Membaca Perasaan Calon Pemilih

Oleh: KH. Abdurrahman Wahid

Pada saat penulis berpergian ke Amuntai di Kalimantan Selatan, di hampir seluruh perjalanan darat lebih dari 200 km itu (Bandara Syamsudin Noor ke Amuntai), para penduduk berbondong-bondong mendatangi tempat-tempat yang akan penulis lalui. Ini tentu sesuai dengan “kekuatan” NU di propinsi tersebut, yang selama ini merupakan pangkalan utama organisasi sosial keagamaan tersebut di luar Jawa. Hal yang sama juga penulis dapat dari seorang kawan yang pada hari itu juga “mengisi” acara PKB di empat tempat sepanjang sungai Barito, termasuk kabupaten Barito Utara. Kalau melihat dari berbondong-bodongnya para calon pemilih ke tempat-tempat yang akan dilalui anggota DPP PKB itu, jelas bahwa tidak perlu dikhawatirkan perolehan suara parpol itu dalam pemilu di daerah tersebut. Namun merasakan pola sikap para calon pemilih itu, ada sesuatu “kelainan” yang perlu diperhatikan DPP PKB secara keseluruhan, untuk memperkirakan pola pemberian suara dalam pemilu yang akan datang.

Hal yang memerlukan perhatian itu adalah kenyataan para calon pemilih “malas” mendekati/mendatangi tempat-tempat diselenggarakannya kampanye terbuka dengan pidato-pidato dan sebagainya. Mungkin, disebabkan oleh tidak menentunya perkembangan cuaca dengan stadion/ lapangan yang becek atau tiba-tiba turun hujan ditengah-tengah kampanye itu sendiri. Tetapi keadaan itu hanya menjadi sebagian saja dari sebab-sebab yang lebih besar. Dengan kata lain, ada sebab-sebab keengganan lain untuk mendatangi acara-acara kampanye. Tentu saja sikap serba berlawanan dari para calon pemilih itu, sangat sukar untuk dipahami dengan sederhana. Kalau dikatakan para calon pemilih itu tidak ingin memilih (atau lebih tepat meninggalkan) PKB dalam pemilu yang akan datang, untuk apa mereka datang  berbondong-bondong ke tepi jalan yang akan dilalui oleh rombongan DPP PKB?.

Kalau diteliti dengan mendalam, akan segera terungkap bahwa ada sebuah perkembangan baru terjadi dalam pertimbangan apa yang mereka coblos. Kalau dahulu berbondong-bondongnya para calon pemilih ke pinggiran jalan yang akan ditempuh oleh rombongan yang lewat, kemudian diteruskan dengan menghadiri rapat umum untuk mendengarkan pidato kampanye, sekarang hal itu tidak lagi dilakukan oleh banyak orang. Hanya tiga-empat ribu orang saja yang datang ke tempat kampanye, itu berarti selebihnya bersandar pada informasi via media khalayak yang tersebar sampai jauh ke desa-desa saat ini. Jika dikombinasikan dengan datangnya mereka ke tempat-tempat pertemuan/rapat umum sewaktu musim kampanye pemilu belum datang, dalam hal ini penulis sering didatangi oleh lima puluh ribu hingga seratus ribu orang, maka dapat diperkirakan mereka melakukan pembandingan antara apa yang mereka dengar dalam pertemuan rapat umum itu, dengan apa yang mereka dengar sendiri dari pihak dipantulkan oleh media khalayak itu.

Kalau memang demikian adanya, maka tidaklah tepat untuk menganggap mereka akan memboikot pemilu sebagaimana diperkirakan oleh sebagian pengamat. Yang terjadi adalah justru sebaliknya yaitu munculnya kesadaran bahwa keputusan yang akan diambil harus diperlakukan sangat serius, dan tidak cukup berdasarkan pada sebuah sumber saja. Ini tentu berbeda dari anggapan sejumlah pengamat, bahwa para calon pemilih “biasa” tidak dapat melihat perbedaan para peserta pemilu yang berjumlah 24 parpol itu. Para calon pemilih, justru dengan hati-hati dan seksama mencari perbedaan demi perbedaan di antara para peserta pemilu itu. Kalau para pengamat itu tidak memiliki kesabaran, dan menganggap semua peserta pemilu sebagai pihak yang tidak membawa apa-apa yang baru dalam pemilu kali ini, para calon pemilih itu justru meneliti tawaran demi tawaran yang disampaikan untuk pencoblosan dalam kampanye pemilu itu.

Dari percakapan-percakapan dengan para calon pemilih secara serius dan terbuka, penulis merasakan apa yang menjadi “keseriusan” mereka sekarang ini. Mereka merasakan betapa sulitnya mengatasi krisis multi-dimensi berkepanjangan yang menimpa kita sejak tujuh tahun yang lalu (1997). Parpol-parpol besar yang “mengeroyok” penulis dengan melengserkannya dari jabatan Presiden dengan melanggar Undang-Undang Dasar 1945, ternyata tidak dapat mengajukan cara-cara memecahkan masalah dengan tuntas, melainkan hanya dapat menjalankan roda ekonomi, dengan menggunakan pola-pola kapitalisme internasional (seperti divestasi serampangan dan menekan harga kurs dolar AS). Apa yang diperbuat oleh para “teknokrat” gabungan itu adalah obat sementara dari sebuah penyakit yang sudah menghinggapi diri kita semenjak puluhan tahun ini. Tidak pernah ada sikap serius untuk membina usaha kecil dan menengah (UKM) dengan tulus dan jujur.

UKM sejak semula memang tidak pernah diberikan perhatian khusus. Yang diperlihatkan justru sikap tambal sulam dalam “mengembangkan” UKM itu. Dengan demikian, UKM yang sebenarnya adalah pilar sistem perekonomian, akhirnya tidak memperoleh tempat yang penting dalam tata ekonomi nasional kita. Jika negeri lain memberikan kredit murah dalam jumlah sangat besar kepada sektor ini, maka negeri kita hanya memberikan perhatian selintas kepadanya. Betapa hebatnya sekalipun sektor UKM ini, tanpa dukungan nyata dalam skala besar dari pemerintah jelas ia tidak dapat mengembangkan diri dengan baik. Kalau Thaksin Shinawatra memberikan kredit sangat murah kepada UKM dan individu petani dengan bunga sangat rendah (1,25% per tahun), perlakuan berbeda didapat UKM kita. Maka tidak heran jika sektor UKM dalam perekonomian kita tidak dapat berkembang dengan baik. Itu pun tanpa banyak ditolong/dibimbing pemerintah, masih diperoleh angka cukup meyakinkan tentang kekuatannya sebagai sektor riil dalam perekonomian nasional.

Nah, pemilu yang berlangsung minggu pertama bulan April itu adalah upaya para calon pemilih dianggap sebagai kesempatan sangat baik untuk memperbaiki diri bagi UKM untuk mengembangkan diri secara lebih baik. Mungkin dari pemilu itu dapat diperoleh pengertian untuk memperbaiki perekonomian secara benar. Mungkin juga dibarengi oleh perubahan-perubahan lain yang secara praktis merupakan modifikasi atas pandangan ekonomi kapitalistik internasional kebanyakan para ahli ekonomi kita memang secara membabi buta mengikuti garis kapitalisme internasional itu, sehingga kita tidak dapat mengembangkan sistem ekonomi yang sesuai dengan kebutuhan ekonomi kita yang sebenarnya. Ini dapat dimengerti, karena struktur perekonomian nasional kita memang dibangun sejauh ini atas acuan-acuan kapitalisme Internasional tersebut. hanya dengan tekad baja saja kita baru dapat melakukan modifikasi atas tata ekonomi nasional itu.

Memang, sebuah ketertutupan membuat kita tidak dapat mengetahui langsung apa yang akan menjadi acuan dalam pengembangan ekonomi nasional, menuju kepada kekuatan ekonomi yang sebenarnya pada bangsa ini. Dengan memiliki tiga buah sumber alam yang luar biasa banyaknya, hasil hutan barang-barang tambang. Eksplorasi laut dan perikanan, sebenarnya dapat membuat tata ekonomi kita menjadi sebuah tata ekonomi dunia yang memiliki kekuatan sendiri. Inilah yang sebenarnya menjadi impian kita untuk dapat diwujudkan dalam serangkaian kedudukan ekonomis yang sangat sehat. Namun, dalam hampir semua hal tidak kita dapati kenyataan tersebut. Karena KKN, penyelundupan dan kecurangan dalam perpajakan dan bea cukai, maka kita berada dalam kedudukan yang demikian lemah secara ekonomis reboisasi/penanaman hutan kembali hanya terjadi pada pinggir-pinggir hutan saja sedangkan di balik itu tanah-tanah hutan tidak ditanami lagi, dan ditumbuhi ilalang.

Pengangkutan/pengambilan tanah-tanah kita dari di daerah Timika dan Tembagapura, untuk diproses di tengah lautan Pasifik, guna menghindarkan para petugas kita agar tidak mengetahui adanya emas disamping tembaga dalam jumlah besar, merupakan penggelapan dalam jumlah raksasa. Begitu juga penebangan liar (illegal longing) dengan mudah dilakukan melalui penyelundupan kayu justru oleh aparat negara; penggelapan pajak dan beacukai merupakan “hal biasa” yang secara lamban tetapi pasti terjadi atas kaum pengusaha yang bekerja sama dengan aparat negara di satu pihak, dan para pengusaha asing di pihak lain. Puluhan milyar rupiah yang seharusnya menjadi milik negara akhirnya terbang tidak karuan peran, apalagi bila digabungkan dengan kredit-kredit yang dibawa ke luar negeri. Cukup ruwet untuk diselesaikan, namun bagaimanapun hal itu harus dilakukan bukan?

(Artikel ini dimuat pertama kali di Harian Sinar Harapan)