Kata Pengantar: Making Indonesia Menjadikan Indonesia Dari Membangun Bangsa menjadi membangun Kekuasaan

Sumber Foto: https://www.linkedin.com/pulse/indonesia-property-outlook-2017-hotel-sector-ahmad-fauzan

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

Dalam buku ini berbagai penulis dan peneliti mengemukakan pandangan mereka masing-masing tentang pembentukan Negara Republik Indonesia. Asal-usul kejadian-kejadian terpenting dan analisis tentang kejadian-kejadian itu semuanya dikumpulkan menjadi sebuah buku yang bercerita tentang Indonesia sebagaimana mereka pahami menurut visi mereka masing-masing. Ini berarti hampir semua penulis memandang pertumbuhan Indonesia sebagai sebuah pertumbuhan yang terjadi secara alami, terkadang di luar pengertian dari mereka yang memimpin perubahan demi perubahan yang terjadi.

Di luar “kerangka” tersebut, sebenarnya masih ada kawasan sangat luas yang belum digarap oleh para penulis itu. Kekosongan ini dicoba dilengkapi melalui pernyataan-pernyataan yang bersifat deskripsi global, tanpa mendalami hal-hal yang sebenarnya terjadi. Sebagai umpama dapat dikemukakan di sini, bahwa semua penulis “melompati” masa ketiga jenjang yang mendorong para pemuda santri dalam berbagai badan dan lembaga untuk membentuk Hizbullah. Tidak ada deskripsi apa pun mengenai proses terbentuknya sebuah badan militer di luar “kelompok nasionalis” di bidang kemiliteran itu. Dengan demikian, juga tidak ada deskripsi apa pun yang mewadahi tentang pertentangan antara “kaum santri-militer” itu dan “kaum militer-nonsantri” yang kemudian hari menjadi APRI (Angkatan Perang Republik Indonesia), walaupun Ruth McVey memang ada menyinggung tentang S.M. Kartosuwiryo dan Darul Islam. Bahwa gerakan tersebut memiliki dinamikanya sendiri, antara lain dalam bentuk penolakan untuk sebagai kaum militer-santri turut serta dalam APRI, menunjuk kepada adanya dinamika tersebut — suatu dinamika internal gerakan-gerakan Islam di negeri ini.

Nasionalisme sempit di Indonesia, seringkali dirujuk ke tokoh-tokoh seperti Soekarno, padahal Soekarno tidak sedikit mengembangkan nasionalisme yang dimengertinya sebagai bagian dari “bacaannya” atas latar-belakang sejarah lama bangsa ini. Nah, penempatan pandangan Soekarno yang dilakukan oleh sebagian besar penulis dan peneliti menunjukkan ketidak-mampuan mereka untuk memahami munculnya semangat kebangsaan (tentu saja dalam berbagai istilah yang berbeda-beda). Ketidak-mampuan memahami semangat kebangsaan tentu akan cukup memusingkan kepala mereka yang ingin tahu, seperti misalnya mengapa tokoh seperti KH. M. Asy’ari Tebu Ireng dan anaknya A. Wahid Hasyim dalam Muktamar NU di Banjarmasin tahun 1935 memperjuangkan semangat “menghindarkan diri” dari sikap keperluan melahirkan sebuah Negara Islam di kawasan ini. Pandangan mereka itulah yang kemudian membuat kedua tokoh Islam itu menerima Pancasila yang dirumuskan Soekarno sebagai dasar sebuah Negara yang kemudian menjadi Republik Indonesia. Pembahasan Einar B. Sitompul tentang hal ini mempunyai arti tersendiri hingga saat ini belum dilanjutkan orang lain.

Pada saat tulisan ini dibuat, yaitu di ujung pemerintahan “model lama” yang tidak dirumuskan secara jelas, orang mulai berbicara tentang masa depan Republik Indonesia dan Bangsa Indonesia sebagai sebuah Nation. Tanpa ada “bimbingan” yang jelas, upaya ini hanya bersifat meraba-raba saja, yang tentu saja menyoroti apa yang dianggap sebagai kegagalan pada saat ini. Kegagalan mempunyai pemerintahan yang jelas (negara agamakah atau bukan?), bagaimana ekonomi harus diatur, mengapakah pemberantasan korupsi gagal, mengapakah kedaulatan hukum tidak kunjung terwujud, apa sebabnya mafia hukum berada di pengadilan-pengadilan kita. Tetap saja tercoreng dan sejumlah pertanyaan lain, tersembul dari kenyataan-kenyataan pahit ini.

Umpamanya saja mengapakah kita tidak menggunakan sebuah konsep yang jelas tentang pertumbuhan ekonomi bangsa ini? Dan mengapa kita menjadi begitu bergantung hutang-hutang luar negeri, padahal kita memiliki para ahli ekonomi dalam jumlah cukup besar. Jawabannya, tentu dapat terlihat pada kenyataan begitu banyak perbedaan mengenai orientasi perkembangan ekonomi kita (termasuk di kemudian hari).

Demikian juga kegagalan sejumlah usaha lokal “kaum militer-santri”, seperti AUI (Angkatan Umat Islam) yang dipimpin Kyai Mahfudz dari Sumalangu (di Kebumen) pada tahun 1950-1951, sebagai “akibat langsung” dari perkembangan proses yang oleh Kol. A.H. Nasution (dan kemudian diadaptasi oleh Kabinet Hatta) sebagai rasionalisasi dengan menetapkan hanya mereka yang berpendidikan dan berijazah tertentu dapat menjadi perwira. Hal-hal seperti ini sudah beberapa kali dibahas dalam sejumlah tulisan di kemudian hari, seperti perlawanan Alex Kawilarang dalam pemberontakan Kahar Muzzakar di Sulawesi Selatan, yang digambarkan dalam sebuah tulisan di majalah “Prisma” beberapa tahun yang lalu. Sekarang pun kita belum tahu dengan jelas muncul dan jatuhnya gerakan Permesta di Sulawesi Utara, yang cukup banyak menimbulkan keruwetan saat ini, lebih dari 40 tahun kemudian.

Para penulis menceritakan dan melakukan analisis terhadap hal-hal yang mereka ketahui. Namun, “sejarah modern” Indonesia bersumber pada peradaban lama yang berbeda-beda dari satu ke lain masa, dari satu ke lain daerah. Karena ini kalau kita berbicara tentang persatuan Indonesia dan penempatannya dalam rangkaian prinsip-prinsip bernegara, tanpa mengetahui latar belakang sejarah, dapat mengecoh kita sendiri.

Mengapakah para pemimpin Indonesia hingga kini masih menyuarakan tema persatuan ini? Tentu menimbulkan pertanyaan dalam hati kita, karena hal itu juga tampak dalam kredo eMpu Tantular dari jaman Majapahit dalam bentuk ungkapan “Bhineka Tunggal Ika”. Karenanya, sebenarnya kita tidak dapat “menganggap rendah” naluri pembicaraan mengenai persatuan bangsa ini. Adalah aneh, di jaman globalisasi ini masih muncul pembicaraan tentang persatuan bangsa. Ini tentu membawa akibat-akibatnya sendiri, seperti menggejalanya fundamentalisme Islam dan nasionalisme sempit. Fundamentalisme Islam, yaitu sikap militant sejumlah kaum muslimin di Indonesia, seringkali hanya dilihat sebagai bagian dari “kebangkitan militansi” mereka yang terkait dengan munculnya hal yang sama di kawasan-kawasan lain, seperti Timur Tengah. Padahal, munculnya fundamentalisme Islam di Indonesia juga sangat ditentukan oleh konsep antara kaum teknokrat ekonomi yang menyukai pertumbuhan di satu pihak, dan di lain pihak mereka yang menganut gagasan pemerataan yang bersifat distributif. Ketidakjelasan mengenai orientasi itu, menunjukkan ketidakmampuan kita sebagai bangsa untuk menentukan masa depan ekonomi nasional bagi bangsa ini.

Dengan membaca buku ini, kita dapat “mengaca” pertumbuhan bangsa dalam era modern ini. Karenanya, penerbitan buku ini dalam bahasa Indonesia patutlah disambut dengan gembira. Penulis yakin ia akan memperkaya perbendaharaan kita sendiri tentang bangsa dan negeri ini. Kekayaan sumber alam yang melimpah-limpah dengan jumlah penduduk sangat besar (sekitar 210 juta orang) di saat edisi Indonesia ini diterbitkan dan letak geografis di kawasan Nusantara (edisi asli bahasa Inggris terbit pertama kali sepuluh tahun yang lalu pada tahun 1996 — ed.), sebenarnya dapat menjadi modal bagi adanya sebuah bangsa yang kuat dan Negara yang besar. Mudah-mudahan buku ini memberikan sumbangan bagi tujuan tersebut.