Meneropong Lika-Liku Kekuasaan
Resensi Buku: ANEKA PEMIKIRAN TENTANG KUASA DAN WIBAWA, Penyunting: Miriam Budiardjo, Sinar Harapan, 1984, 208 hal.
Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid
Beberapa ahli maju dengan berbagai teori, Ada pendekatan multidimensional, ada kecondongan pada mekanisme kekuasaan, ada generalisasi yang terlalu nekat. Apakah nilai luhur penguasa Jawa?
KEKUASAAN tak dapat tidak haruslah ditinjau dari dua sudut pandangan. Pertama, teori kekuasaan yang terdiri dari sejumlah konstruk (bangunan teoretis) yang memperlihatkan “rasionalitas” kekuasaan. Kedua, teori yang diangkat dari pengamatan lapangan. Sudah tentu hasilnya berbeda. Yang pertama berbicara tentang bagaimana lembaga-lembaga yang berkaitan dengan kekuasaan berperi laku dan saling berhubungan. Dari sinilah terbentuk “penalaran sistem kekuasaan” (logic of power system). Miriam Budiardjo melakukan tinjauan dari sudut pandangan ini.
la menemukan inti penalaran sistem kekuasaan itu pada “definisi” kekuasaan. Menurut dia, kekuasaan adalah kemampuan untuk mempengaruhi tingkah laku orang lain sedemikian rupa, sehingga sesuai dengan keinginan pihak yang berkuasa (halaman 9). Kemampuan itu hanya dapat dianggap kekuasaan jika memiliki kekuatan sanksional. Bila tidak, maka dianggap cuma sekadar pengaruh.
Kekuasaan juga menyangkut alternatif tindakan yang mungkin diambil sejumlah pelaku. Karenanya, kekuasaan memiliki sebuah dimensi sangat penting: ia harus diselenggarakan (exercized).
Sekali dibahas tentang penyelenggaraan kekuasaan, timbul pertanyaan mengenai wilayah kekuasaan itu. Dalam hal ini Budiardjo mengemukakan sejumlah pandangan tentang ada tidaknya peluang mengambil alternatif bagi mereka yang berada di luar sistem kekuasaan itu sendiri. Ada yang menekankan aspek pemaksaan kehendak oleh elite atas kawula.
Tetapi ada juga yang justru melihat masih ada kemungkinan bagi para kawula untuk minimal turut mengambil keputusan. Beberapa pandangan diajukan untuk memperlihatkan konstrui masing-masing. Ada konstruk yang membagi lapisan masyarakat dalam elite kekuasaan, kekuatan penopangnya, dan massa rakyat (teori C. Wright Mills). Tetapi ada pula konstruk yang cair dan tidak begitu jelas pembagian kekuasaannya (David Riesman).
Terakhir, Budiardjo membahas kritik atas pendapat yang hanya mementingkan aspek pengambilan keputusan, dan mengabaikan aspek lain, misalnya perbedaan kepentingan dalam masyarakat. Kritik yang menekankan pendekatan multidimensional memperlihatkan adanya pembahasan yang rumit, seperti apakah langkanya keresahan dan protes berarti konsensus atau tidak.
Tulisan Budiardjo ini sangat menarik untuk dijadikan titik tolak pengamatan atas hakikat dan jalannya kekuasaan, tapi ia memerlukan juga gambaran tentang aktualitas wilayah kekuasaan. Contoh Amerika Serikat masih terlalu primer untuk menangkap varian-varian lebih kaya dari semua konstruk yang mungkin dapat dibuat. Tidak dilihat bagaimana kemungkinannya jika dimensi tradisi lawan proses pencapaian modernitas turut diperhitungkan. Juga keragaman bentuk dan jenis kekuasaan yang dibahas terasa sangat disederhanakan.
Soelaeman Soemardi semula mengikuti pula konstruk yang hampir sama dengan Budiardjo, tapi kemudian lebih memperhatikan mekanisme kekuasaan. Semula ia membahas salah satu aspek, yaitu proses pergeseran kekuasaan antara dua atau lebih kelompok elite. Setelah itu, Soemardi sampai kepada pandangan bahwa keputusan adalah hasil kompromi dari berbagai kelompok kepentingan. Dengan demikian, antara berbagai kelompok (atau “subsistem”) itu terjadi proses pelestarian (maintenance) dan integrasi berbagai kepentingan.
Teori fungsional-struktural tentang kekuasaan dengan tekanan pada kelompok kepentingan, akhirnya, membawa Soemardi kepada sebuah konstruk tentang “keseimbangan sosial” (halaman 41). Penggunaan komplementer pandangan yang berbeda itu menurut Soemardi bermanfaat untuk memahami masyarakat yang sedang mengalami “transisi”. Sayangnya, ia tidak membuat konstruk-konstruk yang memperlihatkan hubungan komplementer itu, sehingga tidak terlihat sebuah penalaran sistem kekuasaan di dalamnya.
Dua makalah berikutnya sangat menarik. Yang pertama adalah terjemahan (kesekian kalinya) tulisan Ben Anderson tentang pandangan orang Jawa terhadap kekuasaan. Yang kedua adalah semacam kritik atas karya Anderson itu, yang ditulis oleh Koentjaraningrat.
Anderson menulis dengan kegamblangan sebuah generalisasi, bahwa kekuasaan dalam pandangan orang Jawa bersifat mutlak. Ia tidak memiliki dimensi etis apa pun, selain mempertahankan dan melestarikan kekuasaan. la juga semata-mata hanya mengabdi kepada kepentingan sang penguasa melalui sejumlah perlambang, seperti kesaktian dan barang pusaka. Generalisasi seperti itu sejak semula memang patut dicurigai, karena menyembunyikan nuansa-nuansa halus dalam pandangan tentang kekuasaan. Kesalahan Anderson yang paling utama adalah kenekatannya membuat sebuah konstruk mutlak dari sebuah sudut pandangan belaka. Itu pun dianggapnya sudah multidimensional, kalau dipinjam istilah Miriam Budiardjo.
Kesalahan Anderson itu “dimanfaatkan” oleh Koentjaraningrat, yang menyanggah dengan pembuktian akan adanya variasi-variasi pandangan tentang kekuasaan di kalangan orang Jawa. Terpenting adalah nilai-nilai luhur yang dituntut dari para penguasa Jawa, sehingga bagaimanapun juga mereka tidak berbuat sesuka hati . Mereka harus memperhatikan “aturan permainan” yang sarat nilai.
Hanya saja, Koentjaraningrat tidak meneruskan pembicaraan tentang celah lebar antara tuntutan sedemikian tinggi dan pola pemenuhannya oleh para penguasa kerajaan Jawa, sehingga lagi-lagi tidak diperoleh konstruk yang jelas. Akibatnya, dari Koentjaraningrat kita juga tidak memperoleh penalaran sistem kekuasaan di kerajaan Jawa.
Adalah Soemarsaid Moertono yang mencoba membuat konstruk itu. Kaitan antara budi dan kekuasaan diletakkannya dalam konteks sejarah berupa pendekatan “kategoris-historis” (halaman 150-151), Itu dilakukannya dengan telaah atas pendapat beberapa pujangga Jawa dari periode “Mataram akhir”, seperti Jayadiningrat 1.
Pujangga ini menunjuk kepada empat unsur penopang negeri: prajurit, pendeta, saudagar, dan petani. Dari titik ini kemudian dilihat bagaimana wawasan “orang Jawa” tentang kekuasaan, dikaitkan dengan pengembangan kepribadian, terutama bagi calon penguasa.
Melalui cara penanaman hubungan antara budi dan kekuasaan, dipelihara sistem kekuasaan yang jelas wawasan kesejarahannya. Begitu pula, tampak nyata batas-batas kekuasaan itu sendiri, antara pelbagai tingkat dan lembaga pemerintah.
TETAPI gambaran Moertono itu adalah sesuatu yang ideal, sehingga tidak dapat diberlakukan sebagai konstruk yang mewadahi perkembangan. Jika misalnya ada raja lalim, haruskah ia tetap ditaati, atau justru harus ditentang? Legitimasi apakah yang dipakai untuk menentangnya, jika hal itu dibolehkan? Jelas sekali konstruk seperti ini tidak menunjukkan penalaran sistem kekuasaan yang kita perlukan.
Garis besar pemikiran Islam tentang kekuasaan dikemukakan oleh A. Rahman Zainuddin. Pendekatannya serupa dengan Soemarsaid Moertono, yaitu mengembangkan “wawasan etis” Islam tentang kekuasaan. Dimulai dari rumus: kekuasaan adalah amanat Allah, dan pelaksanaan kekuasaan itu sebagai peribadatan kepada-Nya. Lalu diungkapkan berbagai aspek pelaksanaan kekuasaan, di antaranya pandangan yang harus selalu tertuju kepada pertanggungjawaban di hari akhirat nanti.
Sekali lagi kita disuguhi sebuah konstruk yang terlalu idealistis, yang tidak memungkinkan kita membuat penalaran sistem kekuasaan yang kompleks dan multidimensional.
Dengan segala kelemahannya, buku ini haruslah dipujikan sebagai bacaan berharga. Apalagi di kala kita tengah dihadapkan pada pelbagai persoalan yang berkaitan dengan kekuasaan dan penyelenggaraannya di negeri ini. Misalnya, sampai di mana partisipasi dibiarkan tampil dalam bentuk kritik sosial? Bagaimana kekuasaan efektif dapat dibatasi, tanpa harus merombak sistem pemerintahan yang ada? Teori-teori dalam buku ini dapat dijadikan “kaca pemeriksa” untuk memudahkan telaah atas berbagai masalah di atas.