Kata Pengantar: Perang Tipu Daya antara Bung Karno dengan Tokoh-Tokoh Komunis

Sumber Foto: https://rosodaras.wordpress.com/2009/06/06/kisah-nama-kusno-menjadi-karno/

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

C.C. Berg membuat geger di kalangan kaum sejarahwan dalam dasawarsa lima puluhan. Ia menampilkan “temuan”nya yang sangat orisinal: sejarah Jawa Kuno hanyalah fiksi belaka. Setidak-tidaknya untuk bagian terbesar dari masa Majapahit. Perbandingan sangkala atau jumlah hitungan yang diambil dari huruf-huruf Jawa dari gelar, raja-raja Jawa dan peristiwa-peristiwa besar yang direkam dalam prasasti peninggalan lama, menunjukkan sesuatu yang sangat menarik. Sangakala Hayam Wuruk, Ken Arok serta Airlangga ternyata sama. Dari pengamatan ini, dan rekonstruksi kesejarahan dengan metode arkeologis dapat diperkirakan adanya sebuah proyeksi sejarah ke belakang. Dalam proyeksi itu, raja dari suatu masa menciptakan legitimasi bagi dirinya dengan jalan menyusun genealogi fiktif, utnuk menunjukkan ia berasal dari cikal-bakal raja besar di masa lampau. Pada hakikatnya, menurut teori Berg ini, harus dipilih mana yang nyata ada dan mana yang fiktif antara raja masa belakang dan raja masa terdahulu itu. Kalau Majapahit yang ada, maka Singasari (kerajaannya Ken Arok) dan Daha (kerajaannya Airlangga) harus dianggap fiktif.

Sudah tentu teori rekonstruksi kesejarahan yang dikemukakan Berg ini menimbulkan perdebatan sengit dengan teori-teori sejarah yang “lebih konvensional”. Para sejarahwan lain menolak teori Berg itu, yang paling kuat diantaranya adalah Profesor P. Zoetmulder. Dasar penolakan bermacam-macam, namun yang terpenting adalah pembuktian arkeologis justru menunjukkan ketuaan candi-candi terdahulu dan prasasti yang disimpan di dalamnya. Tidak mungkin kesemuanya itu hanya merupakan “sulapan” zaman terkemudian, untuk membenarkan atau menopang sebuah pengakuan legitimasi secara proyektif belaka.

Perdebatan historiografis seperti itu sangat menarik untuk diikuti. Karena bagaimanapun sejarah orang Jawa terkait dengan cara mereka memandang masa lalu. Kajian M. Ricklefs tentang pandangan kosmologis keluarga Kraton Mataram di Yogya abad kedelapan belas sangat mempengaruhi perilaku politik mereka. Genealogi yang ditarik ke masa Pajajaran akan membenarkan ketundukan kepada pihak Kompeni Belanda, karena Baron Sekeber (seorang kulit putih dan penguasa Belanda di masa lampau mewakili tahta Spanyol) adalah kakak sepupu kesekian melalui perkawinan dengan anak ratu Pajajaran. Bahkan para ningrat ketiga Kraton Solo dan Yogya (waktu itu belum ada Kraton Pakualaman) mampu menundukkan para penguasa mereka untuk tidak saling berperang melalui penataan pandangan kosmologis. Masing-masing kraton menganggap dirinya “negara” dan kraton lain sebagai “manca negara” atau kawasan di luar negara. Antara para raja “negara” dan “Manca negara” tidak boleh ada pertalian perkawinan dan dengan demikian tidak akan terjadi perebutan tahta melalui klaim pertalian darah. Dari gambaran sekilas di atas tampak nyata betapa kuat pengaruh mitologi atas pandangan hidup dan dengan sendirinya atas sikap-sikap politik, orang Jawa di masa lampau.

Salah satu sisi penopang peranan seperti itu adalah kuatnya kedudukkan simbol-simbol budaya dalam kehidupan orang Jawa. Salah satu diantara simbol-simbol itu adalah deretan tokoh wayang yang diwariskan dari generasi ke generasi. P. Carey menunjukkan dalam buku “Ekologi Kebudayaan Jawa” (The Cultural Ecology of Early Nineteenth Century Java, Singapore, ISEAS, 1974) sebuah kasus menarik, yaitu bagaimana para pelaku memandang Perang Diponegoro (1825-1830). Dalam “Babad Dipanegara”, pangeran pemberontak itu sendiri memandang tugasnya sebagai upaya menegakkan keadilan dan dirinya selaku Ratu Adil. Atas pandangan itu, ia mengambil tokoh wayang Arjuna (dalam episode Arjuna Wiwaha) sebagai tipe ideal bagi dirinya. Karena motif dan proses munculnya Arjuna adalam pertempuran di Kurusetra jelas tergambar dalam keluhuran cita-citanya untuk menegakkan keadilan dan dalam kemampuan melakukan tirakatan, maka Pangeran Diponegoro juga mempersiapkan diri untuk Perang Sabil melawan Belanda dengan terlebih dahulu menjalankan tirakatan dan membersihkan niatnya. Sebaliknya, bagi tembang Kidhung Kebo, Pangeran Diponegoro lebih patut dilambangkan dengan Prabu Suyudana, pemimpin kaum Kurawa, ketimbang Prabu Arjuna.

Mengapa? Karena tembang itu ditulis atas perintah Cakranegara, Bupati Bagelan di Purworejo. Cakranegara adalah bekas adik seperguruan Pangeran Diponegoro, yang kemudian membantu Belanda melawan bekas kakak seperguruannya. Untuk “balas jasa”, setelah Perang Diponegoro ia diangkat menjadi bupati dan memerintah hingga dua puluh tahun lebih.

Untuk pembenaran sikapnya itu, tembang itu menunjuk kepada proses Perang Diponegoro. Bekas kakak seperguruan Cakranegara itu berangkat dari ketulusan hati untuk menegakkan keadilan. karena itu ia mempersiapkan diri untuk menjadi tokoh Ratu Adil, dan memperoleh restu Tuhan dalam bentuk menerima “wahyu” perjuangan. Namun, Pangeran Diponegoro dalam pandangan Cakranegara ternyata tidak tahan uji. Ia lalu menjadi congkak dan takabur, Karena itu ia lalu melancarkan peperangan sebelum memahami betul kapan saat peperangan harus dimulai dan sebaginya. Karena kecongkakannya itu “wahyu” lalu dicabut dari dirinya dan klaimnya atas status Ratu Adil menjadi kosong. Untuk mencegah akibat buruk dari petualangan Pangeran Diponegoro menyengsarakan rakyat itu, Cakranegara memutuskan untuk melawannya dan membantu Belanda, “demi perdamaian dan ketentraman di tanah Jawa”. Tokoh seperti itu tentu lebih tepat dilambangkan dengan Prabu Suyudana, menurut Kichung Kebo.

Babad Kraton Surakarta lebih lunak perlakuannya terhadap kedudukan Pangeran Diponegoro dalam sejarah. Ia tidak dinilai congkak dan takabur, melainkan memiliki kepribadian yang laemah. Karenanya, ia tidak mampu mengatasi kemauan bermacam-macam dari para pendukungnya, dan terjerumus ke dalam pemberontakan. Dengan demikian, menurut Babad Kraton Surakarta, ia lebih tepat disimbolkan dengan tokoh Samba dalam pewayangan. Putra Prabu Krisna itu memang dikenal dengan kepribadian yang lemah.

Perbedaan perlambangan antara ketiga tembang tentang diri Pangeran Diponegoro itu menampilkan kenyataan betapa kuatnya pengaruh simbolisasi melalui tokoh-tokoh mitologis. Dari sudut inilah patut dimengerti mengapa buku yang ada ditangan pembaca ini menampilkan mantan Presiden Soekarno sebagai penjelmaan tokoh wayang Adipati Karno, atau tokoh Basukarna. Tokoh ini telah memberikan pengorbanan bukan hanya raga dan harta, tetapi juga kehormatan dan nama, dengan berpura-pura menjadi pengkhianat. Hal itulah yang hakikatnya dijalani Bung Karno sebagai tokoh yang harus bercatur dengan PKI sebelum dan sesudah peristiwa G.30.S/PKI.

Terserah kepada pembaca untuk menilai tepat tidaknya mendudukkan Bung Karno secara hitoriografis pada status Adipati Karno seperti itu. Yang jelas, upaya itu sendiri masih mencerminkan kuatnya simbolisasi pewayangan atau pemikiran budaya (termasuk budaya politik) orang Jawa.