Konsep Dasar Manusia: Mampukah Kaum Muslimin Merumuskannya?

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid
Dewasa ini kaum Muslimin tengah mengalami tantangan beranekaragam, baik dari dalam maupun dari luar. Dari dalam berupa tiadanya kesepakatan dalam segala hal yang menyangkut kehidupan mereka, dari perumusan masalah yang dihadapi, akibat yang ditimbulkan masalah tersebut bagi perkembangan agama Islam, dan cara-cara untuk menyelesaikan masalah itu sendiri. Tantangan dari luar berupa masalah-masalah obyektif yang disebabkan oleh modernisasi dalam kehidupan kaum Muslimin, dengan spektrum sangat luas, dari tantangan ideologis hingga sekian banyak manifestasi kesenjangan kultural antara idealisme Islam dan kenyataan konkrit yang terus-menerus mendera kesadaran kaum muslimin di mana-mana saat ini.
Kompleksitas masalah ini yang justru jarang sekali dipahami dengan baik, sehingga yang muncul lalu adalah gambaran pemetaan masalah yang saling berbeda yang dilakukan oleh kelompok-kelompok yang berlainan. Semuanya berwajah parsial dan sebenarnya tidak menyediakan jawaban yang berarti.
Diakui atau tidak, dihayati atau tidak, ada semacam persepsi bahwa jawaban yang diberikan oleh kaum Muslimin secara keseluruhan masih bersifat parsial, dan karenanya tidak efektif. Dengan kata lain. jawaban yang diberikan selama ini justru menambah kompleksnya permasalahan umat Islam secara keseluruhan, bukannya menguranginya.
Persepsi masalah seperti inilah yang lalu memunculkan semacam keperluan akan kesadaran lebih tinggi bagi kaum Muslimin secara keseluruhan akan dasar-dasar masalah umum yang mereka hadapi. Kesadaran itu oleh Mohammed Arkoun dinamakan ‘kesadaran Islam’ seperti dikemukakannya dalam sebuah artikel yang dimuat dalam jurnal Unesco, ‘Cultures’.
Kesadaran itu umumnya lalu menunjuk kepada dua sebab yang dinilai secara simbiotik dalam mengakibatkan kemelut yang dihadapi kaum Muslimin: di satu pihak kaum Muslimin telah lalai dari kewajiban untuk mengembalikan kehidupan mereka kepada dasar-dasar Islam yang sebenarnya, sedangkan di pihak lain mereka bahkan membiarkan diri untuk dibujuk rayu oleh pemikiran yang tidak bersumber pada dasar-dasar Islam itu.
Dengan kata lain, di samping melupakan kekuatan mereka yang sebenarnya, kaum Muslimin juga memakai kerangka berpikir yang bertentangan dengan ajaran agama mereka. Keadaan ini umpamanya saja dapat kita lihat pada santernya tuntutan untuk merumuskan dasar-dasar berpikir murni Islam tentang ilmu pengetahuan, ekonomi, kehidupan politik, pengembangan kebudayaan, pendidikan, dan seterusnya.
Hampir tiap hari hari kita temui ajakan untuk itu, dan selalu saja kita dapati dari hari ke hari upaya untuk melakukan perumusan seperti itu. Dalam bentuknya yang negatif, kesadaran itu lalu menempatkan kaum Muslimin kepada jarak tertentu dari hiruk-pikuk kehidupan, dan membawa mereka kepada sikap polemitis terhadap banyak manifestasi kehidupan dari ateisme hingga ke hedonisme dunia pasca-industri, melalui sekularisme dan sejenisnya.
Tidak dapat dihindari, pola pergaulan kaum Muslimin yang telah mencapai kesadaran seperti itu dan pola humanisme modern masa kini lalu mengambil corak dialog yang penuh rasa saling mencurigai, dan bahkan bernada berang. Ini terlihat antara lain dalam serangan gencar terhadap kehidupan modern saat ini secara keseluruhan, karena adanya ekses-ekses yang akan membawa bencana bagi umat manusia.
Hanya Islamlah yang akan mampu menyelamatkan umat manusia dari prospek gelap seperti itu. Umat manusia tinggal mengadopsi dan menerapkan wawasan Islam tentang kehidupan untuk menyelamatkan diri dan bahkan mengembangkan diri kepada ketinggian derajat yang belum pernah dicapainya selama ini.
Karenanya, kaum Muslimin yang sadar haruslah berani memelopori proses untuk kembali kepada kemurnian ajaran Islam, dan di kemudian hari agama merekalah yang akan memetik hasilnya.
Sikap seperti itu muncul dari sesuatu yang positif, yaitu kecintaan, kepatuhan dan ketulusan kepada Islam sebagai jalan hidup yang diterima sebagai kebenaran mutlak yang harus diterapkan dalam kehidupan secara tuntas.
Tetapi dalam dirinya tidak urung dapat dilihat pemunculan sikap itu sendiri sebagai sebuah reaksi terhadap kemungkinan ancaman dan bahaya bagi Islam, atau lebih jelas lagi, reaksi terhadap kemerosotan nilai dan ketaatan formal kepada ajaran Islam karena pengaruh dari luar.
Dalam wataknya yang tampak positif (ketulusan kepada ajaran agama sendiri) tampak ada dasar-dasar yang negatif: ketakutan akan kemerosotan lebih jauh dalam kehidupan beragama Islam.
Karenanya, pertanyaan utama yang harus diajukan adalah dapatkah kita menumbuhkan sikap jiwa yang tidak bertolak dari landasan psikologis yang berwatak negatif, melainkan sikap yang tumbuh dari dalam diri sendiri. Pernyataan Islam yang keluar dari kekuatannya sendiri (islamic assertion) dan bukannya yang bersumber dari rangsangan dari luar untuk mempertegas kembali ajaran Islam (islamic re-assertion)?
Pertanyaan yang demikian sederhana ternyata tidak mudah dijawab, sebagian karena kaum Muslimin tidak hidup dalam keadaan kekosongan melainkan sudah terlibat dalam dialog intensif dengan faham-faham lain, baik di masa lalu maupun di masa kini. Namun jelas bahwa dari kaum Muslimin dituntut kemampuan mengambil jarak dari sejarah masa lalu dan masa kini mereka sendiri, untuk melihat persoalan secara lebih obyektif dan menyeluruh, terlepas dari hiruk-pikuk kemelut yang mereka hadapi saat ini.
Namun harus dijaga agar tindakan mengambil jarak itu tidak lalu menjadi pelarian dari keadaan nyata, terlepas dari kerangka kehidupan faktual, karena hasilnya hanya akan berupa refleksi steril yang sangat utopis belaka, tanpa dapat dikaitkan dengan problem problem kehidupan yang ada.
Hasil seperti itu hanyalah akan membuat Islam, sepanjang yang dirumuskan oleh kaum Muslimin, lebih terdesak lagi karena tidak dapat dipakai untuk memecahkan problem-problem kehidupan, terdesak ke pinggiran lapangan dalam persaingan antara faham-faham besar dalam sejarah umat manusia di masa kini.
Ketertinggalan dalam persaingan itu akan memunculkan keperluan ‘menjaga diri’ terlebih jauh, yang berarti pemagaran kehidupan kaum Muslimin dari kontaminasi kultural dan ideologis pihak lain. Pemagaran seperti itu lalu sangat mudah mengambil bentuk tuntutan ‘merealisir’ ajaran Islam dalam kehidupan masyarakat atau dengan kata lain formalisasi ajaran agama dalam kehidupan agama. Padahal bahaya tuntutan seperti itu adalah ketergantungan Islam dalam perumusan kaum Muslimin kepada institusi negara dan pemerintah dalam kadar yang semakin lama semakin membesar.
Ketergantungan kepada lembaga pemerintahan dan kemasyarakatan dalam bentuknya yang infinitif, hanyalah akan membuat pelaksanaan ajaran Islam sendiri kepada peraturan tidak menentu, karena bukan hanya agama saja yang mempengaruhi corak kehidupan negara dan pemerintahan.
Saat ini saja, ketika masih memiliki kepala negara yang sangat religius dalam diri Ziaul Haq, Pakistan masih juga harus berdialog dengan sejumlah pengambil keputusan yang ingin melemahkan pelaksanaan Hukum Islam secara sempurna. Begitu juga kekuatan kaum mullah di Iran juga sangat bergantung kepada wibawa kekuasaan Ayatollah Khomeini. Saudi Arabia masih memberlakukan Syari’at hanya karena dinasti Saud masih berkuasa.
Kelemahan inti dari ketergantungan institusional itu adalah keterbatasan pengembangan ajaran Islam dalam dinamika penuh, karena keterbatasan kemampuan institusi yang digantungi untuk melakukan hal itu.
Karenanya, diperlukan sebuah titik tolak baru dalam merumuskan pernyataan diri (assertion) yang positif, tumbuh dari kekuatan Islam sendiri untuk memecahkan kemelut yang dihadapinya kini. Titik tolak baru itu sebenarnya sudah dapat dirumuskan sejak sekarang, tanpa terlalu banyak mendiskusikan apa yang dapat di-sumbangkan Islam bagi pemecahan masalah masalah dasar yang dihadapi umat manusia, seperti kemiskinan, keterbelakangan, kebodohan, ketidakadilan baik yang antar-generasional maupun yang lainnya dan seterusnya. Apakah yang dapat disumbangkan Islam untuk menegakkan keadilan dalam kerangka pelaksanaan tuntas hak-hak asasi manusia? Apakah konsep Islam untuk dapat mengatasi masalah kemiskinan, baik secara struktural maupun kultural? Apakah konsep Islam tentang ilmu pengetahuan, sehingga dapat diatasi ekses-ekses yang ditimbulkannya dalam teknologi modern saat ini?
Sumbangan beraneka ragam itu hanya dapat dilakukan, kalau kaum Muslimin dapat menyusun dasar-dasar berpikir sistematis yang menunjukkan pengertian akan keadaan manusia yang sebenarnya hubungannya dengan struktur yang mendominasinya, kekuatan dirinya sebagai makhluk yang mulia untuk mengubah nasibnya secara fundamental, kemerdekaannya untuk menentukan sendiri agenda kehidupannya (termasuk di dalamnya preferensi moral yang dianutnya).
Dan terlebih jauh lagi hak dasarnya untuk mempertanyakan segala sesuatunya guna mendapatkan jawaban tuntas bagi kemelut hidup yang dihadapinya. Dengan ungkapan lain, kemampuan kaum Muslimin untuk merumuskan konsep dasar tentang manusia sebagai manusia, bukan hanya sekadar sebagai obyek upaya formalisasi ajaran Islam sendiri.
Pertanyaan dasarnya, dengan demikian, adalah mampukah kaum Muslimin melakukan ikhtiar perumusan itu?