Kata Pengantar: Pengembangan Ahlussunnah Wal Jama’ah di Lingkungan Nahdlatul Ulama

Sumber foto: https://pesantren.id/gus-dur-dan-islam-nusantara-164/

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

BEBERAPA tahun terakhir ini kita saksikan pergulatan yang hebat di kalangan berbagai kelompok Islam di tanah air kita. Banyak muncul berbagai organisasi baru yang mengajukan klaim sebagai perwadahan organisasi kaum Ulama Indonesia, baik yang berstatus swasta maupun setengah resmi. Ada yang didirikan khusus untuk menampung aspirasi kelompoknya saja, tetapi ada yang didirikan sebagai wadah dialog (muhawarah) para ulama berbagai kelompok.

Di samping bertemunya segala macam ajaran dari berbagai kelompok di lingkungan perguruan-perguruan tinggi agama dan non agama organisasi-organisasi keulamaan itu akhirnya membawakan kebutuhan untuk melakukan perumusan kembali pengertian ‘Aqidah Ahlussunnah wal Jama’ah di lingkungan Nahdhatul Ulama sendiri. Ini tercetus antara lain dalam bentuk membatasi pengertian ke-ahlussunnah-an hanya pada satu ajaran saja, yaitu ajaran tauhid kedua Imam Al-Asy’ari dan Al-Maturidi saja. Asas yang selama ini menjadi dasar keputusan bersama (ijma’, consensus) tentang mazhab fiqh dan akhlaq al tashawwuf diminta agar ditinjau kembali karena ada kemungkinan keduanya tidak termasuk asas ke-ahlussunnah-an.

Kita dapat menghargai dan mengerti munculnya keinginan seperti itu yang didasarkan kepada niat baik untuk mencari pendekatan sejauh mungkin antara warga Nahdhatul Ulama dan warga organisasi-organisasi lain, sebagai reaksi atas perpecahan hebat yang terjadi dalam batang tubuh ummat Islam sendiri selama ini. Kita dapat memahami munculnya gagasan islaf (meniru kaum salaf) hingga kepada masa sebelum pembentukan madzab fiqh, sebagai ikhtiyar penghayatan kembali masa keemasan khulafa al-rasyidun. Kita dapat memahami peningkatan kecenderungan untuk istidlal langsung kepada nushush manqulah yang menjadi sumber utama hukum agama kita, dengan mengurangi pengambilan langsung dari aqwâlul fuqaha’ fi kutubihim al-muqarrarah, demi tercapainya kesatuan dan persatuan di kalangan ummat Islam. Semuanya akan kita korbankan dan kita persembahkan kalau diperlukan untuk memelihara kesatuan dan persatuan itu.

Tetapi, kenyataan yang ada tidaklah semudah impian di atas. Jikapun diandaikan kita tinggalkan perumusan yang sudah ada tentang al-usus al-tsalatsah fi’ tiqadi ahlissunnah wal-jama’ah (bertauhid mengikuti Imam Asy’ari dan Al-Maturidi, berfiqh mengikuti salah satu mazhab empat dan berakhlaq sesuai dengan perumusan imam al-Junaid al-Baghdadi dan Imam Abu Hamid al-Ghazali) dan kita ambil patokan paling sederhana seperti yang diusulkan di atas, dapat dipastikan kesatuan dan persatuan ummat Islam tetap belum terwujud. Perpecahan hebat di lingkungan ummat Islam diakibatkan oleh perbedaan besar dalam soal-soal di luar aqidah. Kalaupun ada perbedaan timbul dalam masalah aqidah, maka yang terjadi adalah perbedaan dalam penerapan aqidah itu sendiri dalam masalah-masalah nyata yang timbul dalam kehidupan. Kaum Ahlus-sunnah wal jama’ah di lingkungan Nahdhatul Ulama menggunakan segala kelengkapan (alat) dalam istinbath al-ahkam, termasuk ushul al-fiqh, qawa’id al-fiqh dan hikmat al tasyri’ dalam merumuskan keputusan hukum agama mereka, sedangkan orang lain hanya menggunakan istinbath sari (pengambilan langsung dari dalam naqli tanpa terlalu mementingkan penggunaan alat-alat tersebut diatas dalil naqli itu) dalam mengambil keputusan. Biar bagaimanapun juga, tidak akan ada kesepakatan cara (wasa’il, metode) di kalangan kaum muslimin, dan tetap akan ada perbedaan pendapat (ikhtilaf al-ara’) di antara mereka sebagai akibat sebagaimana diperkuat oleh kaidah ikhtilaf al-um mah rahmah.

Menciptakan saling penghargaan

Pemecahan persoalannya bukanlah dengan cara mempersatukan kesemua wasa’il yang berbeda-beda itu, melainkan menciptakan saling penghargaan di antara kelompok yang berlainan pandangan itu. Kesamaan sikap hidup dan pandangan umum tentang kehidupan adalah alat utama untuk menghilangkan perbedaan pendapat, atau setidak-tidaknya usaha menghindarkan perbedaan yang tajam. Sikap hidup dan pandangan umum tentang kehidupan yang bersamaan secara nisbi, dapat dikembangkan melalui penyusunan dasar-dasar umum penerapan aqidah masing-masing guna maslahah bersama. Kalau kita perbincangkan pengembangan ajaran Ahlussunnah wal Jama’ah, maka caranya bukanlah dengan mengembangkan (perumusan kembali) aqidah yang sudah muttafaq ‘alaih semenjak berabad-abad, melainkan dalam mengembangkan dasar-dasar umum penerapan aqidah yang sudah diterima secara umum di lingkungan Nahdhatul Ulama itu. Biarkanlah al-usus al-tsalatsah yang sudah menjadi konsensus itu tetap pada keasliannya, sesuai dengan qaidah al-ashlu baqâ’u mâ kâna ‘alâ mâ kâna. Yang terpenting adalah bagaimana merumuskan dasar-dasar umum penerapan ketiga usus itu dalam kehidupan nyata sekarang ini.

Dua bentuk kerja utama

Pengembangan dasar-dasar umum penerapan aqidah yang sudah ada, tanpa merubah aqidah itu sendiri, dapatlah dirumuskan sebagai upaya pengembangan ajaran (ta’alim) Ahlussunnah wal Jama’ah. Pengembangan ajaran itu mengambil bentuk dua kerja utama berikut.

Pertama, pengenalan pertumbuhan kesejarahan ajaran Ahlussunnah wal Jama’ah yang meliputi pengkajian kembali sejarah pertumbuhan aqidah Ahlussunnah wal Jama’ah dan dasar-dasar umum penerapannya di berbagai negara dan bangsa, semenjak masa lalu hingga sekarang. Ini meliputi pengkajian wilayah (dirâsatul al-aqâlim al-muslimah/area studies of Islamic peoples), dari Afrika Barat hingga ke Oceania dan Suriname. Kekhususan dasar umum masing-masing wilayah harus dipelajari secara teliti, untuk memungkinkan pengenalan mendalam dan terperinci atas praktek-praktek ke-ahlussunnah-an.

Kedua, perumusan dasar-dasar umum kehidupan bermasyarakat di kalangan Ahlussunnah wal Jama’ah, meliputi bidang-bidang berikut: 1) pandangan tentang tempat manusia dalam kehidupan alam; 2) pandangan tentang ilmu, pengetahuan dan teknologi; 3) pandangan ekonomis tentang pengaturan kehidupan masyarakat; 4) pandangan tentang hubungan individu (syakhs) dan masyarakat (mujtama’); 5) pandangan tentang tradisi dan penyegarannya melalui kelembagaan hukum, pendidikan, politik dan budaya; 6) pandangan tentang cara-cara pengembangan masyarakat; dan 7) asas-asas penerapan ajaran agama dalam kehidupan.

Secara terpadu, perumusan akan dasar-dasar umum kehidupan bermasyarakat itu akan membentuk perilaku kelompok dan perorangan yang terdiri dari sikap hidup, pandangan hidup dan sistem nilai (manhaj al-qiyam al-mutsuliyyah) yang secara khusus akan memberikan kebulatan gambaran watak hidup Ahlussunnah wal Jama’ah (syakhshiyyatu ma tamassaka biaqidati ahlissunnah waljama’ah).

Kehidupan masa kini

Perumusan dasar-dasar umum kehidupan bermasyarakat yang dibagi ke dalam tujuh bidang di atas, akan dapat dilakukan dalam sebuah dialog terbuka di kalangan warga Nahdhatul Ulama, tidak hanya terbatas di lingkungan tertentu saja. Untuk memungkinkan pembicaraan terbuka yang efisien, diperlukan sebuah kerangka umum pandangan Nahdhatul Ulama atas masalah-masalah kehidupan masa kini. Kerangka umum itu, menurut hemat penulis, haruslah memasukkan kedalam dirinya unsur-unsur berikut.

Pertama, pandangan bahwa keseluruhan hidup ini adalah peribadatan (al-hayatu ‘ibadah kulluha). Pandangan ini akan membuat manusia menyadari pentingnya arti kehidupan, kemuliaan kehidupan, karena itu hanya kepadanyalah diserahkan tugas kemakhlukan (al-wadhifat al-khalqiyyah) untuk mengabdi dan beribadah kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Demikian berharganya kehidupan, sehingga menjadi tugas ummat manusialah untuk memelihara kehidupan itu dengan sebaik-baiknya, termasuk memelihara kelestarian sumber-sumber alam, memelihara sesama manusia dari pemerasan oleh segolongan kecil yang berkuasa melalui cara-cara yang bertentangan dengan perikemanusiaan, meningkatkan kecerdasan bangsa guna memanfaatkan kehidupan secara lebih baik, dan seterusnya.

Kedua, kejujuran sikap hidup merupakan sendi kehidupan bermasyarakat yang sejahtera. Kejujuran sikap ini meliputi kemampuan melakukan pilihan antara berbagai hal yang sulit, guna kebahagiaan hidup masa depan; kemampuan memperlakukan orang lain seperti kita memperlakukan diri sendiri (sehingga tidak terjadi aturan permainan hidup bernegara yang hanya mampu menyalahkan orang lain dan menutup mata terhadap kekurangan sendiri); dan kemampuan mengakui hak mayoritas bangsa dan ummat manusia untuk menentukan arah kehidupan bersama. Kejujuran sikap ini akan membuat manusia mampu memahami betapa terbatasnya kemampuan diri sendiri, dan betapa perlunya ia kepada orang lain, bahkan kepada orang yang berbeda pendirian sekalipun. Ini akan membawa kepada keadilan dalam perlakuan di muka hukum, penegakan demokrasi dalam arti yang sebenarnya, dan pemberian kesempatan yang sama untuk mengembangkan pendapat masing-masing dalam kehidupan bernegara.

Ketiga, moralitas (akhlaq) yang utuh dan bulat. Akhlaq yang seperti ini, yang sudah dikembangkan begitu lama oleh para ulama kita, tidak rela kalau kita hanya berbicara tentang pemberantasan korupsi sambil terus mengerjakannya; tidak dapat menerima ajakan hidup sederhana oleh mereka yang bergelimang dalam kemewahan tidak terbatas yang umumnya diperoleh dari usaha yang tidak halal; dan menolak penguasaan seluruh wilayah kehidupan ekonomi oleh hanya sekelompok kecil orang belaka.

Secara keseluruhan, kerangka umum di atas akan membawa Nahdhatul Ulama kepada penyusunan sebuah strategi perjuangan baru yang akan mampu memberikan jawaban kepada tantangan-tantangan yang dihadapi Nahdhatul Ulama sendiri dewasa ini dan di masa datang. Strategi perjuangan itu, yang unsur-unsurnya sudah banyak dibicarakan dan dirumuskan dalam berbagai kesempatan oleh banyak kalangan Nadhatul Ulama sendiri, perlu dirumuskan dan disusun, jika kita ingin melakukan perjuangan yang lebih terarah dengan cara yang lebih tepat.

Empat Sendi

Untuk keperluan penyusunan strategi perjuangan itu, dibawah ini akan dikemukakan keempat sendi yang tidak boleh tidak harus dimiliki.

Pertama, pendekatan yang akan diambil oleh strategi itu sendiri, yang seharusnya ditekankan pada penanganan masalah-masalah kongkrit yang dihadapi oleh masyarakat melalui kerja-kerja nyata dalam sejumlah proyek rintisan, baik di bidang pertanian, perburuhan, industri kecil, kesehatan masyarakat, pendidikan ketrampilan dan seterusnya.

Kedua, orentasi/arah yang akan ditempuh oleh strategi itu sendiri, yang seyogyanya dipusatkan pada pelayanan kepada kebutuhan pokok mayoritas bangsa, yaitu kaum miskin dan yang berpenghasilan rendah. Mereka harus dibantu untuk meningkatkan kehidupan, dan harus dilindungi dari penguasaan oleh sektor-sektor tertentu saja di masyarakat.

Ketiga, tujuan strategi perjuangan itu, yaitu untuk menegakkan demokrasi, menegakkan kedaulatan hukum dan menjaga hak-hak pribadi para warga negara dari ketidakadilan dan salah perlakuan.

Keempat, sasaran strategi perjuangan yang jelas, baik meliputi wilayah sasaran (penanganan masalah petani, penanganan masalah perburuhan, peningkatan pendapatan petani tak bertanah, dan seterusnya), maupun bentuk sasaran (bentuk perjuangan yang digunakan, seperti pengembangan pendidikan non-formal melalui pengajian umum, pengembangan pra- koperasi sebagai bentuk usaha perekonomian sebelum kita mampu mendirikan koperasi yang sehat, dan seterusnya).

Penutup

Jelaslah dari semua yang diuraikan di atas, bahwa usaha pengembangan ajaran Ahlus-sunnah wal Jama’ah adalah usaha yang besar, menyangkut berbagai masalah dan bidang yang selama ini tidak diperhitungkan sebagai wilayah garapan aqidah kita. Usaha pengembangan ajaran ini menyangkut pemeliharaan dan pemantapan aqidah ahlussunnah itu sendiri, penyusunan dasar-dasar umum kehidupan bermasyarakat dan pengenalan perkembangan sejarah masyarakat-masyarakat yang menganut aqidah ini selama ini. Ia berkaitan dengan penyusunan unsur-unsur yang diperlukan bagi sebuah kerangka umum kehidupan yang memiliki watak hidup ke-ahlus- sunnah-an dan berkaitan juga dengan sendi-sendi yang diperlukan oleh strategi perjuangan baru yang perlu kita susun untuk tercapainya Nahdhatul Ulama, yang tidak lain tidak bukan adalah i’lâ’i kalimâtillah wa ‘izzul lslam wal muslimin.