Membaca Sejarah Lama (3)

Sumber foto: https://newstempo.github.io/kabar/post/kh-hasyim-asy-039-ari/

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

Jepang menduduki Hindia Belanda, demikian kawasan Indonesia waktu itu dikenal, pada bulan maret 1942. Kiai Hasyim Asy’ari dari Tebuireng di Jombang menolak membungkukkan badan (seikeirei) ke arah timur laut tempat Kaisar (Tenno Heika) bersemayam di Tokyo. Bagi beliau, ini merupakan penyerahan diri kepada keyakinan bahwa Kaisar Jepang adalah putera Dewa Matahari (Amaterasu).

Polisi rahasia Jepang (kenpeitei) marah atas pembangkangan ini, dan beliau pun dimasukkan penjara Kalisosok Surabaya. Delapan bulan lamanya beliau ada di situ, dengan penyiksaan dan tindakan keji lainnya. Sebagai akibat, beliau tidak dapat menggerakkan tangan kirinya, alias lumpuh. Pemerintah pendudukan Jepang baru belakangan mengetahui betapa besar pengaruh beliau, dan segera dibebaskan setelah delapan bulan berada di penjara.

Perlawanan dalam bentuk berdiam diri menahan siksaan ini, bagaimana pun juga telah memberikan bekasnya dalam sejarah. Paling tidak, sikap tidak rela itu segera diketahui masyarakat banyak, dan memang inilah inti daripada perlawanan kultural, bukan perlawanan militer. Sengaja tidak diambil pilihan perlawanan secara militer karena waktunya dipandang belum tepat, dan kita tidak siap untuk itu.

***

Putera beliau yang bernama Abdul Wahid Hasyim memimpin Masyumi (Majelis Syura Muslimin Indonesia) dalam tahun itu juga di Jakarta. Tinggal di Jalan Diponegoro, Kiai muda ini diminta mewakili ayahnya oleh pihak Jepang untuk membuka Shumubu (Kantor Urusan Agama)–yang di kemudian hari berkembang menjadi Departemen Agama. Dalam kapasitas itulah–pada suatu hari, ia dihubungi oleh Laksamana Maeda dari pemerintahan pendudukan Jepang. Ia ditanyai, siapa yang patut diperlakukan selaku wakil bangsa Indonesia? Ia menjawab, hal itu akan diketahui setelah ia berkonsultasi dengan ayahnya di Jombang, yaitu KH Hasyim Asy’ari, di Tebuireng.

Dalam pembicaraan per telepon dengan sang ayahanda di Tebuireng, Jombang. Ia mendapatkan jawaban. Bahwa orang yang pantas didukung sebagai pemimpin bangsa Indonesia adalah Soekarno. Sebagai pendiri Nahdhatul Ulama (NU), dan Kiai yang sangat disegani serta punya pengaruh luas, pilihan ini tentu mengandung tempat yang sangat terhormat bagi diri Bung Karno.

Dengan demikian, pemerintahan pendudukan Jepang, menunjuk Soekarno sebagai pemimpin rakyat beserta Mohammad Hatta. Dilihat dari sepak terjang dan sikap tersebut, kedudukan dua tokoh itu sebagai pemimpin bangsa adalah sesuatu yang sangat jelas. Apabila keduanya sepakat tentang sesuatu hal, boleh dikata hal itu telah menjadi keputusan bangsa ini. Demikianlah kesepakatan mereka untuk merdeka, akhirnya tertuang dalam teks proklamasi kemerdekaan bangsa kita pada tanggal 17 Agustus 1945. Bagi mereka, tidaklah begitu penting dengan melihat apa yang mereka lakukan saat itu–karena memang dipaksa oleh para pemuda, seperti Soekarno.

Dalam “membaca” kejadian itu, kita harus menyadari, bahwa para pemimpin kita dahulu sepakat untuk merdeka, sedangkan mengenai hal-hal lain akan ditetapkan kemudian. Jadi memang terasa betapa penting sikap yang diambil bersama-sama oleh para elite bangsa kita di masa itu. Tanpa adanya sikap seperti ini, kita mungkin kini belum merdeka, hingga hari ini.

Sayangnya hal ini tidak tampak di kalangan para elite kita pada masa sekarang. Masing-masing mencari pemenuhan ambisi pribadi, dengan mengorbankan kepentingan yang lebih besar. Yakni, kepentingan nasional yang selalu dikalahkan oleh ambisi pribadi dan kepentingan kelompok. Ini semua ternyata membawa sebuah akibat lain, yaitu suatu pertentangan tajam di antara mereka. Masing-masing ingin tampil sebagai pemimpin bangsa, dan boleh dikata tidak mengakui secara tulus kepemimpinan orang lain. Dikombinasikan dengan kepandaian membungkus semua kekurangan–dengan retorika indah yang tak berpengaruh apa-apa bagi kehidupan berbangsa dan bernegara kita, sikap tersebut membawa kita kepada kemacetan kehidupan yang kita alami sekarang ini.

Jalan satu-satunya untuk mendobraknya adalah dengan cara meninggalkan sikap seperti di atas. Sudah waktunya kita memikirkan nasib bangsa ini secara keseluruhan. Kalau perlu dengan menanggalkan sikap memandang penting arti diri sendiri dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Beban hutang luar negeri kita yang sudah mencapai 700 milyar dollar AS dan ancaman disintegrasi–akibat matinya Theis Hiyo Eluay di tanah Papua dan masalah pembunuhan atas seorang Letnan Dua TNI di Aceh oleh pihak GAM, jelas membuktikan adanya kebutuhan sikap mementingkan bangsa ini. Pertanyaan dasarnya adalah, sanggupkah kita sebagai bangsa mengembangkan sikap meninggikan kepentingan bersama itu dan mengalahkan kepentingan pribadi para pemimpin bangsa kita?