Menduga Presiden dan Pendampingnya (Wawancara)

Sumber Foto: https://nu.or.id/opini/memaknai-ajaran-gus-dur-4NKLk

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

Situasi politik mungkin memang betul-betul sudah panas. Kendati pemilihan umum masih kurang satu tahun, yang dibicarakan orang bukan lagi partai apa yang akan menjadi pemanangnya, tetapi siapa yang akan menjadi presidennya. Padahal secara tertib, seharusnya pemilu akan menghasilkan daftar anggota MPR, barulah berlangsung Sidang Umum yang –antara lain– akan memilih presiden.

Mungkin orang politik sekarang sudah tidak sabar. Pemilu toh pasti akan dimenangkan oleh Golkar, karena membandingkan dengan PDI dan PPP terlalu jauh. Selain dari itu Jenderal Purn. Soeharto yang sekarang menjadi presiden usianya sudah begitu lanjut (75 tahun) dan sudah lama duduk di situ, secara alami pasti akan perlu pengganti dari generasi berikutnya. Apa lagi pendamping setianya, Ibu Negara Hajjah Fatimah RA Siti Hartinah Soeharto, sudah wafat mendahuluinya.

Maka, orang-orang yang merasa mempunyai derajat memikirkan jabatan tinggi segera menimbang-nimbang. Kemudian pers dalam maupun luar negeri pun berspekulasi, mungkinkah Pak Harto masih mencalonkan lagi untuk periode 1998-2003. Tentu yang terjadi adalah kemrungsung seperti air mendidih.

Bila keadaan itu berlanjut di luar kontrol, pasti terjadi benturan. Yang menderita adalah rakyat yang tak tahu-menahu urusan itu. Itulah sebabnya, Ketua Umum PB NU KH Abdurrahman Wahid, yang warganya adalah rakyat, perlu memberi peringatan. “Apabila Pak Harto pada perode mendatang tidak akan naik lagi, maka masalahnya menjadi gawat dan rumit. Hal ini mengingat hingga sekarang belum kelihatan siapa calon penggantinya,” kata Gus Dur, panggilan akrab Abdurrahman Wahid, kepada pers di Kantor PBNU, JI. Kramat Raya 164 Jakarta, Sabtu 18 Mei 1996.

Namun paling tidak Gus Dur melihat kecenderungan bahwa Pak Harto akan terus menjalankan pemerintahan sampai tahun 1998 (SU MPR) didampingi wakil presiden. “Kalau itu tidak memungkinkan, berarti kita betul-betul memasuki babak baru dalam politik Indonesia, yaitu kita memilih pengganti yang tidak tahu macemnya sampai sekarang,” ujar Gus Dur.

Menurut Gus Dur, wafatnya Ibu Negara sedikit banyak berpengaruh terhadap Presiden Soeharto. “Itu sudah dengan sendirinya. Lha wong kawan hidup kok. Itu wajar saja,” katanya. “Tetapi, tidak dengan begitu lalu Pak Harto akan berhenti sebagai Presiden. Itu tidak benar, meskipun kepergian Ibu Tien itu mempunyai pengaruh yang besar,” ungkap Gus Dur.

Mungkinkah Presiden Soeharto “turun” di tengah jalan? Gus Dur menjawab, seandainya Pak Harto bisa memperoleh pendamping yang bisa dipercayai, tentu akan diserahkan, dan tokoh yang bersangkutan akan diminta untuk melanjutkan policynya. “Tetapi, untuk menuju ke persyaratan itu, rumitnya bukan main. Ini hal yang ruwet dan sulit,” kata Gus Dur.

Sebab, kata Gus Dur, di dalamnya mengandung dua unsur yang harus dipenuhi secara sekaligus: memiliki akses kepada Pak Harto, dan kemampuan kerjanya. Meskipun sekarang ada yang paling dipercaya, tetapi belum tentu memiliki kedua-duanya sekaligus. “Orang yang memiliki kedua unsur tersebut boleh dikata cuma satu atau dua orang saja. Kalau hanya satu unsur, orang itu, tidak akan dipercaya penuh,” kata Gus Dur yang enggan menyebut nama-nama tersebut.

Sekarang ini, kata Gus Dur, praktis tidak ada orang yang dapat menggantikan Presiden Soeharto secara konstitusional, tanpa terlebih dahulu menjadi pendamping atau wakil presiden. Menurut Gus Dur, akan timbul pertanyaan hipotesis yang mendasar, “Yakni haruskah Pak Harto meletakkan persyaratan yang tinggi sehingga beliau puas dengan calon penggantinya?”

“Saya melihat secara rasional saja. Pak Harto memang tidak pernah omong, tetapi dia kan bertindak berdasarkan suatu rencana tertentu. Kita tidak mungkin memberikan kriteria tentang calon pengganti itu karena yang tahu itu Pak Harto sendiri,” katanya. “Dalam meraba-raba pikiran Pak Harto, saya paling berani hanya sampai pada kedua pertanyaan hipotesis tadi.” Demikian Gus Dur.

Untuk mengetahui lebih lanjut pikiran-pikiran Gus Dur sekitar situasai kennegaraan, kami sajikan petikan wawancara Aula dan beberapa bahan yang pernah dimuat media massa:

Bagaimana hubungan NU dengan Pak Harto sekarang?

Pada dasarnya tidak ada masalah. Cuma, sekarang PBNU belum diterima Pak Harto. Nah, bila hubungan yang dianggap tidak ada masalah ini pembuktiannya harus lewat diterima oleh Pak Harto, itu tidak mungkin dilakukan.

Kenapa?

Karena pertemuan itu akan dianggap sebagai suatu koalisi politik baru. Dan ini akan mengubah keseimbangan politik yang sudah ada. Jadi, ruwet lagi nantinya. Nah, dalam rangka memelihara balance of power yang ada, tidak diadakan pertemuan, tapi pada dasarnya sudah ada pengertian antara kami dan Pak Harto. Apa yang kami inginkan, kami sarankan, kami pikirkan, semua itu sampai kepada beliau. Sebaliknya, yang beliau inginkan dari kami juga nyampe semua. Jadi, secara kualitatif ada perubahan hubungan antara kami dan Pak Harto, kembali seperti dulu lagi.

Soal balance of power, kekuatan kita sekarang kan terdiri atas ABRI, Golkar-birokrasi, dan Islam. Bagaimana posisi NU dalam pemilihan umum mendatang?

NU tidak mempunyai posisi, karena kita hanya menganjurkan supaya warga menggunakan hak pilih. Jadi, tuduhan bahwa saya akan menggiring umat ke PDI itu tidak beralasan. Kenapa? Orang NU tidak akan mau digiring. Kan, sudah khittah, mereka sudah paham sekali dengan pesan saya. Dan kalaupun ada sedikit kecintaan kepada saya, ya, itu semata karena saya menghargai martabat mereka sebagai manusia bebas, bukan digiring seperti kerbau. Apa modal seperti ini mau saya hancurkan sendiri? Jadi, kalaupun nantinya ada warga NU yang menyeberang ke PDI, itu kan karena percaturan di luar NU itu sendiri.

Bagaimana penilaian tentang pemilu mendatang?

Pemilu 1997 yang dilanjutkan dengan Sidang Umum MPR merupakan proses politik yang kokoh bagi ketiga kontestan yang akan bertanding. Jika tidak, maka hasil SU MPR yang menjadi penentu bagi kelangsungan program pembangunan akan terseok-seok.

Apa indikasi bahwa pemilu berhasil?

Pemilu sebagai proses politik memerlukan panggung politik yang kuat pula. Untuk itu saya menawarkan tiga unsur yang harus diperhatikan:

Pertama, birokrasi yang memiliki kepaduan dan kesatuan yang kuat dan mampu melaksanakan Pemilu secara bersih dan jurdil.

Kedua, peranan ABRI yang mampu menjaga stabilitas dan bertindak secara konstitusional, dan

Ketiga, adanya dominasi kekuatan politik pada SU MPR menadatang.

Lo kok dominasi?

Dominasi kekuatan politik yang dihasilkan dari perebutan suara pemilu memiliki peranan yang strategis untuk menciptakan Sidang Umum MPR yang mantap dan aman bagi kelangsungan pembangunan nasional.

Bukankah lebih baik seimbang agar terjadi dialog sehat?

Jika komposisi suara yang diperoleh dari pemilu menggambarkan kekuatan yang berimbang antara ketiga kontestan, seperti Golkar meraih 45 suara, PPP 30 suara, dan PDI 25 suara, ini cukup mengkhawatirkan pada proses politik selanjutnya.

Kalau sampai terjadi keadaan demikian saya melihat pada SU MPR mendatang akan mengalami kesulitan. Untuk itu perlu ada kekuatan dominan. Saya tak mempermasalahkan apakah kekuatan itu berasal dari Golkar, PPP, atau PDI.

Untuk mencapai dominasi apa itu berarti harus diupayakan dengan segala jalan?

Dominasi kekuatan politik, tak seharusnya masing-masing kekuatan bertindak di luar konstitusi.

Sejauh ini ada penilaian bahwa Gus Dur moderat. Tapi kenapa ada yang memojokkan. Apa sikap moderat dianggap berbahaya?

Begini, ya. Di Indonesia ini kan politiknya terlampau praktis (too practical politics). Semua orang berlomba-lomba mencari dukungan dari kekuatan-kekuatan politik yang ada. Coba, kembali kepada sejarah kita lihat, salah satu ciri utama penataan politik oleh Orde Baru adalah dekonvensionalisasi atau, istilah kita, “dealiranisasi” politik. Jadi, politik itu sudah tidak ada alirannya. Bahkan, nasionalisme sendiri, yang mengikat kita semua sebagai bangsa, juga tidak boleh berkembang menjadi aliran.

Buktinya?

PNI dipojokkan habis, disamakan dengan Sukarnoisme. Yang boleh ada hanya wawasan kebangsaan karena wawasan kebangsaan ini milik semua orang. Golkar hanya bisa berfungsi kekaryaan. Kekaryaan kan bukan aliran, tidak ada ideologinya. Jadi, akhirnya yang dikembangkan adalah ideologi Pancasila. Sekarang, Pancasila sudah menjadi ideologi nasional kita, dilengkapi sekian butir dalam P4. Kalau tidak, mungkin sampai hari ini pun kita tidak mempunya ideologi. Dan yang penting, Pancasila ini lalu mengikat kita.

Nah, ini semua dipisahkan dari aliran-aliran. Yang diperkenankan keluar hanyalah orientasi: keagamaan pada PPP, kekaryaan pada Golkar, kerakyatan pada PDI. Artinya apa? Aliran tidak mendapat tempat dalam politik kita. Institusi yang memiliki watak atau perwujudan aliran, itu ditebas. Lalu, dibikin penyederhanaan partai dan fusi-fusinya. Eh kok muncul kekuatan polilitik. Rupanya, yang dulunya namanya aliran, sekarang, muncul dalam kekuatan politik, tanpa nama.

Lalu di mana letak kekuatan politik Islam?

Ya, di dalam NU, Muhammadiyah, HMI. Lalu, gerakan mahasiswa tahun 1970-1980-an, kekuatan militer, birokrasi melalui Korpri, Golkar, PPP, PDI, golongan Kristen, semua ini bernama kekuatan politik. Besar kecilnya menurut tempatnya masing-masing. Kekuatan politik itu kan kehadiran aliran dalam bentuk yang tidak diakui negara. Mereka disantuni. Kayak NU, itu disantuni kehadirannya bukan sebagai aliran, melainkan sebagai tokoh-tokoh. Jadi, dianggap ormas saja. Kalau muktamar, dikasih bantuan duit. Tapi, kalau dimintai duit secara teratur, ya, tidak mau. Disuruh mengakui peranannya dalam GBHN, ya tidak ada.

Kan, organisasi politik formal kita hanya tiga?

Betul. Tapi berangsur-angsur kekuatan politik itu, yang gede dan bisa bertahan bertambah gede. Di antaranya, ya kekuatan Islam. Politik Islam terbelah dua: yang seperti NU dan yang tidak seperti NU.

Pertama, orientasi fungsi. Bagi NU, Islam itu munculnya dalam fungsi: Islam menyejahterakan, memperjuangkan keadilan, dan lain-lain. Nah, fungsi-fungsi ini dalam rumusan orde barunya namanya partisipasi. Kita akan berpartisipasi dalam pembangunan nasional. Di sini letaknya.

Tapi juga muncul yang lain. Mereka tidak muncul dalam fungsi, tapi bendera. Harus ada bendera Islam dalam kekuatan politik kita yang nantinya akan disusupkan ke dalam institusi politik yang ada. Ini adalah ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia).

Semacam, legitimasi baru, begitu?

Betul. Nah, seperti yang saya katakan tadi, politik kita terlalu praktis. Jadi, dukungan dicari dari semua kekuatan politik, tanpa peduli bahwa yang diminta dukungan juga kadang-kadang melakukan hal yang bertentangan dengan kebijakan Orde Baru sendiri.

Misalnya?

ICMI dikasih tempat, fasilitas. Pak Habibie membangun kekuatan dengan menghimpun para intelektual muslim dalam satu wadah dengan bendera Islam. Muslim kan bendera Islam, yang bertujuan mendominasi lembaga politik yang ada. Jadi, membenderaislamkan lembaga politik yang ada. Contohnya, mereka sangat bangga, “Golkar sudah kita kuasai.” Begitu kan mereka bilang?

Lalu, kalau tidak mau ikut, dianggap menentang Islam. Nah, ketika kami, yang dikatakan moderat — dalam arti tidak mau mengibarkan panji-panji Islam — hanya berusaha mengembangkan peranan Islam secara fungsional saja, dianggap berkhianat kepada Islam.

Salah satu peran yang hendak dimainkan NU dengan kembali ke khitah adalah menjaga kelangsungan demokratisasi. Seberapa efektif memperjuangkan demokratisasi dari luar “panggung politik”?

Setiap orang bekerja di tempat masing-masing. Kita sudah tahu, yang boleh bekerja secara formal di bidang politik adalah ABRI, birokrasi, serta orsospol. Kami-kami, ya, di luar. Apa bisa melakukan proses demokratisasi dari luar? Bisa kalau yang di luar bekerja, di dalam bekerja. Kalau di dalam tidak ada perubahan, ya, tidak akan bisa.

Berarti sia-sia?

Tidak. Sebab, kita siapkan warga masyarakat untuk jadi manusia demokrat yang berwatak kehidupan demokratis. Kalau mereka sudah dididik dalam suasana itu, nanti mereka yang akan mengubah lembaga-lembaga tadi. Wong, nanti mereka yang akan masuk ke mana-mana. Jadi, saya tidak pernah cemas. NU itu tidak punya ambisi untuk berkuasa. Itu soalnya. Ini juga membuat orang lain kerap tidak paham. Kami dianggap berbahaya, dianggap saingan. Lembaga segede kami ini pada umumnya berusaha mencari kekuasaan. Padahal, kami tidak. Dengan kata lain, dunia pemikiran politik kita belum punya tempat yang pas untuk ormas-ormas seperti NU.

Sebetulnya, mayoritas umat Islam di Indonesia ini seperti kami. Mereka tidak mau terlalu pusing dengan politik. Mau mereka, sudahlah, jangan ditarik-tarik dalam proses pemeliharaan dan pencapaian paham kekuasaan. Sayangnya, politisi kita tidak memahami itu dan masih memaksa-maksa juga.

Apakah aspirasi politik warga NU setelah kembali ke khittah kemudian terserap dan mendapat kanal di PPP?

Tidak juga, karena kami membebaskan warga. Pertama, kami menganalisasikan, mengalurkan aspirasi politik warga, menurut alurnya masing-masing. Kalau you mau jadi politikus, terserah, tinggal pilih salah satunya dan kami dukung secara moral. Yang tidak berkiprah politis tidak usah ikut-ikut. Mereka cukup melaksanakan hak politiknya dengan memberikan suara dalam pemilu. Lalu ada yang ke ABRI, birokrasi, itu semua kan kanal. Warga yang tidak berpolitik, ya, bebas saja mau nyoblos apa. Pokoknya, kami bebaskan warga NU dari “belenggu” PPP; kalau dulu PPP. Sekarang kami adil-adil saja.

Tentang peran kiai sebagai penghubung antara local tradition and the great tradition of Islam atau antara politik lokal dan politik nasional. Dengan kembalinya NU ke khitah, peran ini apa masih tetap?

Anda harus tahu bahwa Orde Baru itu mengalami perkembangan yang tidak terduga sebelumnya. Setelah mereka melakukan “dealiranisasi” politik, tidak ada nasionalisme, tidak ada Islamisme, sosialisme. Yang ada, ya, cuma ikut Pancasila doang. Maka, terjadi penggusuran lembaga atau institusi politik, termasuk parpol (partai politik) Islam. Tapi ternyata, dengan kehilangan parpol itu, ormas eks parpol ini tidak kehilangan basis dan kekuatannya. Dengan kata lain, hilang institusi politiknya tapi tidak kehilangan kekuatan politiknya. Itu terjadi secara mencolok di beberapa tempat.

Contohnya begini. Keluarga Berencana itu tidak bisa berhasil tanpa dukungan ulama. Begitu pula transmigrasi, lingkungan hidup, koperasi dan kesehatan masyarakat. Semuanya ke ulama. Bahwa, untuk Indomie atau biskuit juga orang perlu ke ulama, kan? Dengan demikian, para kiai dan ulama dibutuhkan. Karena dibutuhkan, dia jadi kekuatan politik, padahal dia bukan institusi politik. Dengan begitu, ormas-ormas Islam bisa bergerak menjadi kekuatan politik tanpa harus jadi lembaga politik. Di situ Anda lihat besarnya peranan kiai. Mereka mengendalikan gerak langkah organisasi yang tidak politis tapi punya kekuatan politis.

Ketika berkiprah di masyarakat, warga NU tersebar ke dalam berbagai kepentingan. Apakah ikatan “primordial” kepada NU bisa mengatasi perbedaan kepentingan?

Kenapa tidak? Dari dulu, NU harus melayani berbagai kepentingan. Mereka punya kemampuan survive yang tinggi, bahkan untuk mengatasi berbagai “jebakan”. Bahwa mereka akan digojlok oleh keadaan, juga dari sudut ilmu agama. Mereka harus menguasai ini semua karena mesti menjawab berbagai persoalan dalam masyarakat. Mereka sekarang punya keuntungan karena ada akses besar ke bidang informasi: telepon, faks, koran, segala macam. Jadi, apa yang harus dikhawatirkan? Kalau Anda ikuti lingkaran diskusi di NU, topiknya sangat luar biasa dan beragam. Antara lain di Jember pernah dibicarakan status DPR dilihat dari sudut prinsip syuro (permusyawaratan), adakah lembaga kerakyatan ini sesuai dengan prinsip syuro dan sudah mampu jadi media yang sesuai dengan prinsip syuro dalam Islam.

Begitu substansial?

Itu namanya memeriksa hukum tata negara kita dari sudut fikih. Mereka muda-muda dan bagus-bagus.

Kok bagus semua. Apa tidak ada kelemahannya?

Banyak sekali. Pertama, sepertinya NU itu tidak doyan administrasi. Datang bertamu jam tiga pagi, tidak telepon dulu. Tentu saja semua ini karena dorongan sense of belonging terhadap NU.

Ini yang membuat orang spontan, terdorong rasa memiliki tadi. Namun, sulitnya bukan main, lo, mengatur yang begini ini.

Kemudian sudut penglihatan yang terlalu ekslusif sehingga NU tidak dipahami di luar. Jadi, kalau ngikutin NU itu, kayaknya orang ketinggalan terus. Coba, apa Anda sudah paham semua kosakata di NU? Tiba-tiba keluar yang namanya ruju’ilal haq. Pusing, kan, semua? Mudah-mudahan ketua berikut nanti lebih mampu menerapkan asas kelembagaan.