Membaca Sejarah Lama (11)
Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid
Cerita wayang yang berkisar pada pertempuran fisik antara pihak Pandawa melawan Kurawa, berlangsung di padang Kurusetra. Satria Pandawa, anak Pandu dari Kunthi, merupakan pergulatan antara unsur baik berhadapan dengan unsur buruk/jahat yang ada dalam alam bawah sadar orang Jawa. Jadi, bukannya konsep baik dan buruk ala India, yang menjadi dasar atau sumber asal dari cerita kedua keluarga tersebut. Dengan kata lain, cerita dasar dari India digunakan, tetapi konsep budaya yang dipakai memang benar-benar asli Jawa.
Konsep yang digunakan itu pun berbeda dari konsep budaya masyarakat Barat, yang melihat cowboy sebagai pembawa kebaikan permanen, berhadapan dengan para bandit (the gun-men) yang memancarkan kejahatan abadi. Dengan kata lain, dalam konsep ini, secara kualitatif cowboy pada dasarnya adalah mewakili kebaikan, sedangkan para bandit mewakili kejahatan. Jadi, dalam konsep ini, kebaikan adalah sesuatu yang abadi dan bandit mewakili kejahatan abadi. Tak ada kemungkinan si bandit menjadi orang baik, dan cowboy menjadi orang jahat. Gambaran hitam-putih ini terlihat jelas dalam kasus-kasus aneka film kartun yang kini memenuhi layar televisi dan membentuk cara pandang anak-anak kita.
Konsep cerita-cerita tersebut, yang berbeda satu dari yang lain, menunjukkan pada kita latar belakang pembentukan
pandangan hidup di masing-masing masyarakat ini. Dalam masyarakat modern/Barat, seorang cowboy akan terus-menerus membawakan kebaikan,–dan begitu sebaliknya, para bandit selamanya akan membawakan kejahatan. Sedangkan dalam konsep budaya Jawa, kaum Kurawa masih memiliki peluang untuk menjadi manusia yang baik, jika mereka berkembang dari aspiran kebaikan–menjadi seperti kaum Pandawa, yang telah mencapai (wasilun) kesempurnaan jiwa. Pertempuran fisik di padang Kurusetra antara kaum aspiran (salikun) melawan kaum Pandawa, secara fisik menggambarkan sisi lain dalam pergulatan budaya yang terjadi. Konsep tasawwuf, jelas menunjukkan adanya pengaruh budaya wayang di Jawa pada konsep budaya yang dikembangkan kaum santri melalui pesantren-pesantren mereka.
***
Konsep budaya kaum santri itu, tampak jelas dalam perencanaan (planologi) kaum santri dalam pesantren-pesantren lama. Ini penting untuk dikaji secara objektif karena menyangkut penyerapan konsep budaya wayang di Jawa oleh kaum pesantren. Inilah hal yang luput dari perhatian kita selama ini, karena hanya melihat pesantren sebagai entitas tersendiri– yang terlepas dari budaya dialogis.
Dalam perencanaan pesantren lama, sekarang masih terlihat dalam pembangunan pesantren lama di Denanyar, Jombang, memberikan gambaran yang jelas. Kita memasuki plaza (tanah lapang) di depan masjid, dengan rumah sang Kiai di sebelah utaranya dan tempat (kombong) santri di sebelah selatannya, memperlihatkan sebuah penghadapan yang nyata antara Kiai dan santri. Hal itu melambangkan peranan Kiai yang telah mencapai kesempurnaan pengertian tentang Tuhan (wasilun), melawan para santri yang menjadi perambah jalan (salikun), untuk mencapai kesempurnaan pengertian sebagai Kiai di masa depan.
Peperangan antara kesempurnaan pengertian tentang Tuhan (wasilun) melawan para santri yang masih merambah jalan (salikun), menunjukkan dalam konsep ini tertampung perubahan-perubahan watak yang terjadi. Karenannya, masjid dijadikan pengganti padang Kurusetra dalam cerita wayang, yang menggambarkan peperangan fisik. Padahal pergulatan di masjid yang berada di tengah-tengah komplek, adalah pertarungan jiwa para Kiai dalam menundukkan aspirasi salah para santri. Dengan demikian, jelas konsep yang digunakannya sangat berbeda dari konsep Barat tentang “kebaikan” melawan “kejahatan” yang abadi tadi.
***
Karenannya, dalam melakukan modernisasi atas konsep pendidikan kita haruslah diketahui aspek-aspek budaya seperti ini. Kalau kita secara serampangan menerapkan konsep-konsep budaya orang Barat, hasilnya adalah kita akan kehilangan sesuatu yang besar tentang konsep budaya kita sendiri di masa lampau. Konsep inilah yang membentuk pandangan hidup generasi lampau dan generasi sekarang dari bangsa kita yang sadar. Konsep Budaya Barat yang materialistik, karena ukuran-ukuran yang digunakan hanya didasarkan pada capaian materialistik dari filsafat positivisme yang dibawakan oleh tokoh pendidik Amerika Serikat, John Dewey–jelas menunjukkan adanya hal ini. Dua konsep budaya/pendidikan tersebut menunjukkan kepada kita perkembangan yang tidak simetris dalam proses modernisasi.
Kita kehilangan gambaran sejarah/historis dan hanya melihat positivisme dari sudut konseptualnya belaka. Akibatnya, yang terjadi adalah penguasaan kecakapan/ketrampilan yang diukur secara materialistik, yang berakhir pada ujung tercapainya pengakuan dalam bentuk gelar yang kosong dari etika/moralitas/akhlak yang baik. Padahal, etika dalam bentuk tanggung jawab sosial para perenggut gelar, adalah kejadian biasa dalam masyarakat Barat yang dianggap materialistik itu. Dalam hal ini, terjadi lompatan teknis dari masyarakat Barat ke masyarakat kita, dengan akibat menciutnya pengertian akan konsep-konsep budaya/pendidikan yang kita gunakan. Sebuah peristiwa yang luput dari perhatian kita sama sekali, yaitu pemindahan kemahiran/ketrampilan kemari tanpa adanya pengertian yang mendalam akan latar belakang historisnya.
Karena itulah para konseptor budaya/pendidikan kita haruslah memiliki kearifan untuk melihat proses modernisasi sebagaimana adanya. Kegagalan dalam hal ini hanya mengakibatkan distorsi budaya/pendidikan yang sangat besar dalam pendidikan kita. Kearifan diperlukan dalam hal ini untuk melihat penggunaan konsep-konsep budaya/pendidikan sebagai proses historis yang utuh, bukannya sepotong-potong saja. Ini adalah sebuah kritikan tajam atas proses yang terjadi, yang meninggalkan kenyataan sejarah. Tanpa memperhatikan ini, yang terjadi adalah pemindahan teknologi ke sini, tanpa menggunakan kerangka yang tepat. Ini sangatlah berbahaya, seperti yang terjadi dalam sistem pendidikan nasional kita. Pendidikan sekarang hanya ditekankan pada aspek pendidikan formal belaka, dengan gelar dan diploma yang dihasilkan. Tidak pernah dipikirkan sedikit pun bahwa pendidikan non-formal dan informal yang hidup di masyarakat, seperti pengajian, konggregasi gereja, dan arisan. Di sinilah gunanya kita mengenal sejarah lama kita. Janganlah kita menjadi tokoh –seperti yang digambarkan Albert Camus dalam novelnya, yang memenangkan hadiah nobel untuk bidang sastra, yakni E’strangger (orang asing). Dalam novel tersebut, sang tokoh mengalami keterasingan (isolasi) dari masyarakat dan pergaulan hidupnya.