Kemenangan yang Mengkhawatirkan

Sumber foto: https://bungnata.blogspot.com/1994/07/piala-dunia-1994-data-fakta-4.html

Ulasan Piala Dunia 1994

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

Kemenangan Brasil dengan skor 1-0 atas Swedia dalam putaran semifinal Piala Dunia 1994 ternyata tidak begitu menggembirakan. Pelatih Carlos Alberto Parreira mencoba menutupi kecemasan orang itu dengan menyayangkan nasib sial Brasil yang tidak mencetak lebih dari satu gol ke gawang Swedia. Alasannya, karena kecemerlangan penjaga gawang Swedia, Ravelli. Tidak disebut-sebut oleh Parreira tentang kehandalan pelatih Swedia Tommy Svensson yang menciptakan benteng hampir- tak-tertembus Swedia itu. Ravelli hanyalah salah satu dari mata rantai pertahanan ciptaan Svensson tersebut.

Kalau orang berkeras hanya kecemerlangan Ravelli yang mencegah banyaknya gol Brasil, berarti ketajaman penyerangan Brasil hanya dapat diterapkan kepada penjaga gawang bukan kelas dunia. Selisih antara penjaga gawang yang masuk dalam putaran-putaran akhir piala dunia di Amerika Serikat itu tidaklah begitu jauh kualitasnya. Yang termasuk paling lemah sekalipun, seperti De Goey dari tim Belanda, masih mampu melakukan penyelamatan gemilang dari ketajaman gedoran Brasil. Sedangkan yang paling cemerlang, yaitu Preud’homme dari tim Belgia, masih berada di atas Ravelli.

Ketangguhan pertahanan Swedia sebenarnya adalah hasil dari dua buah proses. Pertama, penerapan pola penggabungan antara pertahanan dan serangan balik yang dilakukan Swedia. Kapten Jonas Thern dan kawan-kawan tidak mau membiarkan bola berlama-lama ada di sektor pertahanan Swedia. Dengan segala kegigihan, pencegatan dilakukan atas alur bola dari lini tengah Brasil yang dialirkan ke arah para penyerangnya. Tetapi pencegatan atau intersepsi itu bukanlah sekadar intersepsi untuk membuang bola saja, melainkan untuk dikembalikan ke barisan penyerang Swedia sendiri yang memasang ujung tombak kembar Martin Dahlin dan Kenneth Andersson. Teknik pelanjutan pertahanan interseptif oleh serangan balik itu cukup membuat terputusnya aliran-aliran arus serangan Brasil selama 90 menit itu. Paling tidak, secara taktis barisan belakang Brasil sering tidak bisa langsung mengirimkan serangan bergelombang tidak terputus-putus, seperti pada pertandingan-pertandingan sebelumnya.

Pengurungan Brasil atas pertahanan Swedia memang terjad terus-menerus, tetapi dalam irama yang terputus-putus sebagai akibat, ketika bola sampai ke muka gawang Swedia para pemain belakang Swedia sudah menempati posisi yang terbaik untuk memotong “tembakan-tembakan pamungkas” (finishing touch balls) Bebeto dan Romario. Tembakan para second striker Brasil, seperti Rai di babak kedua, juga sering mengalami nasib yang sama. Bahkan mereka pun sering tercegat oleh para gelandang bertahan Swedia seperti Roger Ljung dan Kapten Thern.

Pertahanan berlapis Swedia yang terdiri dari paling pintu Patrik Andersson, Roland Nilsson dan Joachim Bjorklund “masih dijaga” di luar kawasan 16 meter oleh “barisan penyangga” Thern, Klas Ingerson, Ljung dan Jesper Blomqvist. Barisan penyangga inilah yang lalu mengalirkan serangan balik ke wilayah pertahanan Brasil, sekadar sebagai gangguan. Strategi bertahan yang digunakan terlihat dari lebih banyaknya Thomas Brolin membantu pertahanan dari pada memotori serangan.

“Pencarian kombinasi penyerangan tajam dan pertahanan tanggung itu memang tidak pernah terhenti. Tipe bola menyerang yang sekarang demikian canggih dikembangkan, termasuk “akal-akalan” pura-pura jatuh oleh pemain kelas dunia….”

Proses kedua yang membuat pertahanan Swedia begitu tangguh adalah watak penyerangan Brasil sendiri. Tim “Pasca-Samba” itu terlalu mengandalkan diri pada umpan terobosan cepat yang membuat para penyerangnya tidak bisa berlama-lama berada di satu posisi penyerangan. Sebab dari “Labilitas Posisi” ini adalah perintah taktis pelatih Parreira untuk melakukan antisipasi upaya merebut bola oleh pemain-pemain Swedia dari kaki anak-anak asuhannya. Ternyata taktik ini tampaknya dibaca oleh pelatih Swedia Svensson yang memerintahkan pencegatan selagi bola dioperkan, bukannya perebutan bola dari kaki lawan. Taktik ini ternyata cukup efektif untuk membuat Bebeto dan Romario berada di posisi yang berbeda dari arah bola.

Keluarnya kapten Swedia, Thern, dari lapangan membuat guncang sistem berlapis yang dinamis dan tangguh itu, yang akhirnya membuahkan gol Brasil sekitar 10 menit sebelum pertandingan usai. Sangat menarik untuk diandaikan bagaimana jadinya kalau pertahanan kreatif Swedia itu tidak mengalami guncangan tersebut. Akan mampukah Svensson menyusun sebuah “pertahanan-tak-tertembus” terhadap Brasil yang terkenal berserangan ganas itu. Kalau ya, bukankah itu berarti Svensson menjadi arsitek sebuah strategi adu penalti, karena pertahanan tangguhnya itupun akan membuahkan hasil 0-0 pada akhir perpanjangan waktu 2×15 menit? Kalau itu terjadi, bukankah sebuah pola Catenaccio model Swedia akan lahir, sebuah bola bertahan yang juga dikombinasikan dengan serangan-serangan tajam?

Pencarian kombinasi penyerangan tajam dan pertahanan tanggung itu memang tidak pernah terhenti. Tipe bola menyerang yang sekarang demikian canggih dikembangkan, termasuk “akal-akalan” pura-pura jatuh oleh pemain kelas dunia seperti Juergen Klinsmann dari Jerman yang menghasilkan penalti ke gawang Bulgaria, bisa memunculkan pola pertahanan total yang berwatak pasif di masa depan, kalau tidak ditemukan perpaduannya dengan serangan yang tajam.

Upaya Svensson mengembangkan pertahanan ketat yang bersifat kreatif melalui cara memadukannya dengan serangan balik, patutlah dipuji. Yang mengkhawatirkan, justru tampak Brasil tidak siap dengan cara bertahan seperti itu. Hanyalah melalui kemalangan Swedia dengan terusirnya kapten kesebelasan Thern dari lapangan, barulah tim Brasil dapat mencapai kemenangan. Kenyataan sederhana inilah yang menyembunyikan kenyataan dramatis akan belum tuntasnya ketajaman serangan bola menekan (pressure football) yang dikembangkan Brasil saat ini. Dengan kata lain, serangan Brasil tampak mandul di hadapan pertahanan yang berkombinasi dengan serangan tajam.

Bukankah sistem pertahanan rapi yang dikombinasikan dengan serangan tajam itu adalah “merk dagang” tim Italia saat ini? Kematangan penanganan tim oleh pelatih Arrigo Sacchi dapat diharapkan akan membuahkan cara bertahan yang fleksibel dan kreatif, seperti yang telah dilakukan oleh Tommy Svensson atas tim Swedia. Walaupun palang pintu kanan Costacurta cedera dan “pemilik kavling” semula Mauro Tassotti di posisi bek kiri diisi Benarrivo, karena “penghuni pertama” itu terkena larangan bermain di tingkat internasional untuk delapan pertandingan. Pertahanan Italia tampaknya juga tidak kalah kokoh dari Swedia, apalagi para gelandang Italia, seperti Albertini dan Nicola Berti, memiliki versatilitas sangat tinggi untuk bermain sebagai barisan pertahanan, di samping dapat dengan cepat mengalirkan bola ke depan. Apapula, kapten Paolo Maldini memang lebih berdisiplin dalam permainan bertahan bila dibandingkan pendahulunya, kapten Franco Baresi.

Yang menambah harapan Brasil adalah kenyataan bahwa tim asuhan Sacchi umumnya lamban dalam melakukan adaptasi kepada sebuah strategi baru. Apalagi kalau di dalamnya ada fleksibilitas taktis untuk melakukan serangan balik yang sering membuat para gelandang Italia asyik bermain di wilayah depan lapangan mereka. Inilah yang menjadi titik bahaya bagi Sacchi di perempat pertama pertandingan final Brasil-Italia nanti, yang harus dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh Charlos Alberto Parreira. Kematangannya dan kebesarannya sebagai pelatih akan dibandingkan dengan prestasi Sacchi. Sangat menarik untuk melakukan antisipasi terhadap kehebatan kedua pelatih tersebut, bukan?