Membaca Sejarah Lama (17)

Sumber Foto: https://www.antarafoto.com/id/view/1994529/masyarakat-suku-asmat-di-papua-selatan

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

Suku Asmat di tanah Papua memang primitif, kalau ditinjau dari sudut pandang teknologis, yang kerapkali dipakai sebagai ukuran oleh “masyarakat maju industri”. Perisai yang mereka pakai, tombak yang mereka gunakan, dan pakaian yang sangat sedikit mereka kenakan, memang primitif kalau diukur dari kacamata “masyarakat modern”. Apalagi cara mereka berkomunikasi, dengan tidak mengunakan alat-alat modern, membuat kesimpulan bahwa mereka masih primitif–seolah-olah benar. Struktur sosial yang mereka kembangkan, karena tidak berdasarkan administrasi berskala besar, dianggap tidak sesuai kebutuhan kita sebagai “manusia modern”.

Dilupakan, bahwa orang-orang Asmat sebagai unit-unit kecil di belantara tanah Papua telah berhasil menyelamatkan diri dari Malaria dan penyakit-penyakit lain di daerah itu. Begitu pula, mereka dapat mengembangkan kehidupan di tengah-tengah lingkungan alam yang ada tanpa melakukan pengrusakan atas kehidupan itu sendiri merupakan prestasi tersendiri yang harus dipahami secara seksama. Akumulasi begitu banyak kegiatan mereka dalam bentuk yang dianggap primitif itu dilupakan orang dan sekarang tinggal menjadi tontonan (kitsch) belaka, yang dijual oleh pariwisata modern sebagai eksotika, untuk dinikmati para wisatawan/wati luar dan negeri-negeri lain. Apalagi yang berstatus wisman (artinya, wisatawan asing yang banyak uangnya).

Bagaimana mengintegrasikan mereka ke dalam “masyarakat modern” sering kali diputuskan hanya oleh para birokrat yang dididik oleh sistem “pendidikan modern”, tanpa melibatkan orang-orang Asmat itu sendiri. Ini terjadi berulang-ulang kali, dan akan tetap terjadi, bila tidak ada perubahan dalam sikap kita sebagai bangsa.

***

Jika orang-orang Asmat mengalami hal itu dalam kerangka hidup bersuku di tanah Papua, penduduk desa di Bali mengalaminya melalui penghadapan Subak dan Banjar yang dihadapkan pada sisitem “administrasi modern”. Pemakaian tanah rotatif di pedesaan Bali itu dinilai tidak efektif, karena tidak membawakan iming-iming pemilikan tanah yang digarap dan pencapaian target-target individual warga masyarakat.

Tentu saja Subak dan Banjar sebagai sistem kehidupan meminta para warga untuk membagi kerja dan pendapatan, yang tidak memungkinkan munculnya pengusaha kelas kakap dan petani kaya. Dilupakan bahwa, selama berabad-abad kedua sistem itu berhasil memelihara masyarakat petani di Bali dalam jumlah yang besar di tanah yang sempit. Dengan demikian, kedua sistem itu berhasil menghindarkan penyakit keserakahan yang sering menghinggapi “masyarakat modern”.

Masalahnya, dalam pandangan penulis, terletak pada bagaimana mencapai keseimbangan antara keduannya, yaitu bagaimana membuat warga masyarakat berpenghasilan tinggi dan memiliki daya beli yang sangat besar tanpa membuat mereka serakah dan merugikan orang lain. Ini adalah inti pengembangan kapitalisme rakyat (folks-capitalism), sebagaimana berhasil ditumbuhkan di negara-negara industri maju dan demokratis. Para petani dan buruh, secara individual, mendapatkan penghasilan tinggi dan mencapai daya beli yang besar. Inilah tantangan yang harus dijawab baik oleh para ekonom, perancang industrialisasi dan agribisnis, maupun para sosiolog yang berkepentingan dengan pelestarian berbagai institusi, seperti Subak dan Banjar.

***

Pemerintahan kolonial Hindia-Belanda menjinakkan masyarakat Cirebon, dengan menciptakan berbagai kerajaan dan kesultanan. Kasepuhan, Kanoman, dan Keprabonan di kawasan itu merupakan bukti dari kemampuan pemerintahan kolonial untuk menerapkan kebijakan devide et impera seperti itu, yang diterapkan di tempat-tempat lain dalam bentuk yang berbeda. Dalam hal ini, yang digarap oleh mereka adalah penghadapan berbagai institusi satu terhadap yang lain, supaya mereka melakukan netralisasi terhadap peranan masing-masing “lawan”. Pengaplingan kekuasaan itu memang merupakan inti dari kebijakan kolonial berupa kebijakan devide etet impera tersebut.

Masyarakat Cirebon, dengan demikian, tidak memiliki panutan yang jelas, sebagai akibat kekuasaan lembaga-lembaga itu lebih banyak bersifat moral. Dalam hal ini dapat ditunjuk dalam kasus makam Sunan Gunung Jati di Gunung Sembung. Orang yang ingin langsung menuju makam, baru dapat melakukannya jika diizinkan atau didampingi salah seorang Sultan atau Prabu yang ada. Dengan demikian, kekuasaan itu hanyalah berwatak ceremonial belaka, berbeda halnya dengan kekuasaan Bupati atau Walikota. Kasus rumah penjara kabupaten yang akan dijadikan mall, dengan rumah penjara baru dibuat di luar kota adalah bukti tidak adanya kekuasaan Sultan atau Prabu itu.

Jelaslah dengan demikian, ketiga jenis masyarakat suku, budaya adat, dan kekuasaan pemerintah harus diperhitungkan dengan teliti dalam proses modernisasi yang berlangsung. Kalau di kalangan orang-orang Asmat, pimpinan suku harus diperhitungkan, itu berarti harus menjadi partner kita dalam proses modernisasi. Begitu juga dengan budaya Subak dan Banjar di Bali, jelas menunjuk pentingnya arti para pemimpin adat dalam proses modernisasi. Sedangkan modernisasi di daerah Cirebon bersangkutan dengan birokrasi pemerintah daerah. Hal inilah yang harus dipertimbangkan pimpinan TNI, para pemimpin gerakan mahasiswa, para ulama, dan pimpinan partai-partai politik dalam mengemudikan upaya pencarian format modernisasi yang diperlukan oleh bangsa kita saat ini.