Kemampuan dan Ketahanan
Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid
Beberapa waktu yang lalu, penulis menginap di sebuah hotel di Jakarta ketika bersarapan, kemudian dilayani oleh seorang staf hotel dari room service. Penulis memberikan perhatian sangat besar dengan pelayanan yang diberikan sang staf. Ketika ditanya penulis, ia menyatakan berasal dari Jakarta di kampung belakang Hotel Indonesia. Ayahnya adalah seorang Mu’alim (Kyai) yang bertugas mengajarkan agama (dikenal dengan sebutan mengaji) dari Masjid ke Masjid. Ayah sang staf tadi, meninggal dunia belasan tahun yang lalu pada usia yang cukup tua, sedangkan ia sendiri mencari nafkah dengan menjadi pegawai hotel tempat penulis menginap, sejak berdirinya hotel itu. Sang staf mengatakan demi hidupnya sekeluarga ia harus bertahan melayani orang makan dan minum, terkadang makan atau minum yang dilarang agama. Ia merasakan hati luka oleh kenyataan itu dan ingin segera berhenti bekerja karenanya, namun ia tidak tahu harus mengerjakan apa.
Karenanya, ia bekerja keras mengumpulkan uang untuk nantinya berhenti bekerja dan “belajar agama” sehingga nantinya dapat menggantikan tugas-tugas almarhum ayahnya. Sangat sedih penulis mendengar uraiannya itu, yang menunjukkan betapa sebuah keyakinan agama mengalami “keterpaksaan” seperti itu. Bahwa ia merasakan rasa luka di hati karena melaksanakan atau melihat hal-hal yang tidak berkenan baginya, sangatlah menyentuh perasaan. Apalagi kalau diingat -walau ia tidak bercerita- tentang pasangan-pasangan lelaki dan perempuan yang tidur bersama di kamar-kamar hotel tersebut, padahal mereka bukan suami istri. Menutup mata terhadap hal itu tidak mungkin, sedangkan menolak tidak bisa. Jika ia merasa sebagai orang paling malang dalam hidup ini, tentu saja tidak dapat disalahkan.
Penulis kemukakan kepadanya, bahwa ia pernah berceramah di masjid Kota Baharu, Kuala Lumpur, Malaysia. Di antara ribuan hadirin setelah usai berceramah ia bertemu secara pribadi dengan 400 orang Indonesia. Mereka menyatakan bekerja di Genting High sekitar 30 menit dari Kuala Lumpur. Mereka adalah tukang batu yang bekerja di tempat itu untuk membangun gedung-gedung baru yang tidak lain adalah rumah perjudian bagi orang-orang non-Muslim. Dan ironisnya, mereka semua adalah penghafal Al-Qur’an yang “terpaksa” bekerja untuk menghidupi diri mereka dan keluarga, yang berada di tanah air. Ini lagi-lagi adalah cerita luka yang penulis dengar sendiri dari orang-orang yang bersangkutan. Ternyata, di balik cerita besar tentang sukses pembangunan terjadi drama yang juga tidak kecil, namun amat dirasakan oleh orang-orang kecil.
*****
Terhadap mereka, baik sang staf hotel di Jakarta itu maupun tenaga kerja di Kuala Lumpur, penulis sampaikan bahwa mereka hendaknya melihat permasalahannya dari kaca mata yang lain. Bahwa mereka tetap menjaga moralitas di hadapan “kenyataan” yang demikian pahit, adalah sebuah cerita sukses sendiri. Dari ketegaran hati dan ketahanan serta kemampuan seseorang mengatasi tantangan di hadapan mata, dari sudut inilah harus di pahami firman Allah: “Tuhan tidak membebani sebuah pribadi kecuali dengan hal-hal yang mampu di tanggungnya” (La yukallifu Allah hu Nafsan Illa wus‘aha). Karenanya ada benarnya ungkapan, bahwa para sufi yang terbaik adalah mereka yang berdagang di pasar dan bukannya orang yang selalu berdoa di masjid.
Apakah implikasi dari sikap penulis itu? Jelas penulis tidak setuju dengan pendapat, mereka harus berhenti bekerja di “tempat maksiat” seperti yang digambarkan di atas. Dengan hati terluka mereka melihat hal-hal yang mereka tidak setujui terjadi di depan mata. Tetapi yang lebih mengherankan adalah, mereka tetap berpegang teguh pada keyakinan dan moralitas yang mereka miliki. Mereka adalah “pupuk subur” yang dapat dijadikan panutan untuk meredam ekses-ekses pembangunan. Dengan pengalaman dan ketrampilan yang mereka peroleh dari “kerja paksa” seperti itu, mereka akan dapat mengembangkan kemampuan yang nantinya diperlukan guna melaksanakan manajemen yang bersih dan pekerjaan yang dibenarkan oleh keyakinan agama mereka.
Mungkin sikap penulis ini dianggap aneh oleh mereka yang ingin menjawab dengan “jalan pintas” bagi masalah-masalah yang mereka hadapi. Ini wajar saja, sebagai sikap beragam dan tanggapan yang berbeda terhadap ancaman yang datang dari luar. Kalau semua bersikap sama dan mangajukan jawaban yang tidak mengalami variasi sangat besar, tentulah “kepiawaian” agama Islam tidak tampak. Sikap yang seragam adalah ciri khas sebuah masyarakat otoriter seperti yang terlihat pada Orde Baru. Keseragaman pandangan (uniformitas) adalah sikap yang tidak dibenarkan oleh agama Islam. Allah berfirman “Dan Ku-jadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku bangsa untuk saling mengenal” (Wa ja’alnakum syu’ban wa iqba-illa li Taarafu) ayat tersebut jelas menunjuk kepada pluralitas pandangan dan bukannya penyeragaman (uniformitas) tadi.
Pandangan penulis yang disampaikan kepada sang staf hotel -yang notobene anak Kyai- dan para tukang batu di Kuala Lumpur itu adalah sesuatu yang normal saja. Namun justru dianggap “tidak normal” oleh sementara kalangan dalam Islam yang bersikap kaku dalam hal ini. Memang mungkin “kemurnian” ajaran dapat dipertahankan, tetapi kemampuan bersaing menjadi hilang. Padahal Kedua hal itu sangat di perlukan dalam kehidupan. Tanpa adanya “ketegaran” moral seperti yang dimiliki “orang-orang terluka” itu, kita akan hanyut ke dalam materialisme yang akan menghancurkan hidup kita. Tetapi tanpa ada upaya menumbuhkan kekuatan bersaing, kaum muslimin tidak akan mampu mendirikan masyarakat yang kuat bagi diri mereka sendiri. Kalau itu terjadi, bagaimana Islam dapat bersaing?