Kata Pengantar Buku: Matinya Sang Penguasa

The Pyramid of Cheops and Giza town nearby, Cairo, Egypt.

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

PAKAR SEJARAH EKONOMI ekonomi Charles Issawi pernah menyatakan, bahwa birokrasi adalah inti kehidupan bangsa Mesir sepanjang sejarahnya yang sudah berumur delapan ribu tahunan. Ketundukan kepada penguasa adalah corak utama kehidupan bangsa itu. Dahulu kala, penguasa adalah Tuhan, bernama Fir’aun atau Pharaoh. Lalu ia menjelma menjadi wakil Tuhan yang bernama khalifah, sultan atau amir, dan akhirnya khedive. Akhirnya ia merupakan saingan Tuhan, dan sama mutlak kekuasaannya dengan Tuhan, yaitu presiden. Semula teologinya adalah pemujaan Tuhan, kemudian ketundukan mutlak kepada wakil Tuhan, dan akhirnya pendewaan ideologi negara (sosialisme di bawah mendiang Presiden Nasser).

Pengamatan Issawi itu dimaksudkan untuk menggambarkan betapa kuatnya cengkeraman birokrasi atas seluruh aspek kehidupan masyarakat, melalui sistem administrasi, manajemen dan proses pengambilan keputusan yang bertele-tele. Contoh paling baik dari kenyataan ini adalah kisah seorang eksekutif sebuah bank multinasional, yang akan menetap dan memimpin cabang usahanya itu di Kairo. Untuk mendatangkan kursi goyang kesukaannya di New York, ia harus memperoleh tandatangan dan rekomendasi 47 instansi pemerintahan. Akhirnya ia membuka kantor di kota tersebut.

Bahwa birokratisasi segala aspek kehidupan akhirnya mendorong munculnya korupsi dalam skala masif, terbukti paling jelas dalam kehidupan bangsa Mesir. Semua lapisan kepegawaian sudah terbiasa dengan mengharapkan baksyisy atau persen dari orang yang berurusan dengan mereka, sampai ke tingkat paling bawah. Ada kisah seorang tamu asing yang memasuki sebuah kantor pemerintahan, dan pintu mobilnya dibukakan oleh farrasy yang ada di depannya, ternyata ada dua tangan saling menyusul ditengadahkan. la bertanya, mengapa ada dua orang meminta baksyisy untuk satu kerja? Farrasy itu menjawab: “Saya mengisyaratkan kepada pengemudi mobil Anda agar berhenti di sini, sedang teman yang berdiri di belakang saya inilah yang membukakan pintu mobil Anda tadi.”

Korupsi membawakan kebiasaan melampaui batas-batas kewenangan, yang akhirya berujung pada meluasnya sikap sewenang-wenang terhadap orang kecil, selain bangsa Mesir, Cina dan Rusia. Hipokritas sikap bermacam-macam lapisan masyarakat adalah akibat logis dari kemapanan luar biasa dari birokrasi Mesir itu. Tidak heran, jika orang kecil lalu membalas dengan cara mereka sendiri: menertawakan, mengejek dan mencemoohkan mereka yang melayani kepentingan sang birokrat dengan mempermainkan atau mengabaikan hak-hak orang kecil. Kaum profesi, intelektual, opsir-opsir militer, pedagang, dan bahkan para ulama pun dijadikan bahan cemoohan secara terbuka.

Dan sikap orang kecil itu pun lalu terekam dalam dunia seni dan sastra Mesir. Film-film dan teater Mesir selalu penuh dengan satire, parodi dan berbagai macam sindiran lain ke alamat para dokter, kiyai (dalam bahasa Arab Mesir disebut Mu’allim) dan seterusnya. Sarkasme orang kecil Mesir sangat tajam dialamatkan kepada mereka. Kita dapat terbiasa dengan ungkapan berikut dalam film-film Mesir: “Tebalnya sorban seorang Mu’allim adalah ukuran keimanan dan ketakwaannya, semakin tebal akan semakin banyak kemunafikan terbungkus di dalamnya.”

Tidak heran jika kesewenang-wenangan “orang gede” dan kemunafikan mereka yang tergantung hidup kepadanya adalah tema yang umum terdapat dalam karya-karya seni dan sastra Mesir. Khususnya kisah-kisah kekejaman para tuan tanah di masa lampau. Para tuan tanah bukan hanya memiliki tanah dalam jumlah luas (puluhan ribu hektar), tetapi juga menguasai hidup para petani yang menggarap tanah mereka. Dan kemutlakan sikap mereka yang menguasai kehidupan warga desa sebagai unit terkecil bagi komunitas pertanian di Mesir masih berlanjut setelah Revolusi Nasser dan kawan-kawan dalam tahun 1952, walaupun revolusi itu sendiri akhirnya melakukan pembaharuan sistem penguasaan tanah (landreform). Lapisan tuan tanah dapat dilenyapkan, dan kebanyakan lalu menjadi kaum menengah urban di kawasan perkotaan, tetapi budaya kesewenang-wenangan mereka tetap lestari dalam sikap para penguasa lokal di desa masing-masing. Dan kisah seperti itulah yang disajikan oleh Nawal el-Saadawi dalam novel ini.

Karya ini bukanlah novel pertama yang mengupas ketimpangan sosial di Mesir. Para penulis besar Mesir justru menyampaikan realitas sosial itu secara gamblang dalam karya-karya mereka. Tetapi memang jarang para novelis mesir mengungkapkan ketimpangan sosial di kawasan pedesaan secara apa adanya. Yang sering dilakukan adalah menggambarkan ketimpangan sosial di kawasan pedesaan sebagai latar belakang bagi setting cerita yang berkembang di kawasan perkotaan. Katakanlah seperti kisah orang kampung masuk ke kota dalam karya-karya sastra kita dahulu. Karya terkenal sastrawan Mesir pemenang hadiah Nobel, Naguib Mahfouz, yang berjudul alZuqaq alMadaq (Lorong-lorong Sempit) menampilkan hal seperti itu.

Di antara karya-karya begitu sedikit tentang ketimpangan sosial dan kesewenang-wenangan penguasa lokal di kawasan pedesaan, sangat menarik untuk membaca novel ini. Karena ia justru bertumpu sepenuhnya pada kehidupan di desa dan gambaran kehidupan kota (kepergian Zakeya ke mesjid Sayida Zeinab di kota Kairo) hanya sebagai selingan bagi alur cerita tentang kehidupan kawasan pedesaan. Novel ini bahkan lebih spesifik lagi dalam berbicara tentang situasi kehidupan pedesaan tersebut: penderitaan wanita miskin yang kehilangan kehormatan keluarganya karena kesewenang-wenangan Walidesa (‘umdah, Village Major). Dengan menekankan novel ini pada penderitaan seorang wanita tua miskin dan bodoh di sebuah desa yang keluarganya dirusak total oleh lurah (walidesa) yang “bekas” tuan tanah, tetapi de facto masih berperilaku seperti tuan tanah di masa lampau, penulis karya ini secara efektif mengangkat sebuah permasalahan yang sepanjang sejarah Mesir belum pernah terselesaikan: bagaimana secara mendasar birokrasi harus dijinakkan dalam perlakuannya terhadap warga masyarakat. Karya ini juga mengungkapkan hipokritas kaum pemuka agama (yang diwakili tokoh Syekh Hamzawi, imam mesjid desa) dan kaum profesi (Haji Ismail, pemilik kedai sekaligus merangkap tukang cukur). Juga ditampilkan secara efektif pengabdian penuh dari aparat desa, diwakili tokoh Kepala Keamanan Desa, untuk mewujudkan semua kehendak sang Walidesa yang menjadi penguasa penuh itu.

Di hadapan jaringan kekuasaan yang begitu pasti dan kejam, Zakeya mewakili ketegaran sikap kaum miskin dan bodoh yang kehilangan segala-galanya: menunggu hingga ke batas terakhir yang tidak boleh lagi dilewati. Begitu batas itu dilampaui sang Walidesa, yaitu kepastian bahwa kedua kemenakan puterinya telah dijadikan gundik oleh sang Walidesa, maka kekuatan untuk melawan lalu tumbuh dengan sendirinya. Perlawanannya boleh saja dikatakan tidak rasional, karena tidak memperhitungkan keselamatan diri sendiri, tetapi bagaimanapun juga ia menampilkan batas-batas jelas hingga ke garis mana kesewenang-wenangan oleh sistem kekuasaan akan dibiarkan oleh kaum miskin. Novel ini menujukkan salah satu wajah perlawanan kaum petani miskin terhadap kesewenang-wenangan yang mereka hadapi oleh kaum pemilik tanah. Tradisi yang meramaikan novel-novel tentang kaum tani seperti diceriterakan Tolstoy, Pushkin dan Solokhov dalam sastra Rusia.

Novel ini juga menampilkan sebuah sub-tema yang jarang sekali diungkapkan dalam Dunia Islam: penindasan kaum pria atas kaum wanita. Mesir, sebagai bagian penting dari Dunia Islam, menunjukkan dengan jelas betapa martabat wanita dihinakan dan dinistakan oleh kaum pria, sesuatu yang bertentangan dengan ajaran Islam sendiri. Secara sosiologis, berkembang anggapan dan sikap yang merendahkan martabat kaum wanita, yang kemudian dikokohkan sebagai “ajaran agama” melalui pranata hukum agama (fiqh) Legal-formalisasi anggapan dan sikap melalui hukum agama itu, lalu melatarbelakangi sikap sewenang-wenang terhadap kaum wanita. Jika digabungkan dengan sikap lalim orang atas yang memegang kekuasaan atas kaum bawah yang papa, maka sikap merendahkan martabat wanita itu merupakan belenggu yang sangat kuat, yang membodohkan wanita dalam kehidupan. Kaum wanitanya juga lambat-laun “menyadari” rendahnya martabat mereka, dan bersedia menerima apa saja yang dibebankan ke atas pundak mereka. Namun, lagi-lagi hal itu hanya dapat dilakukan hingga titik tertentu, tidak hadir kehidupan mereka. Wanita papa dan melarat yang harus menanggung segala derita dan cobaan, dan tampak selalu menyerah kepada nasib, ternyata oleh keadaan dapat saja ditransformasikan menjadi pemberontak yang tidak tahu batas ukuran dari tindakannya yang melawan. Pembunuhan Walidesa oleh Zakeya merupakan simbol dari perlawanan irrasional yang didesakkan oleh keadaan kepada rakyat biasa yang semula tidak berdaya itu.

Novel ini juga menggambarkan sebuah kenyataan yang telanjang tentang pasivitas teologis dari kaum miskin di Dunia Islam. Mereka tidak berusaha merumuskan pandangan keagamaan mereka sendiri, di hadapan himpitan kesewenang-wenangan penguasa yang didukung oleh lembaga-lembaga keagamaan. Kaum miskin itu justru bersifat apatis, mungkin karena secara instinktif tahu bahwa upaya seperti itu toh hanya akan menambah deretan hal-hal yang membuat mereka lebih menderita lagi. Persekongkolan para pemuka agama dengan penguasa lalim dan orang kaya yang serakah, sepanjang sejarah bangsa Mesir, telah mendorong terputusnya hubungan kaum miskin dari agama mereka. Kalaupun masih tersisa dari hubungan itu, maka ia akan tampil dalam bentuk solidaritas ukhrawi kaum tarekat yang dipenuhi dengan rutinitas ritualistik yang tidak berkeputusan, yang akan menghanyutkan kaum miskin itu dari pola kehidupan serba dinamik, untuk memasuki jalur kehidupan serba apatis, fatalistik dan dipenuhi segala macam takhyul. Hal itulah yang menjadikan hakikat dari episoda yang digambarkan dalam novel ini, ketika kaum tarekat memberontak kepada Syekh Hamzawi yang mengambil bayi hasil perzinahan sang Walidesa dengan kemenakan Zakeya sebagai anak pungut. Tindakan yang sebenarnya sangat manusiawi itu, yang memberikan penyelesaian psikologis bagi kemandulan isteri Syekh Hamzawi dan mencemarkan wajah pengasih dari agama Islam, justru ditentang oleh kaum muslimin sendiri. Yaitu kaum muslimin yang sudah dikondisikan oleh rutinitas yang mematikan kemampuan manusia untuk memahami pentingnya perubahan sikap dan kejujuran pandangan.

Bertemulah dalam konteks ini kebodohan kaum miskin kaum awam beragama dan rasa tersinggung penguasa lalim yang dihadapkan kepada bahaya terbongkarnya rahasia tindakan haram yang dapat meruntuhkan pamornya. Akibat pertemuan “kepentingan” itu, lahirlah sikap yang menghukum naluri kemanusiaan kaum beragama, apa yang masih tersisa darinya, yang secara telanjang diungkapkan dalam novel ini. Jarang novel-novel yang lahir di Dunia Islam menampilkan kenyataan-kenyataan pahit seperti dilakukan Nawal el-Saadawi dalam novel ini. Untuk upayanya itu, haruslah diberikan pujian secara jujur, apalagi mengingat bahwa kemudian ia harus menanggung risiko timbulnya reaksi sengit dari mereka yang merasa terkena oleh karya novelis wanita Mesir ini. Pujian itu juga harus diberikan oleh keberhasilan Nawal el-Saadawi untuk menempuh jalannya sendiri dalam gaya bercerita sastra Arab yang dipilihnya. Ia tidak mengikuti aliran keindahan (alfan alkamil, belle lettres) yang umumnya saat ini. Ia memilih jalan penceritaan lugas yang menampilkan secara telanjang realitas yang menonjol dalam kehidupan masyarakat. Juga tanpa embel-embel analitik yang sering dipergunakan sebagian sastrawan Arab, yang umumnya justru menunjukkan kekenesan memuakkan belaka. Penyajian fakta secara apa adanya, gaya penceriteraan yang lugas dan sikap menolak analisa abstrak justru membuat citra kekuatan luar biasa dalam mengungkapkan tragedi umat manusia sepanjang sejarah: kepongahan jaringan kekuasaan, yang akhirnya harus dihadapi dengan perlawanan (betapa irrasionalnya sekalipun) kaum miskin. Tema abadi yang berhasil ditangkap dan kemudian ditampilkan oleh novel ini.