemahaman kita semua dan bisa dipastikan banyak mengundang reaksi antara yang pro dan yang kontra. Akan tetapi, seperti lazimnya setiap orang muslim yang mencoba menafsirkan kembali ajaran agamanya, Masdar pun berhujjah bahwa yang demikian itulah yang justru terjadi pada masa Rasulullah dan kedua khalifat sesudahnya, Abu Bakar dan Umar r.a. Dimana-mana dan di setiap jaman, yang namanya pemerintahan selalu memungut dana wajib dari rakyatnya, pungutan yang disebut upeti atau pajak. Juga pemerintahan Rasulullah dan khalifah-khalifah beliau. Bedanya, di tangan pemerintahan ‘kafir’, upeti atau pajak itu dihayati sebagai kewajiban yang harus dibayar oleh rakyat pada negara (raja), semata-mata karena mereka adalah rakyat. Di tangan pemerintahan Rasulullah dan khalifah-khalifah beliau, upeti atau pajak itu dihayati sebagai kewajiban ilahiyah yang harus dibayarkan, diserahkan kepada negara/pemerintah semata-mata sebagai titipan atau amanat. Oleh sebab itu, tidak mustahil bahwa dalam konsep pajak tersebut pertama, dana pajak akan lebih – kalau tidak sepenuhnya – ditasarufkan untuk kepentingan negara (raja), sementara pada konsep kedua dana pajak itu harus ditasarufkan justru terutama bagi kepentingan rakyat yang tidak punya dan kesejahteraan bagi semua. Itulah upeti atau pajak dengan spirit (ruh) zakat.
Dengan demikian, manunggalnya kembali pajak dan zakat sebagaimana ditawarkan penulis buku ini membawa implikasinya sendiri atas pemahaman kita mengenai konsep agama dan negara. Dalam sinaran penafsiran itu, agama tidak lagi dipandang sebagai terpisah dari negara, baik secara paralel dan apalagi berhadap-hadapan. Seperti halnya zakat sebagai spirit yang merasuk kedalam pajak (sebagai badan), demikian pula agama; ia adalah spirit, ruh, yang harus merasuki kembali negara sebagai sosok badaniyah dan kelembagaannya. Dan dalam pemahaman seperti ini, tidak perlu muncul perasaan kecil hati pada negara (aparat dan segenap perangkatnya) karena secara hirarkis ada di bawah agama. Sebab, dalam pengertian yang ditawarkan oleh penafsiran ini, agama yang dimaksud bukanlah agama formal-partikular yang cenderung memisah-misahkan umat manusia dalam kelompok-kelompok keyakinan; juga bukan pula agama yang hadir dalam sosok kelembagaan formal dan berwajah primordial seperti MUI, gereja atau ormas-ormas keagamaan umumnya. Melainkan, yang dimaksud agama sebagai ruh negara adalah agama fitrah, agama kemanusiaan utuh, yang dalam konteks personalnya didefinisikan dengan “kepasrahan kepada Tuhan yang Esa”, dan dalam konteks sosialnya adalah suatu “komitmen transendental terhadap nilai-nilai moralitas kolektif seperti: keadilan, persaudaraan, kemerdekaan, kesetaraan perlakuan di muka hukum dan nilai keluhuran lain yang dijunjung tinggi oleh komunitas manusia secara universal. Inilah agama yang oleh Masdar disebut sebagai agama substansial, kepada mana negara pun harus mengabdikan dirinya.
Dalam paradigma ini, merasuknya spirit zakat kedalam rongga badan pajak, tidak perlu mengusik ketentraman penganut agama lain yang merasa tidak membawakan ajaran itu. Karena apa yang jadi appealnya adalah: Pertama, hendaknya rakyat tidak lagi membayar pajak semata-mata karena takut sanksi negara yang bersifat lahiriah dan bisa diakali, melainkan justru harus dihayati sebagai panggilan agama (ilahiyat) yang jika diabaikan dapat mengakibatkan sanksi ruhaniyah yang tidak terhindari. Appeal ini sifatnya personal, langsung pada kesadaran imaniyah dalam lubuk hati masing-masing manusia-rakyat sebagai pribadi-pribadi yang otonom dan independen. Kedua, kepada pihak negara/pemerintah sebagai yang diberi wewenang untuk mengelolalnya, hendaknya tidak lagi beranggapan bahwa uang pajak, atau apa saja istilahnya, merupakan utang rakyat yang cuma-cuma pada dirinya, melainkan adalah amanat Tuhan yang harus ditasarufkan untuk menegakkan keadilan, terutama bagi kalangan rakyat yang paling tak berdaya serta kesejahteraan bagi semua, apa pun agama dan keyakinannya.
Dalam konsep zakat yang demikian, keberadaan negara dengan demikian menjadi lebih kuat bahkan ada warna transendensinya. Pertama-tama keberadaannya tidak lagi dipandang semata-mata sebagai hasil kontrak sosial dari masyarakat manusia yang bersifat sekular. Lebih dari itu negara dipandang sebagai jasad atau badan yang niscaya dari idealisme ketuhanan, yaitu agama substansial untuk menegakkan cita keadilan semesta. Kedua sebagai konsekuensinya, masyarakat yang melahirkannya harus memberikan dukungan politis dan finansiilnya (berupa dana pajak), suatu dukungan yang juga dihayati sebagai perintah suci dari Tuhanya.
Namun demikian, yang manarik adalah bahwa diperkuatnya kedudukan negara bukanlah untuk kepentingan negara itu sendiri dan tanpa batas. Tidak seperti yang terjadi dalam konsep negara sekular, lebih-lebih yang berdarah feodal dan otoriter, menguatnya lembaga negara justru sering kali harus dibayar dengan diperlemahnya kedudukan rakyat. Dalam konsep zakat, negara perlu diperkuat dan harus bisa kuat, tapi sejauh tetap berada dalam kontrol rakyat dan sebatas ia mampu menunaikan fungsinya sebagai penjamin keadilan bagi segenap rakyat. Sehingga, dengan kata lain, diperkuatnya negara hanyalah sebagai sasaran antara yang bersifat strategis untuk memperkuat pihak yang secara fundamental dan secara tujuan memang harus lebih kuat, yakni rakyat itu sendiri. Dan kata-kata rakyat sebagai pihak yang harus diuntungkan dan sekaligus punya kewenangan kontrol atas jalannya lembaga negara dengan dana zakat (pajak)-nya, sebagaimana ditegaskan dalam surat at-Taubat ayat 60, sosoknya adalah jelas. Yakni, segenap warga masyarakat yang dimulai penyebutannya justru dari lapisannya yang paling kurang berdaya, yakni kalangan fakir-miskin. Hanya dalam kualitas yang demikian itulah keabsahan lembaga negara baik secara formal maupun moral bisa ditegakkan.
Memahami konsep kelembagaan zakat pada sosok pajak sudah barang tentu membawa implikasi pada kebutuhan rekonstruksi banyak ajaran yang selama ini justru diangap tabu. Yakni tentang jenis-jenis kekayaan yang harus dikenakan zakat (pajak), kadar tarif zakat (pajak), siapa-siapa yang menjadi mustahiq (beneficiaries) dari dana zakat (pajak) dan sebagainya. Berpedoman pada patokan Fiqh konvensional, maka zakat (pajak) atas buah-buahan, atau hasil kebun misalnya, hanya dikenakan kepada korma dan anggur. Atau hanya atas onta, sapi dan kambing dari katagori hewan ternak. Juga tarif zakat (pajak) atas hasil pertanian antara 5% sampai 10%, sedang penghasilan dari sektor niaga dan inldustri hanya 2.5%, itu pun yang secara formal bisa dikatagorikan pada “perdagangan” (‘urudl tijarah). Penghasilan para profesional dengan menjual jasa, seperti dokter, konsultan dan sejenisnya, malah bebas dari kewajiban zakat (pajak).
Tanpa rekonstruksi, bahkan yang terus menerus sesuai dengan tuntutan kemaslahatan yang bergerak dinamis, maka pengkaitan konsep zakat dengan keadilan sosial adalah omong kosong. Dan Masdar, dengan argumentasinya sendiri, telah mencoba meyakinkan kita semua bahwa rekonstruksi yang terus menerus itu mungkin, bahkan sejauh tuntutan kemaslahatan menghendaki, tidak bisa dihindari. Rekonstruksi yang dikatakannya menjadi tugas dan wewenang lembaga ahlil halli wal’aqdi (parlemen yang dipilih oleh dan memiliki komitmen kepada kepentingan rakyat) itu mengena baik pada hasil ijtihad para ulama terdahulu, bahkan pada ketentuan-ketentuan teknis yang tertera dalam hadits-hadits Rasulullah sendiri.
Perihal yang terakhir ini mengingatkan kita kepada pemikiran yang pernah dilontarkan dan kemudian diganyang ramai-ramai oleh orang seperti DR. Sadeq al-Mahdi dari Sudan, atau DR. Kassim Ahmad dari Malaysia beberapa tahun yang lalu. Mirip dengan yang ditawarkan oleh kedua pemikir ini, Masdar kembali mengingatkan kita semua akan wasiat Rasulullah bahwa yang harus dipedomani oleh umat Islam, disamping al-Qur’an, bukanlah haditsnya, melainkan sunnahnya. Hadits adalah penuturan verbal dan formal tentang (percikan) perilaku Rasulullah dan pemikiran (ucapan)nya. Sedang “sunnah” adalah perilaku atau way of life dari Rasulullah itu sendiri secara utuh. Hadits diketahui melalui penuturan verbal (matan) yang ditransmisikan melalui jalur sanad, sedangkan “sunnah” hanya bisa diketahui selain dengan menggunakan dokumen hadits, tidak kalah penting adalah juga melalui kajian sosio-historis, dalam konteks mana tindakan dan ucapan (juz’iyah) dari Rasulullah itu sendiri hadir.
Dengan pemahman demikian, tersedialah ruang bagi kita untuk bersikap kritis terhadap hadits Nabi. Bukan saja dari sudut riwayat (sanad)nya, seperti dihayati oleh para ulama ahli hadits, tetapi juga dari sudut dirayat (matan)nya. Kritis terhadap segi riwayat, tidak menjadi soal. Semua ulama dan ahli hadits telah memiliki dan bahkan mengembangkannya. Tapi kritik terhadap segi dirayat hadis inilah barangkali yang bisa memancing pertanyaan, dan karena itu perlu penjelasan. Untuk ini Masdar membagi petunjuk Rasulullah, baik yang qauliah maupun fi’liyah, kepada dua kategori. Pertama yang berkaitan dengan patokan moralitas atau etika; tentang nilai-nilai kebaikan atau keburukan, tentang yang halal dan yang haram. Yang demikian ini bersifat mengikat untuk sepanjang masa.
Kedua hadits Nabi yang berisikan petunjuk mengenai tindakan-tindakan praktis atau implementatif dan instrumental dari nilai-nilai tersebut di atas. Misalnya dalam rangka menunaikan kewajiban zakat (pajak) bagi keadilan masyarakatnya, Rasulullah menetapkannya atas ternak onta dan sapi, tapi tidak kepada kuda, itik atau ayam buras. Atas hasil pertanian dikenakan lebih tinggi dibanding hasil niaga. Sejauh menyangkut hal-hal yang bersifat implementatif dan instrumental ini, menurut Masdar, hadits Nabi harus disikapi dengan kritis. Bukan dalam rangka meragukan keabsahan petunjuk Nabi, tapi dalam rangka memahami konteks apa dan dengan pertimbangan apa keputusan praktis itu diberikan. Hanya dengan pendekatan seperti ini kita bisa terhindar mengatakan para profesional, seperti dokter atau konsultan, harus tetap dibebaskan dari zakat, hanya karena tidak ada petunjuk eksplisit dalam hadits. Juga hanya dengan pendekatan kritis seperti itu, kita bisa terhindar dari keharusan untuk bersikeras bahwa dalam situasi apa pun zakat atas pertanian tetap harus lebih tinggi dibanding zakat atas hasil niaga dan industri.
Oleh sebab itu, sangat boleh jadi bahwa diskusi yang hangat atau bahkan keberatan yang sangat atas pemikiran buku ini akan datang bukan dari kalangan awan ajaran, termasuk di dalamnya umat agama non-muslim, melainkan justru dari kalangan ahli ajaran (agamawan) dan terutama mereka yang mengaku sebagai para penguasa dan pengawal keutuhan ajaran (Islam) itu sendiri. Atau oleh kalangan awam, bukan ahli ajaran, tapi yang ada dalam arus pemahaman keagamaan yang suka membeda-bedakan secara diskriminatif masyarakat manusia berdasarkan afiliasi keagamaan formal.
Apa yang ditawarkan oleh buku ini, juga pemikiran balik yang mungkin menolaknya, bagaimana pun adalah sah. Kesemuanya, asal dilakukan dengan jujur dan ketulusan, patut diberi penghargaan sebagai proses mencari ‘kebenaran’. Tidak perlu satu sama lain saling menistakan apalagi mengkafirkan. Dalam konteks pemikiran Islam, satu-satunya garis yang membedakan keabsahan dan kebatalan suatu pendirian adalah al-Qur’an dan sunnah Rasul. Bukan dengan cara memperhadapkannya secara formal pada makna harfiyah dari satu dua ayat atau hadits Nabi tertentu, melainkan dengan memperhadapkannya pada kandungan substansial dan utuh dari kedua patokan tadi, yakni: kemaslahatan hidup umat manusia secara ruhaniyah maupun jasmaniyah, personal maupun sosial.
Apa yang ditawarkan Masdar F. Mas’udi dalam buku ini, juga yang melawannya, akan ditentukan kekuatannya oleh sejauh mana ia memberi andil bagi terwujudnya kemaslahatan tadi. Dan kalau harus kita uji, biarlah kita uji juga dari tolok ukur ini. Artinya, bahwa ujian yang paling menentukan dari setiap pemikiran, bukanlah dari sudut argumen formal yang semata-mata bersifat teoritik, melainkan ujian dari sudut materialnya yang bersifat empirik. Suatu pemikiran atau ide boleh cum laude dari sudut teoritik, tapi jika kandas dalam pembuktian empirik, dalam arti tidak jelas manfaat dan kemaslahatannya bagi kehidupan manusia, tidaklah banyak maknanya. Untuk itu kita perlu buktikan bagaimana pemikiran Masdar bisa bertahan menghadapi kedua ujian tadi.