Masalah Penegakan Hukum Adalah Masalah Bangsa

Sumber Foto: https://fahum.umsu.ac.id/unsur-unsur-hukum-indonesia/

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

prof. Dr. Moh. Mahfud MD, S.H., SU, adalah seorang anak bangsa Prof Indonesia. Karenanya, kita tidak perlu heran membaca tulisan-tulisannya yang tersebar di berbagai media dari waktu ke waktu. Sebuah hal yang secara nyata tergambar dari tulisan-tulisan itu, ia memiliki perhatian sangat dalam tentang masa depan bangsa kita. Oleh karena itu, kita tidak perlu heran jika perhatiannya terbagi pada begitu banyak bidang Ini saja sudah menunjukkan bahwa profesor kita itu adalah pribadi yang mau tidak mau harus kita lihat sebagai tokoh parpol, dalam hal ini tokoh Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Kalau orang seperti itu “tidak memukau” karena perhatiannya, juga tidak selamanya berada di sebuah bidang, sudah tentu kita juga tidak benar jika menuntut dari pribadinya hal-hal yang tidak memiliki intelektualitas mendalam. Umpamanya saja, intelektualitas yang mendukung ungkapan Mpu Tantular dari Majapahit sekitar tujuh abad yang lalu, yang menghasilkan ungkapan yang sekarang begitu terkenal dalam kehidupan kita sebagai bangsa Bhinneka Tunggal Ika, atau ungkapan fiqh:

Tasharruf al-imaam alaa ar-ro’iyyah maanuutun bi al-mashlahah.”

“(Tindakan seorang pemimpin yang terkait dengan pengikut-pengikutnya, haruslah langsung terkait dengan kesejahteraan mereka)”

Profesor kita ini lebih tepat menjadi ahli fiqh dan bukannya apa yang digambarkan dalam buku-buku fiqh itu.

Karena profesor kita itu bukanlah orang yang dapat “diikat” pada sebuah bidang saja, dengan sendirinya perhatiannya yang terbagi-bagi ke dalam delapan bidang itu, akhirnya menghasilkan segugusan pandangan mengenai keadaan bangsa dewasa ini. Karena ia bermula dari bidang hukum, maka kita juga tidak perlu heran jika kita melihatnya menyesali apa yang terjadi dalam bidang tersebut dewasa ini. Bahwa kita membaca dari tulisan-tulisannya, betapa ia menyesali dunia peradilan dewasa ini, yang dipenuhi dengan berita-berita tentang “mafia peradilan”. Bagaimana dengan keadaan dunia peradilan seperti itu, kita dapat mengharapkan tegaknya hukum nasional yang diperlukan bagi perkembangan kita sebagai bangsa yang besar dan kuat? Tanpa menjawab pertanyaan kita itu, Mahfud MD kemudian mencari apa saja yang dalam pandangannya patut menjadi sebab-sebab dari keadaan itu Dalam kesimpulan yang dicapainya, ia kemudian sampai pada kenyataan bahwa kalangan hukum yang melanggar ketentuan undang-undang, bebas melakukan hal itu karena tidak akan ada tindakan apa pun dari para politisi dan birokrat-birokrat pemerintahan. Bahkan, mereka bersama-sama melahirkan sejumlah peraturan atau penafsiran-penafsiran atas produk-produk tersebut. Dengan demikian, lengkaplah sudah “konspirasi” dari berbagai pihak yang akan mencegah pertumbuhan hukum nasional yang kita perlukan.

Marilah kita periksa, apa yang sebenarnya terjadi dengan hukum nasional kita itu dan pelaksanaan-pelaksanaannya di lapangan. Kalau dimaksudkan dengan kata “tidak berjalannya” produk hukum, kita lihat terletak pada kenyataan hukum tidak berjalan sebagaimana mestinya, seluruh bangsa menjadi korban dan sekaligus penyebab dari adanya hal itu. Akan kita teruskankah hal itu? Namun, kita terjerembab pada kenyataan bahwa cara lain tidak akan mungkin berhasil. Jadi, dengan ungkapan lain kita sampai pada kesimpulan bahwa “krisis hukum” dalam kehidupan kita sebagai bangsa akan berlangsung sangat lama. Sementara itu, para pengamat hukum kita akan sengaja “membius diri” dalam berbagai kegiatan menulis buku, mengajar, dan berdebat dalam berbagai forum, semuanya tanpa membawa akibat perubahan-perubahan yang kita perlukan. Lalu, kita semua dapat berpuas diri dengan pernyataan yang seperti itulah perkembangan hukum nasional kita dewasa ini. Dengan demikian, memang benarlah apa yang dikatakan orang: “Pembunuh hukum nasional kita adalah keadaan kita sendiri.”

Yang jarang disadari orang adalah kenyataan bahwa keadaan hukum nasional, seperti yang digambarkan di atas, hanyalah akibat belaka dari sesuatu yang lain. Jadi, keadaan hukum nasional yang centang-perenang tersebut bukanlah sebab, melainkan akibat dari sesuatu perkembangan yang lain, yaitu keputusan-keputusan politik yang salah sama sekali. Pertama, ketika kabinet Hatta pada tahun 1950 memutuskan untuk menetapkan gaji pegawai yang tidak realistis dan sangat rendah. Hal ini pada akhirnya membuat pegawai negeri kita memasuki dunia korupsi. Hal itu dibiarkan saja hingga hari ini dan dengan sendirinya, budaya korupsi menjadi bagian tak terelakan dari sistem hukum kita. Karena itulah, kedaulatan hukum tidak ada, semua peraturan bisa saja tidak dilaksanakan tanpa akibat apa-apa, karenanya kerancuan menjadi bagian tidak terpisahkan dari kehidupan kita. Pertimbangan-pertimbangan politik berjangka pendek menjadi sesuatu yang terjadi sehari-hari. Contohnya, seorang yang seluruh pendapatnya berbau keinginan mendirikan negara Islam, dijadikan penasihat presiden saat ini. Lalu, bagaimana negara kita akan memelihara bagian sangat penting dari kerja Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 18 Agustus 1945, yang menghapuskan Piagam Jakarta dan mengesahkan negara Pancasila? Ini adalah pertanyaan serius yang tidak pernah direspons oleh para pemimpin kita sehingga bangsa kita secara keseluruhan dibuat tidak memahami keputusan-keputusan penting pada saat ini.

Prof. Mahfud MD, dengan caranya sendiri telah menunjukkan kepada kita bahwa hukum kita memang benar-benar tidak berjalan sebagai sistem. Kalau demikian, lalu menjadi apakah ia pada saat ini? Jawabnya mudah saja, yaitu memang hukum nasional kita tidak berjalan sebagai sebuah sistem, tetapi sebagai sejumlah subsistem, dengan masing-masing pihak dari Dewan Perwakilan Rakyat hingga pihak eksekutif. Karena masing-masing pihak bergerak sebagai subsistem, yang dipilihnyalah yang benar dan tidak mau mengakui “kebenaran pihak lain”.

Lalu, bagaimana dapat dibuat kebijakan nasional yang utuh dan bulat, yang menjadi syarat bagi adanya sebuah negara modern? Itu pun kalau dilihat dasar-dasarnya, akan segera tampak bahwa sedikit sekali hal-hal substansial yang telah diselesaikan. Dengan demikian, hal-hal yang bersifat rutinitas belaka yang ditarik ke atas permukaan, sedangkan hal-hal lain yang lebih mendasar seperti dilupakan saja. Contohnya, undang-undang dasar kita. Kalau dilihat, secara prosedural ia tidak memenuhi ketentuan yang ada dalam undang-undang dasar itu sendiri, kemelut dasar-dasar negara benar-benar telah menghinggapi kehidupan konstitusi kita saat ini. Usul agar UUD 1945 secara sementara diakui sebagai instrumen dasar negara kita saat ini, tidak pernah ditolak dan tidak pernah diterima, minimal oleh pemerintah sah yang ada. Sedangkan keinginan Prof. Dr. Amien Rais tentang otonomi daerah dan ditiadakannya dominasi ibu kota (Jakarta Sentris), juga tidak pernah mendapatkan respons yang benar. Herankah kita jika kemelut itu lalu menyebabkan kemelut-kemelut lain karena tidak pernah dicoba untuk mencari penyelesaian rasional?

Sementara itu, keputusan-keputusan pemerintah di berbagai bidang sering mengakibatkan kegaduhan interpretasi, seperti terjadi pada sikap Republik Indonesia yang mendukung keputusan Dewan Keamanan PBB tentang Timur Tengah baru-baru ini. Sikap pemerintah itu akhirnya menciptakan keonaran sendiri yang juga tidak mencapai derajat penerimaan atau penolakan yang cukup besar. Bagaimanakah menghubungkan penerimaan itu dengan kenyataan bahwa memang benar ada semacam pendapat bahwa Israel dan Amerika Serikat terlalu “memaksakan kehendak dalam percaturan politik internasional, tetapi dapatkah sikap itu diambil dengan semacam “ancaman tetap bagi negara Israel yang sudah jelas diterima keanggotaannya di lingkungan PBB? Inilah kebalauan keadaan di lingkungan PBB yang kita rasakan sekarang, yang akan dijadikan alasan untuk dapat menerima situasi seperti sekarang