Mencari Perdamaian Dunia: Sebuah Jurnal Perjalanan
Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid
Penulis merasa belum pernah sesibuk minggu pertama bulan Oktober 2003. Mulanya pada tanggal 10 September, penulis didatangi Duta Besar Prancis di Jakarta, yang menyampaikan undangan Kementerian Luar Negeri Prancis, agar menghadiri sebuah simposium di Paris Perancis tanggal 2-4 Oktober. Penulis menerima undangan itu karena Presiden Jacques Chiraq mengusulkan agar penulis menyampaikan makalah dalam acara itu, dan waktu presentasi penulis jatuh pada tanggal 2 Oktober. Ini adalah suatu kehormatan, karena berarti apa yang dikemukakan penulis akan menjadi pertimbangan bagi kebijakan luar negeri bangsa itu di masa depan. Tema simposium itu sendiri, yaitu “Agama-agama, Terorisme dan Toleransi” harus ditinjau oleh penulis dari pandangan agama Islam. Suatu kehormatan pula, bahwa pandangan penulis yang dianggap mewakili pandangan kaum Muslimin di Indonesia, dinilai pantas menjadi masukan simposium itu. Kesempatan ini juga menunjukkan peranan negeri kita yang semakin bertambah besar, karena memiliki kaum Muslimin moderat di seluruh dunia.
Seminggu kemudian, penulis menerima telepon dari New York yang meminta kesediaan penulis menyampaikan pandangan tentang pembentukan sebuah badan, yaitu Dewan Perdamaian Antar-Agama Internasional, yang dipersiapkan sebagai lembaga penasehat bagi Dewan Keamanan PBB di masa depan. Pertemuan itu sangat penting, namun penulis menjawab sudah ada undangan Prancis. Namun pada saat yang bersamaan penelpon itu menyatakan sebaiknya penulis meminta penundaan waktu penyampaian makalahnya guna memungkinkan penyampaian pandangan penulis di New York. Permintaan dari New York itu penulis lakukan dan Kementerian Luar Negeri Prancis menyetujui penundaan sehari, menjadi jam 9.30 pagi waktu Paris tanggal 3 Oktober. Ketika New York mengetahui hal itu, penulis diminta langsung kesana untuk menyampaikan pandangan-pandangannya tentang Dewan Perdamaian yang akan didirikan keesokan harinya (3 Oktober 2003).
Keesokan harinya penulis tiba di airport John F. Kennedy jam 12 tengah hari, dan selanjutnya diantarkan Konsulat Jenderal RI di New York menuju ke tempat acara tersebut. Dalam makan siang jam 13.00, penulis menyampaikan pidato berisikan pandangan-pandangannya mengenai Dewan tersebut. Penulis menyambut gembira adanya lembaga tersebut karena itu berarti bahwa PBB dalam merumuskan dan mengambil kebijakan luar negeri tidak hanya bersandar kepada pertimbangan-pertimbangan geopolitis saja. Pertimbangan seperti itu akan terasa sangat sempit, apalagi kalau di dasarkan kepada informasi yang salah. Contohnya adalah kebijakan pemerintah Amerika Serikat saat ini atas Iraq. Da yang selalu ditekankan adalah rangkaian penembakan dan pemboman terhadap tentara A.S yang dilakukan orang-orang mantan Presiden Saddam Hussein. Padahal itu belum tentu benar.
Tidak ada negeri tetangga Iraq yang ingin negara tersebut menjadi kuat melalui pemerintahan demokratis. Turki, Syria, Jordan dan Kuwait dapat dianggap mendukung orang-orang yang menyerang tentara A.S itu, belum kalau dihitung Mesir dan Saudi Arabia. Karena itulah sudah waktunya sebuah lembaga dunia -seperti Dewan Perdamaian yang akan didirikan- memberikan pertimbangan-pertimbangan yang bukan geopolitis. Pidato penulis pada acara makan siang itu diterima oleh para hadirin, walalupun banyak diantara mereka adalah para diplomat yang berkiprah di lingkungan PBB. Walaupun belum tentu semuanya dapat memerima pandangan penulis itu, paling tidak mereka yang menentangnya berdiam diri saja dan membiarkan pendapat penulis itu diterima oleh penyelenggara.
*****
Setelah jam 12 tengah hari waktu New York penulis tiba di airport John F. Kennedy, jam 5 sore waktu negar itu penulis sudah terbang kembali ke Paris dengan Air France. Di Paris, penulis menyatakan adanya pendangkalan agama dan salah pengertian di dalam kaum muslimin sendiri sebagai sebab utama bagi munculnya terorisme di banyak negeri Muslim. Pendangkalan agama terjadi karena “kaum militant” muslim yang kebanyakan dari mereka peraih gelar dari “pendidikan umum” tidak menggali banyak hal tentang Islam. Ketika mereka memperoleh “gelar” di berbagai bidang pengetahuan “Barat” seperti kedokteran dan teknologi, mereka tidak diajar mengenai peradaban Islam sendiri “secara benar”. Umpamanya saja, mereka tidak tahu bahwa kaum muslimin menggunakan penafsiran ulang (reinterprestasi) dalam merumuskan pandangan hukum mereka.
Begitu pula mereka tidak membedakan dua macam pendekatan utama yang digunakan dalam melihat perkembangan sejarah Islam yang panjang. Yaitu pendekatan budaya kaum Muslimin, terutama yang menyangkut responsi kaum Muslimin atas tantangan-tantangan yang dihadapi agama tersebut. Pendekatan lain adalah pendekatan institusional yang lebih mementingkan responsi berbagai lembaga yang didirikan kaum muslimin guna menjawab tantangan-tantangan tersebut. Karena lebih mementingkan pendekatan institusional itu, maka dengan sendirinya berbagai responsi budaya terhadap tantangan yang mengancam kehadiran lembaga itu tidak terlihat oleh mereka. Tantangan yang timbul tidak dianggap sebagai masukan untuk memperbaiki keadaan, melainkan dianggap sebagai bahaya dari luar yang akan mematikan Islam sebagai lembaga.
*****
Dengan melihat “tantangan Barat” sebagai bahaya yang harus dilawan dengan segala cara, mereka menganggap bahaya mengancam Islam sebagai cara hidup yang mereka kenal. Satu-satunya cara yang mereka kenal untuk “melawan” adalah dengan menggunakan kekerasan, kalau perlu dengan meledakkan bom seperti di Bali dan Jakarta (Hotel Marriott). Mereka tidak menghitung jumlah korban yang berjatuhan. Tapi keadaanya sekarang yang terancam adalah keseluruhan cara hidup kaum Muslimin sendiri. Mereka lupa pada kenyataan bahwa jawaban untuk “tantangan Barat” itu adalah pelestarian cara hidup itu sendiri, dan menggunakan prinsip seleksi atau pilihan. Mana yang memang harus dirubah; merubah apa yang ada dalam diri kaum muslimin dengan tanpa merubah keyakinan keagamaan mereka.
Dalam kegalauan itu, masuk pula segala isapan jempol yang tidak berdasarkan kenyataan. Beberapa tahun yang lalu, penulis diundang ke Tokyo oleh Koran Yomiori Shimbun (beroplah 12 Juta eksemplar sehari), untuk mendiskusikan konsep perbenturann budaya (Clash of Civilization) dari Samuel P. Huntington seorang profesor dari universitas Harvard di Amerika Serikat. Penulis melihat sang Profesor dengan teorinya itu mengggambarkan “pohon Islam” yang berbeda dari “pohon Barat”. Namun sang Profesor melupkan kenyataan bahwa “hutan Islam” yang setiap tahun mengirimkan ratusan ribu orang untuk belajar teknologi dan pengetahuan alam lainnya ke nagara Barat yang dikategorikan sebagai masyarakat atau bangsa berindustri maju/Advance Industry.
Tentu saja mereka tidak hanya belajar teknologi, pengetahuan alam, pengorganisasian dan manajemen -secara barat saja, melainkan juga mengambil apa yang diperlukan bagi kelestarian budaya Islam- mereka dari tempat mereka belajar di negara barat. Dengan demikian mereka mengambil bentuk luar “serba Barat” (seperti pakaian dan alat-alat kebutuhan tiap hari), tapi dengan tetap berpegang dan berusaha mencapai “sasaran-sasaran Islam”. Hal ini justru bertolak belakang dengan apa yang dikatakan dalam bahasa NU dengan “memelihara yang baik dari masa lampau dan mengambil apa yang lebih baik dari sesuatu yang baru” (Al Muhafa dzatu a’la al-Qadima al-Shalih wa al-Akhdzu bi al-Jadid al-Ashlah). Karena itulah mereka menggunakan kekerasan termasuk teror, karena tidak mengerti perjalanan sejarah mereka sendiri. Memang mudah mengatakan mereka harus memahami sejarah Islam yang panjang, namun tentu saja “keharusan” itu tidak mudah dilaksanakan dalam kenyataan hidup, bukan?