KEMERDEKAAN: Suatu Refleksi

Sumber Foto: https://www.bola.com/ragam/read/5367802/fakta-sejarah-proses-perumusan-naskah-proklamasi-kemerdekaan-indonesia

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

Kemerdekaan adalah suatu pengertian yang perumusannya tidak pernah disangsikan. Apalagi ditempatkan dalam situasi nyata dalam kehidupan masyarakat yang tengah sibuk memenuhi kebutuhan kesejahteraannya, dalam waktu sesingkat mungkin. Dalam masyarakat itu, untuk mencapai kemajuan dibutuhkan pengaturan, pemantapan, pengerahan, organisasi, sistem yang menempa, mendorong, dan menggerakkan, kekuasaan dan pimpinan yang kuat, serta mengutamakan efisiensi produksi masyarakat.

Soalnya kemudian adalah, apakah untuk semua itu kebebasan harus menjadi tumbal dan merelakan timbulnya peluang terperosok ke dalam sistem otoriter? Harus diakui bahwa ada yang tidak keberatan untuk mempertukarkan kesempatan kebebasan dengan kemakmuran, terutama mereka yang sedang berada dalam kedudukan berkuasa. Dan inilah tepatnya problem yang dihadapi akhir-akhir ini, khususnya di kalangan negara berkembang, yang meminta jawaban tepat (bila menyusun pertanyaannya sudah betul) seberapa kebebasan dan seberapa kemakmuran?

Dalam dokumen yang kita jadikan pegangan pertama tentang kemerdekaan, yaitu Pembukaan UUD 1945, dinyatakan bahwa “kemerdekaan ialah hak segala bangsa”. Setelah menyatakan itu, penyangkalan kemerdekaan, yakni penjajahan, dikatakan sebagai “tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan”, dan karena itu harus dihapuskan dari muka bumi ini. Tidak keliru kalau dari dua anak kalimat ini kita menyimpulkan, bahwa kemerdekaan yang dimaksud oleh para perancang Pembukaan tersebut berdasar atau bersumber pada kemanusiaan dan keadilan. Bahwa kemerdekaan adalah asasi bagi manusia. Bahwa kemerdekaan manusia, dengan mengatakan sebagai “hak segala bangsa”, adalah nilai yang universal. Dan bahwa kemerdekaan adalah hak, merupakan hak moral yang mendahului aturan legal buatan manusia. Sebagai hak yang bersandar pada nilai etik inı, kemerdekaan tidak hanya beroperasi pada tingkat bangsa, melainkan juga dan justru pada manusia perseorangan atau orang per orang. Mencapai kemerdekaan dipandang sebagai bagian dari pencapaian kebahagiaan manusia.

Namun ternyata kemerdekaan itu tidak dengan sendirinya terwujud setelah dinyatakan dan diyakini, atau sekalipun telah dilegalisir dalam dokumen konstitusi kita. Segera setelah proklamasi 17 Agustus 1945, bangsa Indonesia masih harus berjuang menegakkan dan mempertahankan kemerdekannnya gelombang pasang surut revolusi. Contoh konkrit dari sejarah negara kita ini sendiri akan selalu mengingatkan, bahwa dalam kenyataan, kemerderkaan merupakan sesuatu yang mesti diperjuangkan dan diperkelahikan. Kemerdekaan bukan barang jadi, siap pakai dan berada dalam keadaan yang konstan. Isi dan mutu kemerdekaan, susut dan perkembangannya setiap saat adalah hasil tarik menarik antara kepentingan-kepentingan dalam masyarakat (dan dunia). la butuh selalu diperbarui, disegarkan, dan diprodusir terus menerus.

Tarik menarik dalam memperjuangkan kemerdekaan atau kebebasan dalam masyarakat yang modern diusahakan untuk dilakukan dengan cara yang harus menjamin tidak akan menghasilkan hilangnya kebebasan itu sendiri, serta tidak membatalkan tujuan kemerdekaan, sambil menjaga keutuhan masyarakat di mana kemerdekaan itu ingin ditumbuhkan. Aturan yang disusn berdasarkan semangat seperti ini kita kenal dengan nama demokrasi Di dalam sistem demokrasi inilah dapat dipertukarkan gagasan-gagasan yang berbeda dalam suasana yang bertanggung jawab dan bertolak dari kedewasaan berpikir, termasuk gagasan mengenai kemerdekaan itu sendiri. Pilihan-pilihan kebijaksanaan yang menyangkut kemerdekaan dan kesejahteraan mendapat pertimbangan yang lebih masak dalam suasana demokratis, di mana akan lebih banyak yang memperoleh kesempatan untuk turut serta memberikan pendapatnya. Dengan mengatakan ini kita dapat merasakan, bahwa antara kebebasan dan demokrasi ada ikatan yang tidak dapat dipisahkan.

Telah kita uraikan di atas tadi, bahwa kemerdekaan adalah hak moral bagi manusia, suatu hak yang dijadikan dasar pembentukan negara republik Indonesia ini di tahun 1945. Dan kalau kita boleh mengulangi lagi, bahwa kemerdekaan itu merupakan bagian dari pencapaian kebahagiaan manusia, maka teranglah bahwa kemerdekaan bukan cuma sebagai jalan, sebagai wahana, tetapi juga mengandung sebuah tujuan kemanusiaan. Demikian pula halnya dengan demokrasi dalam konteks kehidupan bernegara. Dengan kata lain, kemerdekaan hanya bisa berkembang dalam alam demokrasi, keleluasaan untuk memilih dan menentukan apa yang terbaik, untuk mengikatkan diri maupun untuk lepas dari ikatan, untuk mengambil keputusan atau merubah dan menarik kembali keputusan ketika sadar akan kekeliruan putusan yang dibuat, yang semuanya itu pada hakekatnya demi menggunakan kembali semboyan yang sering dipakai di zaman perjuangan 1945: “the right of self-determination”.

Di lain pihak, budaya demokrasi cuma bisa tumbuh dengan kemerdekaan berpikir dan mengeluarkan pendapat, berkumpul dan berserikat, berpartisipasi dalam pemerintahan dan ikut menentukan kebijakan yang menyangkut nasibnya. Dwi tunggal kemerdekaan dan demokrasi adalah suatu pilihan yang tak terelakkan bagi kita yang menjunjung tinggi martabat kemanusiaan. Dan diletakkan dalam kerangka keadilan sosial, membuat kita tidak ragu-ragu untuk menghadapi masalah imbangan antara kemerdekaan pribadi dan kemakmuran, karena kedua tujuan itu tidak perlu bertentangan dan dipertentangkan. Masyarakat demokratis yang diperjuangkan ialah masyarakat yang disusun sebagai ikatan yang terpaut dalam janji untuk menegakkan kemerdekaan setiap anggotanya. Dalam komitmen bermasyarakat seperti inilah kesejahteraan dan kehidupan kebangsaan yang cerdas ingin diwujudkan.

Untuk senantiasa menyegarkan ingatan kita akan arti kemerdekaan itu, perlu kita melihat kemerdekaan sebagai kaidah hidup kemasyarakatan. Pada sidang hari ke-tiga PPKI, 1 Juni 1945, sejarah mencatat bahwa para pemimpin rakyat peserta sidang, kebanyakan masih menyangsikan kemampuan bangsa Indonesia untuk merdeka. Meskipun begitu, dua setengah bulan kemudian Indonesia menyatakan juga kemerdekaannya. Kemerdekaan yang diproklamasikan itu, betapapun semula disangsikan, dapat terwujud karena setidak-tidaknya harus menyatakan beberapa hal mendasar yang menjadi unsur-unsur utamanya. Hal-hal mendasar itu, sebagian tercantum dalam uraian di atas. Dan sebagian lagi yang belum, dapat dilihat dalam tujuan pernyataan di bawah ini:

Pertama, kemerdekaan lebih merupakan proses perjuangan menentukan nasib sendiri daripada keadaan yang bebas dari segala soal, kesulitan, dan hambatan. Pada tanggal 18 Agustus 1945, bangsa dan negara Indonesia menjamin dalam UUD-nya bahwa kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa, dan bahwa sistem yang menghambatnya (penjajahan) dianggap tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan. Kedua, kemerdekaan adalah hak yang mendasar bagi setiap manusia, dan karenanya harus dijamin dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Dan perlu diingat bahwa sejak 17 Agustus 1945 sampai dengan 17 Agustus 1959, perangkat hidup kebangsaan dan kenegaraan Indonesia disusun dan digunakan sedemikian rupa hingga kemerdekaan justru terancam oleh tindakan-tindakan sewenang-wenang. Ketiga, musuh kemerdekaan bukanlah kekuasaan masyarakat dan negara, melainkan kesewenang-wenangan dalam penggunaan kekuasaan itu. Artinya, kuasa kemasyarakatan dan kenegaraan bisa mempersempit dan memperbesar peluang bagi kemerdekaan, tergantung dari susunan dan penggunaannya. Dari 17 Agustus 1959 sampai Maret 1966, susunan kuasa kemasyarakatan dan kenegaraan begitu terpusat di tangan seorang pemimpin, sehingga kemerdekaan tidak saja tertekan, tetapi juga telah mangakibatkan malapetaka kemiskinan dan kekerasan. Keempat, kemerdekaan mensyaratkan susunan dan penggunaan kuasa kemasyarakatan dan kenegaraan tertentu. Semakin terpusat kuasa itu di satu tangan, semakin tak berfungsi kemerdekaan sebagai kaidah hidup bermasyarakat. Sejak Maret 1966, susunan kuasa kemasyarakatan dan kenegaraan kita sudah berusaha disebar, meskipun harus diakui penyebarannya masih sangat terbatas. Kelima, kemerdekaan sulit bertahan dalam susunan kemasyarakatan dan kenegaraan yang berpusat di beberapa tangan. Beberapa tahun belakangan ini kurang berfungsinya kemerdekaan makin disadari sebagai biang keladi berbagai kesulitan, seperti lambatnya laju tingkat produktivitas, mutu produk yang kurang memadai, miskinnya daya cipta masyarakat, serta daya kerja aparat kekuasaan yang rendah. Keenam, kemerdekaan semakin berfungsi dalam susunan kemasyarakatan dan kenegaraan yang tersebar secara maksimal. Karena itu resiko ancaman kesewenang-wenangan memang sangat tinggi, tapi hal ini mungkin dicegah oleh jaminan persamaan hak bagi semua warga masyarakat. Bila pengalaman masyarakat dan negara lain di dunia diperhatikan, maka nyatalah bahwa kemerdekaan selalu bergandeng dengan rasa persaudaraan, senasib sepenanggungan, serta persamaan hak. Semua ini bukan barang jadi, tetapi harus diramu, dipelihara, dan dikembangkan secara tekun dan terus-menerus. Ketujuh, kemerdekaan paling mungkin berfungsi dalam suatu pengelolaan hidup masyarakat dan negara yang secara seimbang menghubungkannya dengan perasaan senasib dan persamaan hak. Upaya yang tak habis-habis dalam memelihara keseimbangan ini bisa disebut demokrasi.

Adalah kewajiban kita pada saat menyongsong ulang tahun kemerdekaan untuk merenungkan kembali arti kemerdekaan dalam kerangka di atas. Dari renungan itulah kita akan melakukan penilaian atas kemajuan dan kemunduran yang kita capai dalam mengisi kemerdekaan. Sama banyakkah kemajuan dan kemunduran yang dicapai, ataukah malah lebih banyak kemunduran yang tengah terjadi saat ini?