Membaca Sejarah Lama (24)

Sumber Foto: https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/dpk/lukisan-penangkapan-pangeran-diponegoro-perlawanan-raden-saleh-atas-karya-nicolaas-pieneman/

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

Peter Carey, dalam salah satu bukunya, yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia berbicara tentang ekologi budaya orang Jawa. Ia menguraikan berbagai pandangan tentang Pangeran Diponegoro yang memimpin peperangan melawan Belanda. Perang itu dalam sejarah Belanda di sebut sebagai pemberontakan Diponegoro, sedangkan dalam literatur asing lainnya disebut sebagai perang Jawa (1825-1830). Perang tersebut, walaupun hanya berlangsung selama lima tahun besar sekali pengaruhnya terhadap jalan pikiran orang Jawa.

Menurut Carey, ada tiga pandangan mengenai peristiwa tersebut, yang termuat dalam “Babad Diponegoro”, “Kidung Kebo” dan “Babad Keraton Surokarto”. Ketiga naskah itu, oleh Carey dianggap sebagai ekologi budaya dari peristiwa itu, dan dari pemahaman tentang ekologi budaya itu kita akan memperoleh gambaran tentang struktur pemikiran orang Jawa. Tanpa menghiraukan lahan dan corak ekologi itu, kita akan mencapai kedangkalan pemahaman atas peristiwa penting–seperti perang Jawa itu, dan berarti juga tentang hal-hal lain dalam sejarah lama kita.

Jadi, jelaslah bahwa kita tidak dapat menggunakan hanya satu sudut pandangan saja apalagi yang bersifat tunggal, yang biasanya berisikan “penafsiran resmi” atas sebuah kejadian sejarah. Upaya memaksakan “kebenaran kita” sebagai “kebenaran sejarah” juga harus mengikuti sikap ini, yang akan mematikan kreatifitas kita. Sejarah, bagaimanapun juga, adalah sesuatu yang lahir dari kancah pertentangan, karena itulah kita memerlukan segenap pandangan yang dapat digali.

*****

Dapat dikemukakan dalam hal ini sebuah karya penting dari keraton Kartosuro tentang KH Ahmad Mutamakin dari Kajen, Pati. Di zaman Amangkurat (entah ke I atau ke II, penulis lupa), Kiai Ahmad Mutamakin dipanggil ke Kartosuro dan dihadapkan pada Ki Ketib Anom, yang masih keturunan Sunan Kudus dan-pada saat itu, menjabat sebagai penghulu keraton. Dalam tembang “Serat Cabolek”, yang dijadikan bahan Raden Soebardi untuk menyusun disertasi guna memperoleh gelar doktor di Monash University pada akhir tahun 60-an atau awal tahun 70-an, dikemukakan bahwa Kiai Mutamakin (dalam kidung tersebut, Kiai Mutamakim) dijelaskan meminta maaf kepada Ki Ketib Anom karena ia mengajarkan sesuatu yang menyimpang dari versi keraton dalam hal agama. Ia dimaafkan oleh Ki Ketib Anom, dan itulah inti dari kidung di atas. Nama Cabolek mengingatkan penulis pada nama kota Zabuli di Iran, sedangkan kota Kajen juga mirip dengan kota Kasyan di negeri yang sama, yang telah melahirkan, beberapa puluh tahun yang lalu, Ayatullah Kasani yang menentang Inggris-AS dan mendukung Perdana Menteri Mossadeg.

Namun, dalam acara haul beliau di Kajen, desa tempat kelahiran dan kediaman KHA.M Sahal Mahfudz, Kiai Mutamakin ini justru dibacakan tembang lain hingga beberapa tahun lalu, dalam mana dituturkan bahwa ia akhirnya diambil menantu oleh raja. Ini berarti, ia yang menang dalam perdebatan melawan Ki Ketib Anom, dari cerita mana kita tahu bahwa ia membawakan pandangan politik yang revolusioner, dan menolak pendekatan kultural yang dibawakan oleh Amangkurat.

Jelaslah, dari tembang tersebut bahwa kita harus menggunakan sumber yang berlawanan dalam menilai sebuah kejadian sejarah. Kegagalan memahami hal ini, membawa konskuensi versi sejarah yang kita kemukakan akan menjadi pincang. Apalagi kalau kita ingat uraian Dr Kuntowidjoyo, bahwa Bupati Riva’i dari Batang, dalam abad ke-19, menggunakan “Serat Cabolek”, itu sebagai senjata politik, ketika ia menghadapi perlawanan bersenjata dari sejumlah ulama. Dengan kata lain, versi keraton Kartosuro ini dijadikan alat pemberi legitimasi oleh Bupati Riva’i guna memaksa para ulama yang mengadakan perlawanan bersenjata terhadap dirinya dalam menghentikan perbuatan ini.

*****

Terkadang kita tidak memperoleh sumber-sumber yang jelas mengenai sebuah perkembangan menarik dalam sebuah perjalanan bangsa kita. Umpamannya saja, titik temu Hindu-Budha di negeri kita tidak ada sumber-sumbernya. Yang ada hanyalah peninggalan berupa Candi Prambanan di timur Yogyakarta yang berbeda dari Candi Hindu di Kalingga (Dieng) dan Candi Budha di Borobudur. Kepindahan umat Hindu-Budha dari Klaten ke Kediri di Jawa Timur sekarang di bawah pimpinan Darmawangsa yang kemudian menyatakan diri sebagai Prabu, juga tidak jelas keterangan tertulisnya. Ketika kemudian gabungan Hindu-Budha ini melahirkan konsep Bhairawa (sekarang disebut Birawa), kejadian itu pun dinilai hanya sepintas lalu belaka dalam sejarah kita, padahal ia kemudian melahirkan imperium Majapahit.

Kelangkaan sumber tertulis ini sering membuat kita harus melakukan rekonstruksi sejarah atas masa lampau kita untuk membaca runtuhnya kerajaan Kalingga yang beragama Hindu di pegunungan Dieng itu, dengan menyebutkan munculnya percampuran Hindu-Budha saja, juga merupakan sebuah kerja yang gegabah. Karena kerajaan Kalingga itu sirna karena munculnya budaya campuran Hindu-Budha di Jawa Tengah, di samping datangnya Islam dalam bentuk tarekat Qodiriyah di kawasan yang sama. Di desa Candirejo, puncak Dieng, tidak jauh di pusat kerajaan Kalingga, terdapat kuburan Syaikh Abdullah Qutbuddin, pembawa tarekat Qodiriyah pertama kali di pulau Jawa. Penulis harus berjalan kaki tiga setengah kilometer jauhnya, beberapa tahun yang lalu, untuk mencapai makam tersebut, melintasi dua buah sungai tanpa jembatan, pematang sawah dan tanah-tanah perawan yang melintasi sebuah lembah untuk mencapainya.

Bukankah ini membuktikan terulangnya kembali apa yang disebut oleh Arnold J. Toynbee dalam “From Oxus to Indus”; Masyhad yang merupakan kota makam Sayyidina Ali di Afghanistan, mengalahkan Balkh yang merupakan pusat kerajaan, setelah berjalan beberapa abad di Afghanistan. Pertempuran kultural antara kawasan kuburan melawan pemerintahan juga masih terasa saat ini di negeri kita: komplek Ampel melawan daerah Tugu Pahlawan di Surabaya, ataupun Luar Batang melawan Gambir-Kuningan di Jakarta.