Langkah Strategis yang Menjadi Pertimbangan NU

Sumber Foto: https://narasi.tv/read/narasi-daily/sejarah-pemilu-di-indonesia

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

Lewat Pemilu 1992 bisa dibaca warga NU sudah dewasa dalam berpolitik. Khittah berjalan lebih baik. Sekarang, bagimana NU meningkatkan hubungan strategis. Bukan hubungan taktis.

AIhamdulillah, kali ini kita melaksanakan malam silaturrahim dengan warga Nahdlatul Ulama. Termasuk juga dengan Pangdam V Brawijaya Bapak Mayor Jendral TNI. R. Hartono.

Karena itulah, waktu pemilu, saya sama sekali tidak manggung di Jawa Timur. Saya tahu kalau ke sini tentu ada gegeran. Bukan gegeran antara pengurus NU, tetapi gegeran antara ‘sesama jurkam yang dari NU.

Itu semua sudah lewat. Dan sebagaimana biasanya semua hal di dunia ini, gegeran itu lewat dengan cepat dan diikuti dengan silaturahmi sepertisekarang. Kira-kira lima tahun nanti baru geger lagi.

Kalau memang demikian siklus atau daurnya, itu bagus sekali. Sebab tasalsul seperti itu yang diperbolehkan oleh agama. “Minal Jawaazal” itu seperti ini. Tapi, kalau terus-terusan geger, itu minal muharromaat (yang dilarang). Geger sebentar dua bulan, tiga bulan, habis itu dilupakan dan hidup damai. Lima tahun baru geger lagi. Sebab kalau tidak geger, rasanya juga cemplang. Masing-masing ingin membela dari pendapat kelompok yang diikutinya.

Sebab kita tahu bahwa ke tiga OPP, termasuk juga yang tidak jadi OPP tahu-tahu ada di DPR, yaitu fraksi ABRI. Mereka semua mempunyai pandangan-pandangannya sendiri. Jangan dikira bahwa semuanya itu lalu cumasatu suara.Kalaucumasatu suara cukup saja satu partai. Untuk apa repot-repot.

Justru guna memungkinkan adanya perbedaan pandangan. Kalau perlu yang tajam, setajam tajamnya yang dibuat ke tiga kontestan atau OPP ditambah dua fraksi, yaitu Utusan Daerah dan Fraksi ABRI di DPR. Sebab, hanya dengan perbedaanbitulah akan dicapai pendapat akhir yang memang dapat mewakili kepentingan seluruh bangsa kita.

Jadi memang wadi’nya sistem ini demikian. Tidak perlu dilarang geger, bersilat lidah atau adu argumentasi. Kalau begitu tak usah pemilu saja. Dengan demikian, gegerandalam pemilu itu tawabinya (bagian) dari pemilu itu sendiri. Apakah hukumnya jer, rafa’ atau nasabnya ikut Pemilu. Kalau pemilunya tidak membicarakan masalah-masalah yang inti, gegerannya ndeso begitu saja. Kalau Pemilunya membicarakan masalah yang bagus, tentu gegernya adalah adu pendapat yang mendewasakan rakyat. Jadi, “hukmut tabi’, hukmul mat’ub“.

Karena itu, saya merasa bersyukur bahwa warga Nahdlatul Ulama bisa melakukan silaturrahim, sambung tali rasa setelah kitasemua menjalani masa kampanye dalam Pemilu 1992. Bahkan sudah berhasil menyelesaikan penghitungan suara hasil kampanye 1992. Perkara keyakinan masing-masing merasa sudah beres dan ada yang belum beres, pokoknya sudah tanda tangan, begitu saja. Sebab yang laku tanda tangan itu. Jadi bagi kita tidak mempersoalkan bagaimana-bagaimananya. Soal ada kurang lebihnya sudalah seduluran wae (persaudaraan saja).

Dalam konteks ini, saya dapat telegram dari DPW PPP Jawa Timur. Isinya singkat: “Yang terhormat H Abdurrahman Wahid Ketua PBNU Kramat Raya 164, Jakarta. Jazaakumullah ahsanal jazaa” DPW PPP Jatim.” Saya bilang kepada Arifin, asisten saya: “Kasi pigora yang bagus, di tempat yang bagus pula. Di bawahnya, beri kaset-kaset sewaktu Sulaiman Fadeli, Ketua PPP Jawa Timur, salah paham kepada khittah. Jadi lengkaplah daurahnya. Dari salah paham sampai paham. Dulu saya ini digarap habis-habisan.

Hal yang sama, bisa juga terjadi, nanti mungkin ada yang menyalahkan. Golkar mundur 10 kursi di DPR Pusat untuk Daerah Jawa Timur. Ini jangan-jangan nanti NU yang salah. Kalau memang ada begitu, kasetnya saya simpan bersama-sama kaset Pak Said waktu pidato bersama saya ngelem (memuji) NU. Dengan demikian lengkaplah dokumentasi kita nanti, termasuk kaset kampanye PDI.

Kalau kita berbicara masalah Pemilu, terjadi perdebatan yang hangat. Dengan segala macam akalnya orang untuk menarik simpati dan dukungan dari para pemilih. Karena itu wajar-wajar saja apabila adu argumentasi itu juga saling nyenggol, “Walaataqrobuu hadzihis sajarota..” dikupas panjang-panjang. Jangan dekat-dekat pohon itu, terus diartikan pohon Beringin. Padahal artinya kan tidak demikian. Ayat itu sudah jelas tidak mengandung Pemilu ataupun golongan politik

Lalu, ada juga nanti yang ganti garap PPP dengan mencari-cari ayat. Begitu juga PDI. Pokoknya biasalah bumbunya Pemilu, Pemilu ya demikian itu. Karena mungkin mereka berpegang kepada Khotibunnasi biqodri ukulihim. Pidato kepada orang itu yang cocok dengan akalnya. Jelasnya, kalau akalnya tidak paham program, yadikasi pidato-pidato yang begitu itu.

Kita juga tidak bisa menyalahkan orang yang berfikir demikian. Cuma saja, kita mengingatkan bahwa cara begitu itu nanti secara lambat laun kita anggap sebagai hal yang wajar.

Padahal, pemilih sudah berkembang Dulunya mau dilulu seperti itu, sekarang sudah tidak mau lagi. Sekarang minta yang lain.

Kalau kita bicara obyektif, maka keberhasilan PDI untuk meraih tambahan kursi di DPR pusat, itu karena mereka mampu mengetengahkan isu-isu yang menyangkut kegelisahan dan keresahan masyarakat. Padahal yang mengatakan, belum tentu merakyat atau berfikir seperti rakyat kecil. Saya tahu semua orang-orangnya kok.

Alex Asmasubrata Ketua PDI DKI, kalau pidato sepertinya mbelani wong cilik, menentang wong gede, orang kaya segala macam. Padahal dirinya kerjanya balap mobil dengan Tommy nya Pak Harto. Semua orang tahu. Jadi memang begitu itu kalau pemilu Jangan-jangan saat mau kampanye kalau pas ketemu Mas Tommy di tengah jalan pura-pura tidak kenal. Sedangkan sebelum dan sesudahnya tentu lain lagi ceritanya.

Oleh karena itu, kita melihat segala hal yang terjadi dalam pemilu itu — selama tidak melanggar aturan — dianggap wajar. Jadi Silaturrahimi ini untuk pelepasan secara politis dan secara psikologis diperlukan pelepasan bagi emosi,energi, dan ekpressi dari rakyat. Itu perlu. Bahkan kadang-kadang agak primordial. Ada yang menganggap kalau tidak PPP dianggap kafir. Itu ada yang masih begitu. Kalau tidak Golkar, dianggap menentang pemerintah. Ada yang bersikap begitu. Sudahlah dalam pemilu hal yang begitu wajar-wajar saja.

Sudahlah yang berlalu biarlah berlalu. Sekarang kita kumpulkan tulang-tulang yang berserakan itu. Dalam sambung balung ini, tentunya tidak bisa dilakukan tanpa ada suatu kesapakatan dasar di antara kita semua warga Nahdliyyin. Tentang peranan Nahdlatul Ulama sendiri. Ini harus kita cari. Berarti, setelah silaturrahim ini, lalu bapak-bapak merasa sudah selesai, pulang. Tidak begitu. Jika demikian, percuma saja ikut pemilu tanpa ada terusannya. Disangka kalau sudah terpilih sejumlah orang di anggota Badan Legislatif lalu selesai. Itu tidak bisa demikian.

Kita harus mencari, membahas dan mempertimbangkan yang akhirnya memutuskan bersama-sama apa yang menjadi sikap Nahdlatul Ulamadalam kehidupan bernegara Salahsatu yang harus kita putuskan adalah posisi Nahdlatul Ulama dalam kehidupan politik bangsa kita. Ini sangat memerlukan perhatian dari para Pimpinan Nahdlatul Ulama, baik di tingkat Cabang, Wilayah, di PB bahkan turun ke bawah di MWC dan ranting. Karena sikap dasar ini jika bisa dibulatkan, harus disosialisasikan (dimasyarakatkan). Kalau tidak, (dimas politik orang-orang Nahdlatul Ulama tidak sesuai dengan posisinya NU).

Posisi yang pertama bagi NU, adalah harus menjaga persatuan dalam intern kita. Kohesi atau keutuhan intern kita tetap merupakan modal kita. Jangan sampai karena kita mengambil hal-hal lain, yang sifatnya hanya taba’iyah kemudian melupakan yang asas ini. Kita pernah tercabik-cabik di NU karena perkelahian di dalam PPP. PBNU nya pada waktu itu goyang, tidak karu-karuan. Di Wilayah juga demikian, apalagi di Cabang. Alhamdulillah hal itu sudah terhindar semua. Kita sudah bisa membagi tugas, melakukan pembidangan kerja masing-masing. Yang ngurusi NU, yangurusi NU. Yang ngurusi politik, ya ngurusi politik. Syukur bisa jadi pengurusnya, syukur jadi calegnya, dan syukur menjadi penentu.

Atas dasar itulah, mengapa PB Nahdlatul Ulama kemarin menonaktifkan untuk sementara, para fungsionaris NU walaupun tidak semua. Karena kita mendengarnya memang sudah belakangan. Sebab Wilayah NU dikirimi surat tidak ada yang menjawab.

Kalau kita mengambil tindakan seperti itu, bukan berarti kita ngemohi (tidak mau) pemilu. Bukan!. Agar ada kejelasan mengenai pembidangan masing-masing. Kalau toh ada anggota pengurus NU merasa perlu mendukung atau menunjang OPP yang disenanginya, Dipersilahkan. Tapi lakukan hal itu dengan kapasitas pribadi. Itu saja maksudnya, tidak lain. Agar NU tidak lagi tercabik-cabik seperti dulu lagi. Itu maksud yang sesungguhnya.

Alhamdulillah, di PB ada 15 orang yang ikut kampanye sana-sini Kemudian diam-diam kita beri surat Lalu PW. Jawa Timur mengambil langkah yang sama bagi sejumlah warganya baik di wilayah maupun di Cabang berjalan secara otomatis. Ini berarti kedewasaan kita tercapai dengan baik. Kita sudah membedakan masalah pribadi dan masalah organisasi. Dan itu sangat penting bagi NU di masa yang akan datang Karana saya melihat bahwa orang yang mendukung itu sebenarnya bukan apa-apa. Tapi memendang bahwa OPP yang didukungnya mempunyai missi tersendiri. Yang mendukung PPP merasa yakin bahwa dengan ini mendukung kemajuan Islam atau apa, pokoknya bermotif agama. Lalu yang di Golkar, itu juga sama. Pemerintah sudah begitu baiknya dengan orang Islam kok tidak didukung. Mau mendukung siapa lagi?. Jadi titiknya kepada Islam lagi Malah KH.Badri pernah bisik-bisik kepada saya, bahwa Golkar harus kita rebut. Karena dengan itu nanti Islam bisajaya. Lho caba!?. Jadi motif beliau adalah agama juga.

Besok-besok mungkin ada yang di PDI. Ada Pak Sairozi di Pekalongan sayang belum ketemu. Nanti jika ketemu akan saya tanyai: Ada apa sampean ngotot-ngotot membela PDI. Alasannya karena di sana banyak yang belun salat, ingin saya salatkan. Ini kan agama lagi. Jadi motifnya adalah idealistik. Dorongannya atau dafi’nya itu kepada kemajuan Islam.

Lalu yang di NU-nya sendiri yang tidak ikut kampanye, sudah pasti tetap mendo’akan Islam. Jadi berputar-putar kohesi kita karena kesamaan cita-cita kita, sedang perbedaannya hanya ada pada perbedaan bahasanya saja. Dan bahasa itu sangat penting. Mengapa Sampang yang dulu tidak pernah kalah dengan Golkar, sekarang kok kalah. Itu soal bahasa. Karena kebanyakan mengambil jurkam dari Jawa terus mengajak nyoblos hijau. Padahal di Madura adalah biru. Jadi tolah-toleh, yang mana yang hijau kok tidak ketemu. Maaf orang Madura jangan tersinggung, ini hanya menunjukkan bahwa saya sedikit-sedikit saya mengerti bahasa Madura. Jadi idealisme kita sama, namun bahasa berbeda.

Berangkat dari ini, kita bersatu dalam intern. Bagi kerja tugas di luar. Saya setuju NU bertugas di PPP, bahkan jadi ketua umumnya sekalian. Masak dari dulu tidak pernah dapat giliran. Apalagi di Golkar Kalau orang NU jadi pengurus Golkar, kita ikut bersyukur. Karena kalau di sana, mereka juga berkiprah di dalam golongan mayoritas (mayoritas politik).

Ini penting, karena bagaimanapun juga warga negara itu harus bertanggung jawab kepada negaranya menurut cara masing-masing. Bahwa mereka berada dalam NU, itu semata-mata pilihan dari sudut agama. Tapi kewajiban bernegaranya adalah sama. Jadi menurut saya adalah wajar-wajar saja.

Lalu, bagaimana dengan yang di PDI? Malah saya berharap-harap agar ada orang NU menjadi pengurus PDI. Masak Pak Nico Daryanto terus-terusan. Ya bareng dong termasuk orang NU. Apakah NU tidak tamak?. Ya tidak. Kita hanya menitipkan saja. Terserah yang dititipi. Kalau mau ya tidak apa-apa.

Wajar saja seperti orang yang hanya punya dua anak karena ikut KB lestari. Tidak repot anaknya sekolah di mana-mana atau di satu tempat. Tapi bagi yang punya anak lima belas, bagaimana?. Orang NU ini umumnya banyak anaknya. Terus sekolah diluar kota, kemudian diindekoskan di satu tempat Kata orang, kenapa bapaknya tidak ikut pindah sekalian? Apa bisa satu kota menampung anaknya satu orang? Tidak mungkin. Sama saja dengan warga NU yang sedemikian banyak, kegiatan politiknya dititipkan di mana-mana. Syukur jika bisa menjadi pengurus. Menurut saya merupakan kewajaran saja. Ibarat cinta, harus bertepuk kedua belah tangan. Tidak hanya sebelah tangan saja. PPP sudah bertepuk kedua belah tangan dengan NU. Sudah cukup banyak warga NU jadi pengurus didalamnya.

Golkar bagaimana? Sementara belum sampai tepuk. Baru salaman kaja Mudah-mudahan setelah salaman baru bertepuk dua belah tangan. Kalau tidak, ya tidak bisa kita langsung gedor-gedor pintunya orang minta jadi pengurus. Dan ini juga tergantung sononya kaya apa. Begitu juga dengan PDI dan sebagainya.

Sebetulnya, modal kita cukup besar Di daerah yang NU-nya kemarin itu memang mutlak mendukung Golkar, sambil kadang-kadang melanggar aturan main NU sendiri, memang dapatnya tidak tanggung-tanggung, 93 prosen. Seperti Jambi, Lampung dan lain-lain. Padahal ketuanya sudah saya marahi habis-habisan. Di non aktifkan dan macem-macem, tapi tetap nekad saja. Dan hasil. Mudah-mudahan setelah mendapat sredetannya itu tidak ingat kemarin ketika saya marahi. Tapi di daerah dimana NU-nya biqodril imkan pendukungnya, hasilnya juga biqodril imkan. Ini dirasakan oleh Golkar maupun PPP. Dibeberapa daerah juga “PDI untuk Tk. II. Ini saya mendapat omongan dari yang bersangkutan sendiri.

Karena itu, lalu ada usul, kenapa saudara A sudah berada dalam DPP Golkar tidak masuk saja langsung kepada DPP nya. Jangan hanya departemen. Kalau perlu menjadi calon menteri, (yang dimaksud Sdr. Slamet Effendy Yusuf), Orangnya tena kepada saya. Saya jawab, Lho terserah sana, mau dijadikan Ketua umum atau apa terserah. Tapi bilang saja kepada yang punya, jangan kepada saya. Padahal yang ngomong ini bukan orang NU.

Artinya di lingkungan Golkar potensi NU mulai diperhitungkan untuk dirangkul menjadi kekuatan permanent dalam politik itu harus secara organik diserap di lingkungan Golkar sendiri. Sebab Golkar tidak bisa terus-terusan bersandar kepada uluran tangan dari yang lain. Artinya tuntutan dari perkembangan politik kita wajar saja. Bahwa di masa depan, pemerintah harus lebih menampakkan pelayanan yang sama kepada semua OPP dan juga harus menjaga kemandirian OPP. Ini tantangan. Dan tantangan ini berlaku bagi semuanya, apalagi bagi Golkar.

Ketua BAPPILU Golkar DKI berbicara kepada saya: “Wah susah kita ini sekarang. Kemarin itu terlanjur kader-kader tidak kita gerakkan. Yang bergerak hanya Pak Camat ke bawah. Sekarang mau memulai lagi cukup susah. Karena orang Golkar terlanjur manja. Dengan musik dangdut saja sudah menang, diajak bekerja sudah tidak mau.

Ini berarti bahwa Golkar harus bersiap-siap menata dirinya kembali. Menata agar supaya lebih mampu menggerakkan aparat internnya, dan tidak begitu banyak membutuhkan pertolongan dari luar dirinya. Kalau demikian, ini merupakan kesempatan baik bagi Golkar untuk rekrutment orang-orang yang berakar di masyarakat. Sampai ada orang Golkar sendiri yang mengatakan, bahwa dari Jawa Timur tidak ikut terpilih karena Golkar mundur 10 kursi Saking marahnya ia mengatakan bahwa pimpinan Golkar harus orang yang berakar di masyarakat. Memimpin Organisasi yang besar, orangnya bisa diterima umat Islam. Dia bilang kepada saya. Saya tanya, Tho ini mau mencalonkan saya atau bagaimana? Saya bilang boleh saja. Tapi aku emoh (tidak). Sebab kalau saya jadi ketua umum Golkar harus melepaskan keketuaan dalam Nahdlatul Ulama. Dan itu — terus terang saja — tidak akan saya lakukan. Sebab jalan hidup saya sudah di Nahdlatul Ulama. Sudah begitu garisnya. Yang ada itu saja dilakukan. Jangan-jangan seperti ceritanya Ki Ageng Silo dan Ki Ageng Nggiring. Sudah dapat degannya, tidak ikut minum airnya.

Ini berarti, bahwa Nahdlatul Ulama, kalau bisa dibawa melakukan negosiasi untuk memasukkan orang-orangnya di lembaga-lembaga politik formal. Silahkan. Asal dipegang aturan main NU yaitu, yang jadi pengurus harian NU, tidak boleh merangkap menjadi pengurus harian orsospol.

Di sini timbul masalah. Bagaimana tentang MDI itu ? menurut daftarnya, MDI adalah ormas. GMP (Generasi Muda Persatuan), itu ormas, boleh-boleh saja di situ. Mau yang mana silahkan karena sama-sama ormas. Silahkan dicoba. Sudah waktunya bagi orang-orang NU membagi tugas, Catatannya, jangan menjadi pengurus harian NU merangkap pengurus harian Organisasi Politik. Itu saja. Namun tidak semudah yang bapak kira. Kasulitannya kadang memang ada. Yang dicari Golkar adalah yang menjadi pengurus NU karena banyak pengaruhnya. Kalau yang bongkeng-bongkeng buat apa ? kata Golkar. Dalam hal ini, kemarin memang lebih cerdik PPP. la punya taktik, “gak oleh bapake ya anake atau mantune” (tidak boleh bapaknya, ya anak atau mantunya) dijadikan pengurus PPP.

Ini fair saja. Tidak usah sakit hati Dikoreksi ke dalam malah bisa jadi guyon. Wah goblok rek awak dewek kecolongan PPP, (wah bodoh kita bisa kecolongan PPP). Orang yang berjiwa besar ini mampu memperbaiki diri. Jangan marah sama PPP-nya. Memang PPP cerdik. Sama dengan PDI menampilkan gambar Bung Karno tahu bahwa itu dilarang. Karena, itu ketika dilarang gambare Iwan Fals yang dipasang. Karena itu, bingung yang akan melarang. Itu lebih cerdik. Paling cerdik PDI di Yogja. Ada sebuah tembok ada tulisan ngarso dalem nyoblos banteng. Ngarso dalem itu maksud bahasa orang sana untuk Kanjeng Sultan. Padahal, ngarso dalemnya, ketua DPD 1 Golongan Karya. Keterlaluan itu. Umpama di sini ditulis Pak Said nyoblos Banteng. Kira-kira begitu. Itu kan pinter. Itulah kalau cerdik-cerdikan. Karena itu, Golkar memang kalah cerdik. Ini fair saja, secara sportif.

Kalau kita sudah sampai demikian, maka ada hal lain yang perlu diingat. Kalau memang secara sadar seluruh warga NU siap untuk kiprah, supaya ada yang berkiprah diorganisasi sosial politik. Maka juga harus ditanamkan satu hal bahwa hubungan-hubungan yang ada — tidak boleh merupakan hubungan praktis. Hanya kepentingan-kepentingan sesaat saja.

Bahwa NU menganut garis hubungan-hubungan strategis. Mengapa NU dengan segala macam kekuatannya, sekuat-kuat tenaganya memelihara hubungan baik dengan ABRI. Ini pertanyaan. Saya ini ketua FD sering dimarahi kawan-kawan saya. Anda itu kok selalu dengan jenderal-jenderal itu. Saya bilang, disitu saya sebagai ketua umum PB NU. Karena NU menganut garis hubungan strategis dengan ABRI.

Apa arti hubungan strategis? Kita sengaja bekerja sama sebaik-baiknya dengan ABRI. Sebab, ABRI dipimpin oleh para perwira tinggi, yang mempunyai pandangan-pandangan anti meliterisme. Pak Trypidato beberapa hari yang lalu bahwa ABRI menolak meliterisme. Tidak kayak di Chile, jenderal Pinose, atau Calgeri di Argentina. Bahkan pernah terjadi di Brazilia di bawah pemerintahan meliteristik. Kepala Staf Angkatan Laut Paraguay pergi ke Brazil, tentu saja disambut oleh Kepala Staf Angkatan Laut. Menteri itu ditanya oleh tuan rumah. Negeri anda itu tidak punya laut kok ada Panglima Angkatan Laut? Dijawab oleh sang tamu. Anda juga punya Menteri Keadilan. Tuan rumah diam. Sebab di Brazil ketika itu tidak ada keadilan. Disini ada Menteri Kehakiman. Karena namanya Menteri Kehakiman, maka tak perlu dituntut adil-adil betul. Sekali-kali ada hakim kita yang nylewar dalam keputusannya, ya sudahlah. Memang namanya bukan Departemen Keadilan, tapi Departemen Kehakiman.

Kita juga demikian. ABRI kita ini sengaja secara bertahap menumbuhkan Demokrasi Pancasila. Bolehlah antara saya dan pak Hartono tidak sama pendapat mengenai istilah Demokrasi Pancasila. Batas-batasnya sampai di mana. Saya juga bilang, Demokrasi Pancasila itu, Pancasila-nya penuh demokrasi-nya juga penuh. Kalau demokrasinya tidak penuh orang bisa ditangkap tanpa surat penangkapan. Menurut saya itu tidak Pancasila. Tiwas-tiwas saja digandeng, Demokrasi dan Pancasila itu. Karena itu secara berangsur-angsur ABRI berniat memperbaiki supaya demokrasi Pancasila benar-benar berjalan di negeri kita.

Karena itu, Ormas seperti NU bebas bergerak. Kritik-kritik di koran itu masyaallah, panas di kuping Kadang-kadang dari NU juga keluarnya. Kalau di NU-nya susah-susah, ya lewat Forum Demokrasi sajalah. Orangnya, itu-itu juga. Tapi ini dibolehkan. Lha kalau dulu, sebentar-sebentar marah. Ini harus dicekal, ini karena hawa nafsu sesaat. Setelah berunding bersama-sama, kalau difikir mencekal orang gendeng itu lebih gendeng lagi. Di luar Jawa Timur ada seorang Pangdam semacam itu. Belum baca semuanya langsung marah-marah. Itu saya cekal. Dinyatakan dalam pidato jurkam Golkar. Sing senep ketua DPD nya. Itu kalau sampai didengar rakyat, maka berarti pukulan berat untuk Golkar. Maka langsung diawas-awas, jangan sampai bocor ke bawah. Waktu itu Gubernurnya terbawa pada sikap seperti itu juga. Dia bilang kepada para jurkam itu pada jam lain di hari yang sama. Siap-siaplah kalian semua. Nanti ini Gus Dur akan kampanye di PDI. Ya ketua DPD Golkarnya yang senep. Jangankan kampanye, hanya mendengar bahwa Gus Dur mau kampanye PDI itu saja bisa kiamat.

Dasarnya karena saya ngomong di DPP PDI. Ada sarasehan saya diundang. Ketika saya diberitahu oleh ketua DPD Golkar tadi, Gubernur bilang begitu karena anda ceramah di acara Sarasehan di PDI.

Salahnya sendiri. Saya mau bicara di DPD-PPP Jawa Timur tidak boleh Golkar itu lebih pinter pak, saya bilang. Dalam lima tahun ini kalau Golkar punya acara saya diundang. Tapi mendekati kampanye ini saya nggak pernah diundang lagi. Alhamdulillah. Sebab, berat juga konsekuensinya, jika mendekati pemilu. Pada hal, setelah itulah kita mengeluarkan surat penonaktifan itu, kan lucu jadinya.

Jadi hubungan kita strategis. Kita dukung ABRI mati-matian. Karena ABRI tidak sama dengan meliter di negeri lain. Kalau kita cari bandingannya, kira-kira dengan meliter Malaysia, Singapura dan Philipina. Ikut menata politik demi keutuhan negara. ABRI yang demikian tentu bisa kita jadikan teman, menuju kepada penciptaan masa depan Indonesia yang kita inginkan bersama.

Karena itu, kita lihat, Pak Rozi Munir salah seorang ketua PBNU sampai menjadi anggota komisi VI. Kelompok VI adalah suatu kelompok kecil dari sekian ratus kelompok yang dimintai masukan, yang akhirnya yang melakukan upaya rumusan akhir GBHN dari Wanhankamnas diserahkan kepada Presiden. Hasil itu, oleh Presiden telah diserahkan kepada OPP beberapa hari lalu. Itu ada orang NU-nya yang ikut merumuskan.

Jadi di sini kelihatan, bahwa NU sekuat-kuatnya menggandoli ABRI Karena kita merasa bahwa ABRI akan merumuskan masa depan Indonesia yang kita inginkan bersama Tentu, mereka bukan malaikat yang selalu menerima kehadiran NU sebagai patner–mitra perjuangan yang semata-mata menyantuni NU, senang NU. Senang atau tidak senang, itu urusan pribadi. Tapi, kalau sudah institusi dengan institusi tidak ada soal senang atau tidak. Hubungan ABRI dengan sebuah ormas yang bernama Jam’iyah Nahdlatul Ulama itu dasarnya pertimbangan-pertimbangan rasionil.

Satu alasannya, seperti dikatakan Bapak Pangdam. Bahwa perpecahan NU itu tidak sampai membahayakan eksistensi negara. Dengan kata lain, disiplin intern NU itu disiplin yang betul-betul berdasarkan kepentingan bangsa dan negara Boleh kita benceng-ceweng tidak pernah bersatu. Dan sebaiknya tidak usah bersatu. Kalau bersatu nantinya pandangannya sama begitu. Itu tidak akan ada kemajuan nanti. Biar saling kritik saling ini kan bagus. Kalau begitu maka akan maju semua. Karena itu saya sebagai Ketua umum paling tidak takut dengan kritik itu. Bahkan paling senang. Sebab dengan begitu akan ada perbaikan-perbaikan.

Mengapa ABRI mengambil NU sebagai mitra? Jawabnya simpel saja. Wawasan NU tentang kebangsaan — faham kebangsaan yang diantil NU, sesuai dengan Pancasila dan UUD 45. NU menjadi pelopor dalam masalah-masalah ideologis. Padahal seluruh dunia Islam, hal ini masih menjadi persoalan antara Islam dan nasionalisme. Para penulis Saudi Arabia itu menganggap nasionalisme itu sebagai sekularisme. Mereka belum mengetahui adanya nasionalisme seperti di Indonesia yang tidak sekuler. Melainkan menghormati peranan agama.

Baiklah, saya kembalikan, bahwa hubungan antara Islam dan nasionalisme itu tidak happy, tidak membahagiakan semua orang. Lho kok dilalah ada makhluk yang namanya Nahdlatul Ulama ini lain dari yang lain. Di Indonesia, ulama tidak menolak adanya paham kebangsaan. Dari awal-awal dulu sudah begitu sampai sekarang. Kemerdekaan kita masak diproklamirkan kiai, tidak. Tetapi Bung Karno seorang Insinyur dan Bung Hatta seorang sarjana ekonomi. Bukan kiai. Tapi toh diterima oleh Ulama Proklamasi itu. Karena apa? Karena tidak meyalahi ajaran Islam. Bahkan cita-cita yang dibawakan dalam Pancasila sesuai dengan ajaran Islam. Yaitu membawakan missi ajaran Islam. Karena itu kaum muslimin wajib mengembangkan Pancasila itu sebaik-baiknya, agar masa depan Islam juga turut berkembang di dalamnya. Itu bedanya. Makanya, banyak sekali saat ini perhatian dunia luar tertuju kepada Indonesia. Yang namanya kantor PB NU itu sekarang sudah lebih banyak orang asingnya ketimbang kiainya yang datang. Apa wartawan, duta-duta besar, atau para peneliti, itu berdatangan. Dan kita harus memberikan keterangan dengan sebaik-baiknya dan sejujur-jujurnya, apa adanya.

Kalau kita sudah bisa menyelesaikan pekerjaan besar, tentu sebagaimana dikatakan bapak Pangdam tadi, ada tantangan yang lebih besar di kemudian hari Demikian terus menerus. Saya katakan, ABRI berkiprah dengan Nahdlatul Ulama, disebabkan oleh keperluannya sendiri. Yaitu supaya NU tetap bersama-sama menangani hubungan baik antara Islam itu sebagai agama, antara kaum muslimin sebagai pemeluk agama dengan Pancasila dan kelompok-kelompok lain yang juga mengikuti dan menganut Pancasila. Jadi begitu hubungannya. Jadi ABRI berkepentingan, sama-sama butuhnya.

Ini namanya hubungan strategis, hubungan asasi. Karena itu kita tidak boleh hubungan-hubungan lain itu mengalahkan hubungan strategis yang demikian baik. Dengan ABRI, Pemerintah, Orpol hubungan-hubungan kita harus bersifat strategis Oleh karenanya, kita tidak boleh meremehkan hubungan itu, hanya dihitung dengan sekian kursi. Dihitung dengan sekian bantuan yang kita peroleh dan hal-hal semacam itu. Bukan berarti kita menolak semua, tetapi jangan diukur seperti itu. Sebab, kalau ukurannya itu suatu ketika kita nanti kecewa. Mana kok tidak dapat apa-apa begini lho. Percuma saja jadi teman. Karena memang hubungan kita strategis, kita menjalankan apa yang menjadi tugas dan kewajiban kita. Bukan karena pertimbangan-pertimbangan lain.

Sekarang kita melihat bahwa peralihan dari masa pembangunan jangka panjang tahap pertama, menuju kepada pembangunan jangka nasional jangka panjang tahap kedua, ini ada perbedaan kualitatif, Suatu perbedaan yang mendasar. Pada masa pembangunan jangka panjang tahap kedua nanti, kita diharuskan mengembangkan lembaga-lembaga agar mampu membuat Indonesia ini berkompetisi munafasah istimbat fil khair dengan negara-negara lain. Daya saing kita harus muncul, Kreativítas kita harus ditampilkan seluas-luasnya. Berarti diperlukan pengembangan sumber daya manusia. Kemampuan manusia untuk maju. Itulah yang dinamakan sumberdaya manusia. Ini harus didorong sekuat-kuatnya agar bisa menyamai orang lain.

Jadi, di sini kewajiban NU bersifat strategis, maka hubungannya juga strategis. Kalau bapak-bapak ada yang di Golkar, masuk dalam kepengurusan, atau di PPP juga sebagai pengurus, atau di PDI, maka berbuatlah sebaik mungkin memberikan sumbangan dari arah pikiran NU kepada masalah-masalah negeri kita. Tentu cakupannya berbeda dari daerah ke daerah, maupun level daerah dan pusat, tetapi pada hakikatnya semuanya sama. Apa yang sudah standar dalam qaidah fiqih kita, adalah maslahatur raiyyah. Maslahatur raiyyah adalah kunci dari segala tindakan NU. Kalau itu kita pegang teguh, maka kita bakal bisa bergaul secara strategis dengan pihak manapun, dengan tidak usah terlalu menghiraukan aspek-aspek taktis.

Terus terang, saya ini orang yang paling tidak pernah ambil pusing dengan hal-hal yang bersifat taktis itu. Tiap tahun diundang perayaan 17 Agustus di Istana. Bagi saya semua itu soal taktis saja. Tapi itu baik-baik saja kita pelihara, asal tetap mengutamakan hubungan strategis kita. Sebab soal strategis itu merupakan inti peran NU dalam kehidupan bangsa dan negara. Kita tengah mengalami perpindahan dari satu masa pembangunan ke masa berikutnya. Kadang-kadang pelaksanaan hubungan strategis itu tidak gampang. Salah satu pihak dalam hubungan strategis bisa sulit dalam beberapa hal. Kalau pemerintah lupa kepada kontrol sosial, kita harus menciptakan. Kalau pemerintah terlalu kaku, kitalah yang meluweskan. Soal yang luwes-luwes sini bagiannya Pak Imron. Termasuk rais-rais Syuriyah yang kaku itu. Biasanya kekakuan itu disebabkan oleh kurangnya informasi yang diperoleh. Dan yang harus dipahami sifat kaku itu pada dasarnya hati-hati. Jadi kita harus mampu membina hubungan-hubungan strategis itu agar membawa manfaat dan bisa dirasakan oleh masyarakat paling bawah. Itu menurut saya paling pokok. Pekerjaan kita untuk 5 tahun mendatang, soal itu. Mudah-mudahan nanti pada Muktamar akan datang kita bisa menjabarkannya. Saat ini saya sudah meminta kepada sejumlah kawan di PB NU untuk menggarap ulang sumbangan pemikiran NU tentang Pembangunan Jangka Panjang Tahap II (PJPT II) hasil Munas & Kobes Lampung. Ini kita kembangkan lebih jauh, sambil kita melihat masukan-masukan dari Orpol dan dengan terlbih dulu melihat teks dari Pak Harto. Insyallah beberapa saat lagi kita akan mendapatkannya, walaupun tidak resmi dari Kepala Negara itu.

Alhamdulillah, di lingkungan NU terdapat beberapa kelompok pemikir Pusat Studi Pengembangan Ekonomi (PUSPEK). Ada juga Lembaga Ekonomi yang baru diusulkan kepengurusannya. Di sana ada orang macam-macam. Bahkan kalau Sri Bintang Pamungkas mau ya kita ajak. Sebab PPP itu belum ada wakilnya. Kita ini butuh ekonom, pemikir ekonomi makro. Bahkan dia itu pernah saya panggil ke kantor PB NU. Sebab kalau ngomong dia itu kadang-kadang ngeslong. Saya mengingatkannya supaya lebih luwes. Tidak seperti Masyumi dulu semua orang dimusuhi. Dan saya tidak masalah apakah dia orang NU atau bukan NU. Pokoknya mau kasih pikiran kepada NU. Seperti Priyono Cipto Haryanto di PUSPEK itu, adalah ketua Kompartemen Pembangunan dalam DPP Golkar. Ada Pak Riyanto konsultan 26 Bank, yang dulu dari Bank Indonesia. Pak Sutjipto Wirosarjono dari Biro Statistik dan Lingkungan Hidup. Rekrutmen itu akan terus kita lakukan, terhadap siapa saja yang bisa bermanfaat.

Masukan dari mana-mana itu nanti akan kita godok dalam NU. Sebab kita tahu, dengan Pak Harto ngupas konsep GBHN kepada OPP, berarti nanti agak ruwet. Badan Pekerja MPR sekarang lebih dinamis dari pada yang kemarin, Bahasa kasarnya nanti itu lebih gegeran. NU nanti juga harus sudah siap memberikan jalan pemecahan yang terbaik, manakala nanti diperlukan. Sebagai contoh Rapat Akbar. Adalah suatu penegasan dari NU bagi umatnya agar tidak terseret ke dalam kancah politik praktis. Nggak usah dukung ini dukung itu. Percuma. Lebih baik kita konsentrasi mendukung UUD 45 dan Pancasila. Yang berarti mendukung suksesi secara konstitusional. Titik. Yang paling penting konstitusinya dulu. Bukan kebalikannya. Dan hasilnya memang menyejukkan. Dalam Pemilu 1992 iniorang NUaman, bisa kemana-mana.

Makanya kalau kita ingin damai ajaklah orang NU. Kalau semua pihak saling menghormati, maka negara ini insyaallah aman dan tentrem. Tapi kalau diajak gegeran soal Naro maka negara juga katut goyang. Dan alhamdulillah sekarang semua sudah mengerti. Menurut saya itu soal taktis. Ada doa bersama, kebulatan tekad danmacam-macam. Itu ya boleh-boleh saja. Cuma kenapa repot soal taktis? Kalau Pak Harto yang maju ya itu adalah soal taktis. Strateginya adalah pembangunan itu.

Maka, sebaiknya setelah pemilu ini kita mempersiapkan diri untuk menyalurkan aspirasi kita di mana mungkin. Baik itu diorpol maupundi NU sendiri. Bahkan yang cukup kesatria adalah Bapak Kiai Maimun Zuber yang mengundurkan diri dari jabatan Rais Syuriyah karena menjadi caleg. Itulah contoh kebesaran jiwa seorang mukhlis kepada NU.

Di samping itu, hubungan-hubungan kita keluar, sifatnya harus strategis. Contohnya dengan ABRI itu tadi. Maka langkah-langkah strategislah yang menjadi pertimbangan kita, bukan langkah taktis.

Kalau kita mampu melaksanakannya berarti kita termasuk ahlil ilmi. Kita tidak ingin kamatsalil himari yahmilu asfaraa. Tetapi yang kita tuju adalah yarfaillahul ladzina aamanuu minkum wal ladzina uutul ilma darajaat Maka seluruh warga NU berkewajiban untuk memberikan sumbangan kepada Sidang Umum nanti. Paling tidak membacakan fatihah bagi mereka yang tidak mampu menyumbangkan pikiran, karena keterbatasan keilmuannya. Kita akan sampai kepada rumusan-rumusan seperti kita menerima Asas Pancasila itu. Maka sekarang kita mempersiapkan diri bekerja lil maslahatir raiyah.

Pekerjaan itu insyallah bisa kita lakukan. Sebab ketika merumuskan Pancasila dulu menjelang kemerdekaan, KH Wahid Hasyim pernah dipasrahi Bung Karno untuk menemukan prinsip-prinsip penting. Maka KH Wahid Hasyim mengundang para Kiai. Dan ketemulah prinsip-prinsip yang dikehendaki itu. Sayang sejarah itu tidak didukung oleh bukti tertulis. Kecuali saya mendengarnya sendiri dari berbagai banyak orang, seperti KH Masykur yang juga anggota BPUPKI dan ikut kumpul di Tebuireng, membicarakan prinsip-prinsip yang menopang berdirinya negara kita.