Kawin dengan Dua Wajah

Sumber Foto: https://www.merdeka.com/peristiwa/revisi-uu-perkawinan-disahkan-usia-minimal-menikah-19-tahun.html

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

Dua wajah dalam perkawinan? Biasanya berkonotasi buruk. Bermuka dua. Jangan-jangan duda mengaku perjaka atau janda disulap menjadi perawan. Atau sudah punya istri kawin lagi diam-diam.

Ternyata bukan itu yang diketengahkan di sini. Melainkan konsekuensi dari dua ayat yang berkaitan dengan penciptaan manusia oleh Allah. Ayat pertama berbunyi: ‘Wahai ummat manusia, bertakwalah kalian kepada Tuhan kalian, yang telah menciptakan kalian dari sukma yang satu, lalu menciptakan dari sukma itu pasangannya, dan menimbulkan dari keduanya banyak sekali pria dan wanita’. (ya ayyuhannas ittaqullahal ladzi khalaqakum min nafiw wahidah wa khalaqa minha Zaujaha wa baththa minhuma rijalan kathiraw wanisa-a).

Ayat tersebut jelas menyangkut proses reproduksi ummat manusia melalui perkawinan. Orang kawin antara lain mencari keturunan, juga bisa diartikan pentingnya aspek biologis dan sisi badani (termasuk material) dari perkawinan. Rumah tangga yang tidak mengindahkan ‘wajah’ badani, termasuk nafkah lahir dan batin tentu tidak akan mencapai kebahagiaan.

Ayat yang satunya berbunyi: ‘Di antara tanda-tanda kebesaran Allah adalah (bahwa) la menciptakan bagi kalian dari jasad (leluhur) kalian sendiri pasangan kalian, agar kalian dapat mencapai ketenangan bersamanya, dan Allah menumbuhkan kasih sayang dan tali hubungan (rahmah) di antara kalian. (wa min ayatihi an khalaqa lakum min anfusikum aswajal litaskunu ilaiha wa ja’ala bainakum mawaddah wa rahmah).

Ayat ini jelas menunjuk kepada aspek kejiwaan dan kerohaniahan dari perkawinan. Kebahagiaan karena kita kerasan mendampingi pasangan kita. Kebahagiaan karena ada rasa kasih sayang. Kebahagiaan karena tali pengikat terbuhul antara kita dan pasangan kita. Dalam ikatan perkawinan yang sah, tentunya. “Wajah’ psikologis ini adalah sisi lain yang harus diwujudkan dalam perkawinan.

Tidak cukup kita ‘berwajah’ badani saja, dan mengabaikan ‘wajah’ kerohaniahan di dalamnya. Demikian pula sebaliknya. Rumah tangga akan bahagia manakala sisi material biologis dan sisi spiritual-psikologis menemukan keseimbangan yang berjangka lama.

Mudah merumuskannya, sulit mewujudkannya, bukan? Tetapi, bukankah cukup berharga untuk diraih?