Membaca Sejarah Lama (25)

Sumber foto: https://jarakpandang.com/jejak-memori-pada-potret-ibu-petani-tebu/

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

Selama ini, kita menganggap wanita/perempuan berperan sebagai pelengkap saja. Padahal, secara sosiologis, antropologis, dan kesejarahan kita sangat menghargai wanita jauh lebih tinggi daripada di kawasan-kawasan Asia Selatan, Asia Barat, dan Timur Tengah. Ini mungkin disebabkan adanya ketentuan hukum Islam (fiqh) formal, bahwa perempuan hanya berhak atas separuh bagian dari pewaris lelaki. Dengan demikian, dilupakan bahwa ketentuan formal tersebut tidak sepenuhnya berjalan karena telah ada kenyataan lapangan dari masa pra-Islam. Kalau hal ini dilupakan, kita hanya melihat masyarakat muslim dari keterangan tertulis kitab-kitab suci dan penalaran formal lebih jauh dari ketentuan-ketentuan tersebut, tanpa meninjau kemungkinan bahwa terdapat kesenjangan sangat besar antara teori dan praktik.

Dari waktu ke waktu, kita lihat upaya beberapa pemikir muslim, untuk mencoba menutupi kesenjangan sangat besar antara tradisi pra-Islam yang tetap berjalan dari satu pihak dan ketentuan formal yang ada dalam literatur non-keagamaan yang masih ada. Karena dangkalnya pengetahuan agama yang dimiliki maka penulis ingin meminta perhatian semua pihak untuk menjawab tebakan/teka-teki, apa beda antara sapi dan sapi’i. Jawaban teka-teki itu adalah; sapi berekor di belakang sedangkan sapi’i …

Kesenjangan antara kenyataan pra-Islam dan ketentuan formal hukum Islam di sisi lain, terletak pada kemampuan budaya kita untuk menerima kenyataan itu. Namun, dalam kenyataan ekspresi tradisi Islam di negeri ini menunjukkan adanya perbedaan tersebut. Ungkapan apa yang dianggap praktik pra-Islam bercampur dengan aturan-aturan hukum Islam (fiqh), tampak antara lain pada kenyataan akan adanya peranan besar dari ninik-mamak dalam menentukan segala sesuatu yang berkenaan dengan keputusan sang Ibu dalam masyarakat Minangkabau yang Matriarchat. Peranan mereka sangat besar dalam pengambilan keputusan, tetapi hal itu harus dilakukan atas nama sang Ibu.

*****

Dalam kenyataan sehari-hari, para wanita di daerah Tapanuli Selatan dan Mandailing Natal, mereka bercocok tanam di sawah, dengan konskuensi mereka jugalah yang menentukan penggunaan hasil-hasil pertanian. Penulis tak tahu, apakah hal itu disebabkan oleh adat pra-Islam, ataukah oleh banyaknya orang-orang daerah itu dari jenis lelaki yang melakukan perantauan. Ini berarti, adanya kesenjangan yang besar antara hukum waris Islam yang digunakan di daerah itu, yang dicoba untuk dijembatani oleh penamaan praktik-praktik bertani seperti itu sebagai sesuatu yang bersifat pra-Islam. Maka, diperlukan sebuah penelitian mendalam untuk memungkinkan kita mengambil kesimpulan yang tepat. Karenanya, kita tidak boleh demikian saja mengambil kesimpulan.

Hal yang sama juga terjadi di Bali, di kalangan mereka yang tidak beragama Islam, yakni mereka yang beragama Hindu. Di kawasan tersebut, orang-orang perempuan bekerja di bawah terik matahari untuk membuat jalan. Adakah ini karena adat pra-Islam, ataukah karena tekanan-tekanan ekonomi dalam beberapa dasa warsa terakhir ini? Hal ini berarti sangat diperlukan adanya penelitian mendalam mengenai tempat perempuan dalam kehidupan di kawasan tersebut dari dahulu hingga sekarang. Ini belum lagi dilihat adanya keperluan akan penelitian mendalam mengenai tokoh-tokoh perempuan di kawasan ini, meliputi berbagai masa

Dalam tahun-tahun 60-an, para wanita juga menjadi pengangkut kelembak berpuluh-puluh kilogram sekali jalan di kawasan Magelang, Jawa Tengah. Ini juga tidak memberikan kejelasan mengenai apakah praktik tersebut timbul dari adat pra-Islam, atukah dari tekanan-tekanan ekonomi. Dari Kopeng ke Magelang, atau dari Kaliangkrik di barat sampai ke tengah pasar di kota yang berjarak belasan kilometer. Para wanita yang memanggul kelembak itu, bercakap-cakap dengan suara yang keras antarmereka, sebagai pemandangan sehari-hari yang sangat memilukan hati. Penulis sendiri di era tersebut pernah dibonceng oleh siswi sendiri di Bogowanti dekat Borobudur, dan ia katakan bahwa itu semua dilakukannya untuk menghormati sang guru, padahal penulis sendiri dibesarkan dalam suasana harus memuliakan wanita. Dapat dibayangkan, betapa besar rasa risau penulis ketika itu.

*****

Nah, sejarah justru memaparkan betapa besar tempat yang diduduki perempuan dalam kehidupan di Asia Tenggara, secara antropologis. Ini membawa konskuensi berupa kebolehan atau wewenang sang perempuan untuk turut aktif dalam kehidupan, di samping lelaki. Bahwa yang tampak di mata hanyalah “kewajiban perempuan” untuk melakukan kerja-kerja kasar belaka, itu adalah perwujudan yang tampak di bawah. Dalam masa penuh kesulitan, hal itu tampak semakin nyata. Apakah beda perempuan penggendong kelembak di Magelang, bilamana dibandingkan dengan perempuan penyapu jalanan di Romania, atau perempuan teman penulis bekerja tengah malam pada tahun 1971 di Schalke, dekat Koln di Jerman Barat waktu itu, untuk bekerja di waktu larut hingga pagi, di sebuah percetakan? Sama dalam prinsip dan corak, walaupun dalam tingkat keuangan yang berbeda.

Dengan “kemajuan” di segala bidang, kita berangsur-angsur melihat semakin banyaknya perempuan menduduki profesi yang dahulunya hanya dipegang oleh kaum lelaki saja. Sudah biasa bagi kita sekarang pada permulaan abad ke-21 Masehi, melihat perempuan sebagai sopir bus malam antara Jakarta dan Surabaya. Kita tidak lagi bertanya, bagaimana nasib anak-anak mereka di rumah yang diasuh oleh para suami? Itu adalah hal “biasa”, seperti halnya wanita yang menjadi pemilik toko dan juga perempuan muda yang menjadi pramuniaga di toko-toko kita. Jadi, sedang berlangsung sebuah perubahan besar dalam kehidupan warga masyarakat, terlepas dari agama yang dipeluk. Baik orang-orang muslim, umat Kristiani, maupun orang-orang Hindu, tanpa pandang bulu menduduki berbagai posisi dalam kehidupan, dengan konskuensi mereka menduduki jabatan atau melaksanakan tugas yang beragam pula dari “bawah”, seperti buruh kasar dan pramuniaga, hingga “ke atas”, seperti Ibu Maria Ulfah Santoso dan Ibu S. K. Trimurti yang dahulu jadi menteri maupun Ibu Widowati Wiratmo Sukito (dua-duanya sudah menjadi almarhum) yang pernah menjadi Hakim Agung. Jelaslah dengan demikian, agama apa pun yang kita peluk di kawasan ini, dalam kenyataannya tidak pernah menghambat perempuan untuk menjadi apa pun yang mereka ingini.

Dengan kata lain, kenyataan antropologis dan sosiologis, memainkan peranan juga dalam kehidupan seorang pemeluk agama, terlepas dari hukum agama formal yang dianut masing-masing. Berbahagiakah kita karena hal ini, atau justru kita harus meratap? Sejarah jualah yang dapat menjawabnya.