Mau Dirawat Di Mana?

Sumber Foto: https://www.beritasatu.com/news/456475/ini-doa-dan-harapan-komisi-i-untuk-tni

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

Ketika jatuh sakit baru-baru ini, penulis dibawa oleh Tim Dokter Kepresidenan ke Paviliun Kartika, Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) di jalan Kwini, Jakarta-Pusat. Beberapa hari sebelumnya tokoh nasional DR. Roeslan Abdulgani wafat di tempat itu. Begitu juga Jenderal Besar Nasution pernah dirawat juga di sana, kemudian Jenderal TNI Benny Moerdani. Selama berhari-hari penulis dirawat di tempat itu, pada hari ke empat seorang teman datang menjenguk dan bertanya kepada penulis; kenapa mau dirawat di sini (RSPAD)? Penulis balik bertanya: memang apa salahnya? Sepanjang yang penulis alami, peralatan di RSPAD baik dan kondisi rumah sakitnya juga baik. Walhasil, penulis tidak melihat kesalahan dirawat di tempat itu. Itulah argumentasi yang disampaikan penulis.

Di sini kenyataan berhadapan dengan reputasi, yaitu reputasi kaum militer di negeri kita. Kaum militer adalah bentukan bangsa kita dalam mendirikan negara. Pernah ia dicintai oleh seluruh bangsa karena peranannya dalam mempertahankan kemerdekaan. Tentara Rakyat Indonesia (TRI), menyusul setelah berdirinya Badan Keamanan Rakyat (BKR) membuat tentara kita dicintai oleh seluruh bangsa. Namun ketika menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI), mulai ada yang menyalahgunakan profesi ketentaraan kita. Apalagi ketika pecah pemberontakan yang diorganisir oleh orang-orang komunis tahun 1948 di Madiun dan sekitarnya, lalu pecah pemberontakan DI/TII di tahun 1949. Akibatnya adalah pembunuhan besar-besaran atas sebagian orang-orang tidak bersalah. Sampai hari ini pendapat resmi itu belum pernah dicabut.

Setelah itu, terjadi beberapa pemberontakan senjata di berbagai daerah. Pemberontakan Kahar Muzakkar di Sulawesi Selatan, Ibnu Hajar di Kalimantan Selatan, Dr. Soumokil dengan Republik Maluku Selatan dan pemberontakan Aceh yang dipimpin Daud Beureuh. Setelah deretan pemberontakan di atas, yang baru selesai ‘ditangani’ oleh TNI kita akhir-akhir tahun lima puluhan, terjadi ‘pemberontakan komunis’ besar-besaran di tahun 1965-1966, hal ini disusul oleh pemerintahan militer, yang kemudian dikenal sebagai pemerintahan Orde Baru. Karena saling susul menyusul, mau tidak mau seluruh bangsa akhirnya memandang pemerintahan militer memang berdiri di negeri ini selama lebih dari separuh umur republik ini.

Akhirnya, warga bangsa yang tidak berpikir jauh menganggap ‘kebiasaan’ yang dilakukan oleh kaum militer dalam pemerintahan kita sebagai memang ‘kebiasaan militer’. Hal itu tidak begitu dirasakan orang , lain halnya dengan mereka yang merasa bahwa manusia memiliki hak-hak asasi yang tidak dapat ditawar-tawar lagi apapun alasannya. Tindakan yang diambil tapi merugikan hak-hak tersebut, dianggap sebagai pelanggaran. Akhirnya, mereka melihat hak asasi manusia adalah hak satu-satunya yang harus dipertahankan dan tidak terganggu oleh siapapun. Dalam hal ini, pandangan tersebut sejalan dengan anggapan sementara organisasi Hak Asasi Manusia (HAM) di negeri-negeri Barat. Setiap pelanggaran akan ditentang oleh kaum pejuang HAM. Maka tidak terhindarkanlah pertentangan antara mereka dan kaum militer.

Demikianlah situasi yang berkembang di negeri kita saat ini. Dari contoh tentang RSPAD seperti digambarkan di atas, jelaslah bahwa terjadi pertentangan dua arah berlainan yang benar-benar merugikan kita sebagai bangsa. Di satu pihak, kaum militer dan yang tunduk kepada mereka, menganggap ada orang yang ‘rewel’ dan berjuang untuk kepentingan yang sempit, kalau perlu dengan mengorbankan kepentingan bangsa. Mereka itu adalah kaum pejuang HAM, sering disebut kaum ‘negara sipil’ (civil state). Mereka dianggap membela kepentingan individu dengan melupakan ‘kepentingan umum’. Di sisi lain, terdapat kaum militer dan para pengikut mereka, yang menganggap hak-hak masyarakat jauh lebih berharga dari hak-hak sipil itu. Persoalannya adalah, kedua pandangan tersebut memaksakan kehendaknya pada masyarakat, dan terlibat dalam pertentangan tersembunyi yang sangat merugikan bagi perkembangan bangsa dan negara secara keseluruhan.

Sudah tentu pertentangan seperti itu harus diakhiri, kalau kita tidak ingin ia meracuni seluruh hubungan antara anak-anak bangsa. Kita harus mampu membedakan mana tentara yang berjiwa militeristik, yang tidak bersedia menerima kritikan sama sekali. Tapi kita juga melihat adanya Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang mengganggap diri sendiri saja yang benar, dan selalu menunjuk kepada “bahaya militer” di mana-mana. Mereka lalu tidak melihat bahwa di kalangan militer pun ada yang berwatak demokratis. Nah, kematangan jiwa yang harus dimiliki tergantung pada adanya pihak ketiga yang tidak bersedia menerima “kebenaran” dari satu sisi saja. Sikap menganggap kaum militer selalu besalah secara institusional/kelembagaan, adalah sikap yang ‘mau benarnya’ sendiri saja. Pemahaman secara benar dari keadaan kita adalah penyelesaian terbaik.

Dalam novel “From Here to Eternity” disajikan gejolak jiwa seorang Sersan Angkatan Darat AS, menjelang serangan mendadak Jepang atas Pearl Harbor di Hawaii pada tanggal 7 Desember 1942. Dalam novel itu dilukiskan kegundahan hati sang Sersan yang harus hidup dalam susunan masyarakat militer di pangkalan militer itu, terjepit antara anak buah dan atasan, juga antara pihak militer dan pihak sipil. Kemudian di filmkan dengan cermat dan brilliant tentang kejemuan hidup dari itu ke itu saja dalam sebuah kamp militer, dengan permainan kawakan Burt Lancaster dan Deborah Kerr. Dari situ kita dapat melihat bahwa di balik ketenangan dan kepastian cara hidup militer, terasa ada sesuatu yang kosong. Hal inilah yang sebenarnya merupakan masalah. Bagaimana kejenuhan hidup tidak sampai mengganggu ketenangan yang ada.

Masalah inilah yang sebenarnya merupakan masalah utama dalam kehidupan seorang prajurit yang serba rutin. Ini pulalah yang menjadi persoalan pokok bagi mereka yang mengatur kehidupan para serdadu kita. Setelah begitu lama prajurit dan perwira kita dibiarkan “bermain-main” dalam kehidupan masyarakat. Apalagi masyarakatnya justru sering minta bantuan campur tangan dari pihak militer. Hal yang seharusnya dicegah, ini ternyata berjalan sangat meluas, sehingga untuk kembali kepada kehidupan umum yang membuat kaum militer hanya bergerak dalam kerangka tertentu bukanlah kerja yang mudah. Kesemuanya itu memerlukan kesabaran untuk mengendalikannya dengan tenang dan teratur, tanpa gejolak apapun.

Penulis bukanlah seorang militer, tetapi seumur hidupnya ia menyaksikan para paman dan saudara sepupu (serta ipar) dari kalangan militer, tetapi ia juga bergaul dengan mereka yang benar-benar menghormati pemerintahan sipil. Ipar penulis sendiri seorang bekas tentara, sudah lama berhasil menjadikan dirinya sendiri sebagai seorang sipil. Penulis menyaksikan sendiri mereka yang memandang rendah kaum sipil, tapi yang jelas ia menyaksikan sendiri kemelut psikologis/kejiwaan dari mereka yang ingin kembali ke jalan normal, yaitu menjadi tentara yang taat kepada acuan politik serba demokratis. Jadi penulis tidak melihat alasan untuk kita takut kepada lembaga bernama kaum militer, tetapi juga tidak bersikap terus menerus curiga kepada sikap mereka. Ini adalah sikap melestarikan dan membuang, yang biasa dilakukan orang, dalam sejarah manusia, bukan?