Mbah Muntaha dan Tradisi Kiai¹

Sumber foto: https://www.sidoarjokini.com/news/1432751089/kh-muntaha-alhafiz-alquran-berjalan-dari-kaki-gunung-bismo-kalibeber?page=2

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

Saya senang berada di sini, karena tempat ini kawasan persinggahan. Kalau kesel ngalor-ngidul, saya akan mampir ke tempat Mbah Muntaha untuk mencari obat. Karena obatnya sangat berharga maka tidur di tikar aja tidak apa-apa. Lebih dari itu, Mbah Muntaha merupakan perwujudan dari “tradisi yang sangat besar”.

Saya ambil contoh pada tahun 1979, saya pergi ke Maroko. Di masjid, saya mendapati sebuah buku berbahasa Arab. Buku itu adalah sebuah buku etika karya Aristoteles-atau dalam Bahasa Arab, al-akhlâq–yang berada di sebuah bejana kaca hampa udara supaya bisa tahan (awet) karena kitab itu sudah ada sejak permulaan Islam.

Saya menangisi bejana kecil itu. Lalu, saya ditanya imam masjid itu, “Kenapa kamu menangis?” Saya bilang, “Kalau bukan karena buku ini, saya tidak akan jadi muslim.”

Artinya apa cerita ini? Artinya, akhlaknya para kiai dan agama kita, tidak hanya diambilkan dari tradisi Arab saja, tetapi juga diambil dari tradisi sebelumnya. Sebab, Aristoteles itu lahir 1.200 tahun sebelum Islam. Kalau tidak karena kitab ini, saya tidak akan jadi seorang muslim. Ini (yang ke-) satu.

Kedua, saya sering ditanya seseorang, apa bedanya Islam di Indonesia dengan Islam di negara lain? Islamnya sih sama. Akan tetapi, perwujudannya atau manifestasinya itu lain-lain.

Yang membedakan adalah adanya tradisi keulamaan yang diambil dari Sultan Hadiwijaya atau Jaka Tingkir2, yaitu tradisi LSM, yang bergerak di luar pemerintahan, atau –dalam istilah Dr. Taufik Abdullah– Tradisi Multi Kratonik. Ada kraton pusat yang menangani satu tata nilai, tetapi tidak mematikan tata nilai yang ada di pondok pesantren, di padepokan kejawen, di pasturan. Dengan kata lain, ini adalah ungkapan dari apa yang kita miliki bersama sebagai bangsa. Ini menjadi inti dari keputusan Muktamar NU tahun 1935–sepuluh tahun sebelum kita merdeka–di Banjarmasin: “Kaum muslimin di Indonesia wajib mempertahankan Kerajaan Hindia Belanda yang waktu itu dikuasai orang-orang non-muslim, karena mayoritas penduduknya menjalankan ajaran agama sesuai dengan keyakinan dan cara masing-masing.”

Kedua tradisi ini ditambah dengan tradisi lain, yang saya ambil dari al-Khalil Ibnu al-Farabi, yang mengarang kitab Qamus al-‘Ain, kamus pertama dalam Bahasa Arab. Apakah tradisi Ibnu al-Farabi? Beliau, sebagaimana Mbah Muntaha, hafal Al-Qur’an dan khatam setiap dua hari sekali. Tiap menjumpai nama Rasulullah disebutkan, beliau menangis. Beliau menggunakan kategorisasi yang juga dikenal dalam filsafat Yunani kuno. Ini lho ulama. Para ulama memang memiliki tradisi: “tidak pernah menolak unsur-unsur yang baik dari mana pun”. Dan sebaliknya, meninggalkan yang buruk dimulai dari diri sendiri. Ini yang penting.

Oleh karena itu, di Indonesia Islam berkembang dengan baik, tanpa harus melalui bermacam-macam kendala. Sedangkan sekarang terpampang di hadapan kita, adanya bahaya kalau agama dijadikan alat politik untuk mencapai sesuatu sehingga seperti terjadi di Maluku: muncul kerusuhan-kerusuhan. Karena itu, kita harus berhati-hati, jangan sampai agama jadi alat politik. Partai politik berdasarkan agama boleh-boleh saja. Kenapa tidak? Tetapi partai politik harus mendasarkan programnya pada kepentingan nyata masyarakat, bukan pada ajaran agama yang resmi. Jadi, agama dalam pelaksanaannya; bukan dalam perumusannya.

Keikhlasan. Inilah yang menurut saya menjadi mâziyah atau keistimewaan dari kiai-kiai pondok pesantren, termasuk Mbah Muntaha. Siapa sih yang menyuruh Mbah Mun mengabdi di Kalibeber? Tidak ada.

Dari mana-mana, sekarang ini Kalibeber dapat dikatakan sebagai puncaknya dunia. Dengan kekuatan pribadi Mbah Mun yang sederhana dan mementingkan kepentingan umum, dan mengembangkan tiga tradisi di atas, maka jadilah Pondok Pesantren Al-Asy’ariyah.

Kalau kita berbicara Pondok Al-Asy’ariyah, bukan berarti yang terkait hanya orang muslim. Dulu saya ke sini bersama Jadul Rahman, juga ditemani seorang Kristen, untuk mengikuti acara haflah malam-malam di sini. Sampai hari ini, dia bolak-balik ngomong: “Itu Kiai Muntaha masih hidup?” “Oh ya, masih seger ketimbang sampean, hehe…”

Artinya apa? Semua kesederhanaan dan kesungguhan mengabdi kepada masyarakat, terkumpul dalam tokoh kita yang mengasuh Pondok Pesantren Al-Asy’ariyah ini (Mbah Muntaha). Oleh karena itu, kita tidak boleh menganggap ringan ketokohan beliau. Karena buktinya, pemerintah sendiri minta dibuatkan Al-Qur’an ukuran terbesar dari beliau, yang sekarang disimpan di Masjid Istiqlal. Pada waktunya, entah berapa tahun lagi, orang akan selalu menyebut-nyebut itu.

Inilah yang dapat saya kemukakan sebagai sumbangan pemikiran.

Sebenarnya, Mbah Muntaha ini terikat dengan kode etik yang sangat kaku, yaitu ke-kiai-an itu sendiri. Tapi, kekiaian itu apa artinya? Jawabannya gampang: “saking getolnya dengan NU.”

***

Dulu, kalau saya (disuruh milih) diajak Mbah Kiai Bisri Sansuri, wakil Rais ‘Am PBNU dan mbah saya dari pihak ibu, ataukah berangkat dengan Mbah Wahab naik mobil ke Jakarta, saya akan ikut Mbah Wahab. Sebab, bersama Mbah Bisri Sansuri, mobil biasanya berhenti di Pekalongan, di rumahnya Munawir murid beliau. Lha, di situ baru kami dapat makan. Kalau ikut Mbah Wahab, beliau tahu di mana restoran yang enak. Nah, karena itu saya ikut Mbah Wahab. Lha, saya ini pilih yang enak, mosok pilih yang tidak enak.

Demikianlah, saya rasa episode kecil kiai-kai kita sudah benar-benar mengabdi kepada masyarakat. Ada yang ndelejer (lurus, ndak mau kompromi), ada yang (berusaha) ngemong (mengayomi) masyarakat.

Satu contoh lagi, suatu hari saya mengantarkan seseorang ke Mbah Bisri. Orang itu mau kurban. Ditanya Mbah Bisri, “Pinten arto sampean?3

“Hanya cukup untuk beli sapi satu. Tapi, anak saya delapan.”

“Nggak bisa. Untuk delapan orang harus sapi dua. Kalau sapinya satu, mestinya anaknya kan tujuh,” jawab Mbah Bisri.

Keluarlah orang tadi dari ruang beliau dengan mata sayu, penuh kesedihan.

Mbah Bisri lalu ndawuhi saya, “Tolong antarkan bapak ini ke Kiai Wahab.”

Sampai di sana, Kiai Wahab bertanya, “Ada apa ?”

“Saya ini (mau kurban), hanya bisa beli satu sapi, tapi anak saya delapan. Bagaimana Kiai?” keluh bapak tadi.

“Kalau beli satu sapi, kambing satu, duit sampean cukup apa nggak?” tanya Mbah Wahab.

“Cukup,” jawab orang tadi.

“Ya sudah. Beli satu sapi. Dan, kambing satu untuk ancik-ancik4 jelas Mbah Wahab.

Maka, keluarlah orang itu dengan hati gembira. Dia tidak tahu kalau dalam fiqh itu dhewe-dhewe:5 korban sapi dhewe, korban wedhus dhewe. Sudah ada aturan mainnya. Tapi Mbah Wahab nggak mau bilang begitu.

Demikianlah betapa uniknya tradisi kekiaian. Para kiai memiliki cara tersendiri untuk ngemong rakyat! Saya masih ingat sampai sekarang, bagaimana kiai-kiai mbelani (membela) masyarakat. Para kiai tidak pernah ingin rakyat kecewa. Bahkan, mereka sanggup menjadi contoh yang baik dan sanggup mencarikan jalan keluar dari masalah-masalah yang dihadapi.

Catatan Kaki

  1. Kata Pengantar ini berasal dari transkrip rekaman sambutan silaturahim KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur)-waktu itu sebagai Presiden RI ke-4- dalam kunjungan silaturahim ke Pondok Pesantren Al-Asy’ariyah Kalibeber Wonosobo, pada 31 Agustus 2000. Tulisan ini dikutip dengan beberapa perubahan dari Tabloid Poles. Lihat Nurul Asry, “Kiai Muntaha di Mata Gus Dur, Tabloid Poles, Edisi 09, 10 September 9 Oktober 2000, halaman 19.
  2. Sultan Hadiwijaya atau Jaka Tingkir adalah pendiri Kerajaan Islam Pajang.
  3. Berapa Uang Anda?
  4. Ancik-ancik, adalah bancikan, pijakan, atau tangga untuk naik.
  5. Dihitung sendiri-sendiri. Artinya, yang tujuh orang berkurban dengan satu sapi, sedangkan satu orang yang lain dengan satu kambing (-ed.)