Mahbub dan Bani Sadr
Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid
BAYANGKAN kalau Mahbub Djunaedi menjadi presiden. Sudah tentu lebih menarik daripada Aboulhassan Bani Sadr, itu bekas presiden Iran yang sekarang tidak diketahui jejaknya. Mengapa tidak dapat dibayangkan terjadinya hal itu? Mereka sama-sama kolumnis, sama-sama orang koran tulen, yang koran masing-masing juga sama-sama ditutup pemerintah. Yang berbeda yang menutup: kalau korannya Bani Sadr ditutup pemerintah theokratis dari para mullah Iran, maka korannya Djunaedi (dikenal dengan nama Duta Masyarakat semasa masih terbit) ditutup justru oleh pemerintah yang ketakutan kepada theokrasi. Kalau dibiarkan hidup terus mungkin juga sama-sama kecil jumlah oplahnya, entah di mana gerangan kesalahan pengaturannya.
Jelas Mahbub akan lebih menarik sebagai presiden. Tidak seperti Bani Sadr, yang selalu kelihatan murung, tidak pernah tampak tersenyum. Bagaikan orang kehilangan sepatu setelah sembahyang di masjid. Mau marah, takut kehilangan pahala yang diperoleh dari salatnya, karena marah setelah sembahyang pertanda kurang ikhlasnya beribadat. Mau protes, kepada siapa harus ditujukan? Apalagi masjid di Iran, yang sudah tentu dikelola para mullah yang menjadi musuhnya. Mana mau mereka mencarikan sepatunya yang hilang? Mau bersedih secara mendalam, tidak pantas kalau seorang presiden begitu sedih hanya karena kehilangan sepatu. Walaupun tidak pantas juga seorang presiden pulang dari masjid tidak beralas kaki!
Mahbub orang periang, banyak cerita dan gaya berceritanya kocak. Penuh optimisme, walaupun setahun terakhir ini orang cukup bingung melihat sarkasme tulisan-tulisannya, seolah-olah kolumnis yang satu ini lagi krisis kepercayaan diri. Sebagai presiden ia boleh tidak usah kehilangan optimisme, selama ia belum tahu betapa besar tanggungjawab yang harus dipikul oleh jabatan tersebut. Apalagi latar belakangnya cukup memberikan modal kuat untuk tetap optimistis selalu.
Walaupun sama-sama anak ulama seperti Bani Sadr, ayah Mahbub adalah ulama model kiai Betawi. Tidak seperti Bani Sadr yang anak ulama model mullah Iran. Kiai Betawi tidak mewarisi keharusan dan tradisi mati syahid, seperti para mullah di Iran. Bukankah tradisi kesyahidan (martyrdom) itu yang justru membuat para pemikir Iran selalu menunjukkan wajah pesimistis? Walaupun karena itu mereka juga menjadi lebih realistis dan mengetahui setepatnya apa yang harus diperbuat menghadapi lawan yang kejam dan tidak kenal kasihan.
Di samping itu, Mahbub juga mendapat warisan lain dari jurusan Tanahabang juga: tradisi berhikayat model almarhum Pak Zahid, itu tukang cerita Betawi yang kuat menceritakan dongeng-dongeng kocak semalam suntuk. Tidak heran kalau gaya Mahbub adalah gaya warisan ulama yang berhati lapang. sikap hidup yang serba optimistis, dan mampu berkomunikasi secara mudah dengan orang lain melalui gaya kocak. Kalau kolumnis ini ditakdirkan menjadi presiden, seperti kolumnis Bani Sadr, cukup riang dunia dibuatnya, dan agak ringan terasa beban hidup bagi sebagian besar di antara kita ‘anak-anak sebuah bangsa’ (menggunakan kebalikan judul bukunya Pram yang dilarang).
Masalahnya adalah sebagai berikut: bagaimanakah reaksinya jika dikepung para mullah, seperti Bani Sadr? Secara teoretis, tidak mungkin para kiai kita akan bertindak seperti kaum mullah yang menuntut darah Bani Sadr di Iran. Tapi andaikan Mahbub menjadi presiden Iran, seperti Bani Sadr, bagaimanakah ia akan memecahkan masalah di atas?
Rasa-rasanya akan sama saja, yaitu lari menyembunyikan diri. Hanya saja belum tentu Mahbub akan seberhasil Bani Sadr menyembunyikan diri. Gaya kocaknya akan segera mengundang perhatian orang kepada Mahbub, dan segeralah ia akan diketahui oleh para pelacak jejaknya.
Tidak seperti Bani Sadr, yang pendiam, dan tampak mudah menyembunyikan diri. Bukan karena dengan dicukur kumisnya ia segera sulit dikenali, melainkan karena ia mampu membaca Quran di masjid Hamadan, tempat kelahiran ayahnya, yang menjadi ayatullah terkemuka di sana semasa hidupnya. Karena Bani Sadr dapat menyulap diri menjadi ‘santri pesantren’ dengan mudah, sebagai buah jerih payah menjalani latihan keagamaan sangat keras sejak kecil. Dapatkah dibayangkan Mahbub meng-khatam-kan kitab suci orang Islam itu di masjid Tanahabang? Apa lagi di Hamadan.
Di sinilah terhenti deretan persamaan antara Mahbub dan Bani Sadr. Bagaimanapun, Bani Sadr adalah salah seorang agamawan, walaupun dalam baju kehidupan modern. la dapat kembali ke pangkalan, mencari perlindungan dari kaum kerabatnya dan para pengikut mullah-mullah yang masih waras di berbagai kota Iran.
Bukankah hanya Ayatullah Khomeini dari keenam ayatullah terkemuka yang menyokong partai theokratisnya mendiang Ayatullah (tingkat menengah) Behesti? Bukankah hanya tujuh ribu orang dari hampir sembilan puluh ribu mullah Iran menyokong Partai Republik Islam? Bukankah Bani Sadr dapat memulai perjuangan baru, baik bersenjata maupun tidak, menentang rejim mullah di Teheran? Bukankah para mullah moderat yang di luar pendukung PRI dapat dibina untuk berkoalisi dengan kaum nasional demokrat seperti Bzargan, Gobtzadeh dan Yazidi?
Kalaupun sulit dibuat koalisi baru seperti itu, Bani Sadr dapat juga memulai koalisi dengan golongan-golongan kiri. baik yang komunis maupun nonkomunis. Feadyeen-e-Khalq dan Mujahedin-e-Khalq, plus kelompok-kelompok minoritas kultural, etnis dan agama yang sekarang ditekan habis-habisan oleh pemerintahan para mullah di Teheran. Tinggal adu kuat dan adu panjang umur dengan Ayatullah Khomeini. Kalau Bani Sadr meninggal terlebih dulu, kaum kiri akan memimpin perjuangan menentang pemerintahan para mullah itu. Kalau Khomeini meninggal terlebih dulu, jelas sulit Bani Sadr ditandingi oleh siapa pun.
Tetapi perhitungan di atas mengandaikan satu hal: kalau Bani Sadr mampu menghimpun kekuatan, punya selera menjadi pejuang organisator dan bukannya hanya pemikir saja, dan memang berkeinginan menentang secara tuntas dan konsekuen apa yang dirumuskannya sebagai ‘tirani para mullah’. Dalam hal ini, jelas ia berbeda dari Mahbub, yang konon di minta mencalonkan diri menjadi anggota DPR saja pun tidak mau. Apalagi memimpin perjuangan politik yang menggunakan perlawanan bersenjata, kalau perlu.
Sebuah pengandaian yang masih harus dikaji kelaikannya, seperti kapal terbang yang akan diberangkatkan. Kalau memang Bani Sadr tidak berniat memimpin perjuangan terorganisasi dengan jalan menciptakan struktur tandingan untuk melawan pemerintah yang ada, ia akan kembali menjadi sama dengan Mahbub: menganjurkan saja, tidak lebih dari itu. Orang lain sajalah yang memimpin perjuangan seperti itu, kami berdua kan cuma kolumnis saja. Dalam bahasa sopannya, menjadi moral force, tidak lebih dari itu.
Sekali-sekali diselingi protes, kolom ditulis secara kocak (dalam hal tulisan Mahbub) atau serius (dalam gaya Bani Sadr), kesemua pemikiran yang disuguhkan diharapkan akan menggugah semangat orang untuk berjuang menegakkan demokrasi yang murni dan keadilan yang tuntas.