Kata Pengantar: The Wisdom Of K.H. Achmad Siddiq
Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid
Saya mengenal dan bergaul dengan Kyai Achmad Siddiq sudah cukup lama, semenjak sebelum ia bersama-sama dengan saya memimpin NU. Pergaulan saya dan ia semakin mantap ketika saya menjadi Ketua Umum Tanfidziyah PBNU dan Kyai Achmad Siddiq menjadi Ra’is Syuriah PBNU selama dua periode (1984-1991). Kedekatan saya dan Kyai Achmad Siddiq tentunya bukan hanya kedekatan secara fisik, tetapi juga kedekatan pemikiran-pemikiran saya dan pemikiran-pemikirannya dalam membawa NU mengarungi badai dahsyat setelah NU kembali pada khittah-nya semula, dan tetap mampu menjaga agar NU tetap berada pada jalur tradisi (sunnah)-nya semula.
Kyai Achmad Siddiq–yang saya kenal–adalah seorang ulama yang intelektual dan intelektual yang ulama. Jika dilihat dari background pendidikannya, sebenarnya ia termasuk kyai yang unik di lingkungan NU. Kyai Achmad Siddiq tidak pernah mengenyam pendidikan formal lebih tinggi; pendidikan formalnya ditempuh hanya pada Madrasah Tsanawiyyah Tebuireng Jombang, di bawah asuhan Hadrat asy-Syekh K.H. Hasyim Asy’ari dan K.H. A. Wahid Hasyim. Pendidikan lainnya ia tempuh secara otodidak. Namun, pemikiran-pemikirannya telah melampaui batas-batas tradisi pemikiran yang selama ini berkembang di lingkungan pesantren. Inilah yang membawa keunikan dan kekhasan tersendiri bagi Kyai Achmad Siddiq, yang kemudian menjadikan Kyai Achmad Siddiq tampak lain dibanding dengan kyai lainnya yang ada di lingkungan NU.
Kyai Achmad Siddiq tidak hanya melek (paham) tentang kaidah-kaidah hukum agama yang membawakan tatanan masyarakat yang ideal. Kaidah akan pentingnya memelihara keselamatan umat yang dipimpin. Kaidah akan pentingnya mencapai cita-cita secara bertahap. Kaidah akan pentingnya perlindungan terhadap pihak lain yang lemah. Kaidah akan pentingnya persaudaraan antarsesama manusia (ukhuwwah basyariyyah). Kaidah akan pentingnya arti kebersamaan dalam keberagaman. Kaidah akan pentingnya arti atas kemanfaatan sesuatu tindakan atau langkah yang diambil. Akan tetapi, Kyai Achmad Siddiq juga memiliki kekuatan jiwa spiritualitas dan tingkat kerohanian yang dapat membawanya pada sikap taat dan patuhnya pada ketentuan Tuhan. Di samping juga keterlibatannya dalam pergulatan pemikiran dengan tokoh-tokoh, baik yang religius maupun nasionalis. Ditunjang juga oleh karisma, kultur, keluarga, kecerdasan, dan kepiawaian yang dibawanya sejak di usia muda. Itulah di antara aspek yang berhasil digunakannya dalam mewarnai kehidupan NU sejak ormas Islam ini dipimpinnya.
Hal demikian dapat dilihat dari pergaulan dekatnya dengan Kyai Abdul Hamid Pasuruan dan Gus Miek (Kyai Hamim Djazuli), serta melalui keterikatannya pada ritual wirid Dzikr al-Ghafilin (pengingat bagi yang lupa) dan semaan Al-Qur’an. Juga, pergaulan eratnya dengan berbagai tokoh nasional, baik secara langsung maupun melalui pemikiran-pemikirannya, misal dengan K.H. A. Wahid Hasyim, I.R. Soekarno, M. Natsir, dan lain-lain. Karena itulah, ia mampu mengembangkan suatu dimensi lain dalam situasi keagamaan warga NU; kecintaan dan kasih sayang dalam mengatasi perbedaan, apa pun perbedaan yang ada. Sejak tahun-tahun 70-an, ia melakukan pengembaraan rohani seperti itu, dan sewaktu memimpin NU getaran rohani penuh kasih seperti itu mewarnai ormas yang dipimpin.
Dari dimensi kerohanian dan spiritualitas itulah ia membawa tatanan kehidupan masyarakat ideal yang harmonis di tengah-tengah keberagaman umat la mengajukan uluran tangan persaudaraan kepada Muhammadiyah, yang sebelumnya hubungan NU dan Muhammadiyah dianggap cukup jauh. Gayung bersambut, lalu bergandengan tanganlah Kyai Achmad Siddiq dengan Pak A.R. Fakhruddin (Ketua PP Muhammadiyah waktu itu). Kepada umat non-Muslim, ditawarkan wawasan persaudaraan dalam berbangsa (ukhuwwah wathaniyyah). Orang tidak perlu dibedakan hanya karena berlainan agama atau keyakinan.
Juga, pandangannya tentang “Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah bentuk final dari perjuangan kaum Muslimin” dan diterimanya “Pancasila sebagai satu-satunya asas” dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara; adalah semata-mata bentuk pengertiannya yang mendalam akan hakikat persoalan utama kita sebagai bangsa. Rumusan tersebut barangkali cukup sederhana, tetapi telah membawa implikasi sangat jauh bagi pluralitas corak kehidupan bangsa kita di masa mendatang. Menurut hemat saya, ada dimensi lain yang menarik untuk diperhatikan dari Kyai Achmad Siddiq, yaitu gagasannya tentang “modernisasi tasawuf. Di mana tasawuf bagi Kyai Achmad Siddiq, tidak hanya dapat dimiliki oleh perorangan semata, tapi, tasawuf–termasuk ajaran-ajarannya–menjadi milik semua rata-rata kaum Muslimin, sebagaimana mereka juga harus bertauhid dan berfikih. Oleh karena itu, tasawuf harus benar-benar menjadi character building bagi rata-rata kaum Muslimin dalam menghadapi dampak negatif dari arus modernisasi. Pendekatan sufistik juga bisa dijadikan alat dalam mengatasi problem besar bangsa ke depan.
Barangkali apa yang saya sampaikan di atas, adalah sebagian kecil dari dimensi pemikiran Kyai Achmad Siddiq, jika melihat kompleksitas pemikirannya. Tentunya, Kyai Achmad Siddiq juga harus dilihat sebagai manusia biasa, yang tidak bisa lepas dari kelemahan-kelemahan dan kekurangan-kekurangan yang melingkupinya. Oleh karena itu, menurut hemat saya, seorang tokoh akan diketahui tingkat keberhasilannya dengan jelas dalam memajukan umat, jika produk-produk ijtihad-nya dapat dirasakan implikasinya bagi dinamika kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, dan Kyai Achmad Siddiq telah menunjukkan hal itu. Tulisan tentang “The Wisdom of K.H. Achmad Siddiq: Membumikan Tasawuf” oleh Syamsun Niam adalah sedikit aspek dari dimensi pemikiran Kyai Achmad Siddiq. Karena itu, penelitian-penelitian dan pengkajian-pengkajian lebih lanjut–tidak hanya yang menyangkut Kyai Achmad Siddiq–hendaklah terus dilakukan, dan tulisan ini penting dibaca untuk menambah perbendaharaan khazanah pengetahuan kita.