Malaikat, Bolehkah Divisualisasikan?
Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid
MALAIKAT dari dulu memang merupakan makhluq yang sulit dipahami, apalagi digambarkan. Dalam definisi para ahli agama, ia juga hanya digambarkan sebagai makhluq dari cahaya, yang tidak dapat berbuat kesalahan. Kita tahu, malaikat bukan terdiri dari sinar laser, walaupun definisinya hampir sama. Bedanya, sinar laser tidak memiliki otonomi dirinya sendiri. Karena itu, tidak berkemampuan menjadi subyek dari sesuatu perbuatan.
Berbeda dengan malaikat. la bebas bertindak dan mampu menentukan kegiatannya sendiri. Ada yang tukang betot nyawa orang, ada pula yang kerjanya memintakan pengampunan bagi orang kepada Allah. Malaikat bagian penghubung dengan nabi-nabi juga ada, yaitu Jibril. Bagian mencatat kesalahan orang juga ada. Dan begitu seterusnya
Nah, makhluq yang sulit didefinisikan itu ternyata akan didefinisikan. Seperti biasa, lalu ributlah para ulama. Ada yang pro dan ada yang menentang. Bagi pembuat film penggambaran proses penciptaan alam dalam enam hari mau tidak mau menyangkut juga penggambaran penciptaan malaikat. Dan nantinya, dari kalangan mereka itu karena ada yang digambarkan berubah. Menjadi iblis yang memuntahkan api dari mulutnya.
Penulis ditanya orang, bagaimana pandangan atas visualisasi malaikat itu. Kalau soal materi visualisasinya, sebenarnya tidak ada masalah. Siapa pun tahu, gambar malaikat bukanlah malaikat sesungguhnya. Yang paling bodoh sekalipun akan mengerti masalah itu. Kalau sampai ada yang menyembah gambar malaikat, sebenarnya karena orang itu siap menyembah benda apapun. Masih animistik.
Tetapi, masalah visualisasi malaikat ternyata bukan sekedar masalah hukum agama semata-mata, melainkan kesiapan hati kita untuk menerimanya. Dan dilihat dari ributnya reaksi, jelas kita sebagai ummat di Indonesia belum siap untuk menerima visualisasi malaikat.