Kematian Seorang Pangeran

Sumber Foto; https://www.harapanrakyat.com/2023/07/pasoekan-pangeran-papak-laskar-kemerdekaan-dari-garut-yang-menampung-tentara-jepang/

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

Pernah saya memperoleh permintaan untuk bertemu. Seorang teman menyatakan, gurunya ingin berjumpa saya, sebelum ia meninggalkan dunia fana ini. Semua ada keraguan sedikit di hati, karena orang itu adalah seorang guru kebatinan. Guru yang percaya kepada Tuhan dalam konteks kejawen, bukan konteks agama saya sendiri. Namun keraguan itu hilang ketika si penghubung itu menyatakan, bahwa pertemuan itu tidak untuk memaksakan sesuatu kepada saya.

Tokoh itu adalah seorang pangeran, yang oleh masyarakat setempat sudah tidak dikenal lagi dengan nama demikian. Ia dipanggil embah, alias kakek. Dahulunya Pangeran Papak, kini mbah papak, di Banyuwangi. Tinggalnya di kawasan hutan sepi pantai ujung timur pulau Jawa, lebih sejam berkendaraan mobil dari kota Banyuwangi.

Sesampai di sana, yang saya jumpai adalah seorang tua yang sudah mersik kulitnya, karena ketuaan. Mata sudah tidak melihat lagi. Sisa umur dihabiskan di atas bale-bale. Saya sampai ketika ia masih tertidur, karena memang demikian adanya. Sudah tidak direncanakannya lagi antara bangun dan tidur. Sewaktu-waktu bisa bangun, sewaktu-waktu bisa tidur pula.

Ketika masa tidurnya selesai, sepuluh menitan setelah kedatangan saya ia langsung bertanya, “Siapa kamu”? Saya jawab bahwa nama saya adalah Abdurrahman Wahid. Dalam bahasa Jawa tentu. “Wakid”? Tanyanya dalam logat daerah itu secara medok, hurud h diganti dengan k. Seperti haji dijadikan kaji. “Kamu Islam, ya?” Lanjut pertanyaannya. Setelah saya benarkan, ia langsung mengajukan pertanyaan yang membuat saya terpana: “Mengapa kamu tidak mau mengakui saya sebagai saudara sebangsa? Saya ini hongwilaheng. Orang Buddha”. Saya jawab, bahwa saya bersedia mengakuinya sebagai saudara sebangsa “Berani jamin”? tanyanya. “Saya jamin”. Kata saya. Dan ia pun menyatakan kebahagiaannya dengan ucapan pendek saja: “Bahagialah kita semua kalau begitu”.

Beberapa waktu kemudian saya mendengar ia meninggalkan dunia fana ini, dan oleh muridnya dinyatakan bahwa ia ‘mengundurkan’ saat kematiannya hanya untuk menunggu pertemuan dengan saya itu. Mengapa? Karena ia sudah bisa melepaskan tanggungjawab akan keselamatan ummatnya, karena pengakuan anda bahwa ia dan ummatnya adalah saudara sebangsa. Punya hak yang sama atas bangsa ini, demikian pernyataan si murid.

Mengapakah saya terpana dengan pertanyaannya, adakah saya mengakui dirinya sebagai saudara sebangsa? Karena di situlah saya menyadari, bahwa masih cukup banyak warga bangsa ini yang ketakutan dengan agama saya. Konon, agama saya datang ke mari dengan cara damai. Melalui perdagangan dan perkawinan percampuran. Melalui tasawuf. Melalui pendidikan, dan seterusnya. Semuanya cara-cara damai.

Kalau memang klaim itu benar, mengapakah masih ada yang ketakutan kepada Islam di sini? Mungkin, karena ulah kaum muslimin sendiri. Ulah mereka yang meneriakkan kebenaran agama Islam dengan sikap menghormati hak orang beragama lain untuk mencari kebenaran menurut cara masing-masing. Sikap memaksakan kehendak atas orang lain, tanpa menanyakan setuju atau tidaknya mereka kepada sesuatu yang dipaksakan itu. Saya menjadi terpana oleh ketidakmampuan kaum muslimin untuk mengalahkan orang dengan budi luhur, bukannya dengan sikap kasar.

Kalau demikian tentulah keterpanaan itu harus saya tebus dengan mengembangkan sikap lebih menghormati pihak lain dalam pergaulan antar-keyakinan dan antar keimanan. Tidak sia-sialah seorang pangeran menunda saat kematiannya. Jika hal itu mampu saya kembangkan, tentu mula-mula pada diri saya sendiri, baru kepada orang lain. Pertanyaannya mampukah saya mengajak ummat saya untuk menempuh jalan sulit ini?