Menilik Hubungan NU-PKB

Sumber foto: https://jateng.nu.or.id/opini/khittah-nu-dan-masa-depan-pkb-w2MsI

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

Beberapa bulan yang lalu, ketika penulis sampai di Gringsing, Batang, Jawa Tengah, datang Kyai Muhaimiman Gunardho dari Parakan (Temanggung) beliau bertanya pada penulis: seorang fungsionaris PBNU telah menimbulkan kegelisahan warga NU di pantai utara Jawa Tengah, karena menyatakan tidak ada hubungan antara NU dan PKB. Bagaimanakah kita –orang-orang PKB– harus bersikap terhadap hal itu? Penulis ganti bertanya, apakah sudah dijelaskan bahwa hubungan organisatoris antara keduanya itu tidak ada? Sedangkan hubungan historis dan fungsional antara keduanya masih tetap ada? Kyai Muhaiminan Gunardho menjawab hal itu tidak diterangkan. Penulis melanjutkan bertanya: Kyai bermaksud menang pemilu ataukah menang berdebat? Kyai Muhaiminan Gunardho menjawab: menang pemilu. Maka penulis menjawab: kalau begitu, kyai tidak perlu menjawab “keterangan” fungsionaris PBNU tersebut, melainkan menitikberatkan tabligh kyai guna memenangkan PKB dalam pemilu yang akan datang.

Kejadian di atas menunjukkan pada tidak jelasnya hubungan antara NU dan PKB. Mungkin ini di sebabkan oleh kenyataan, sebagian dari fungsionaris NU di berbagai tingkatan masih berpandangan mereka “berhak” menduduki jabatan-jabatan pemerintahan. Dengan demikian, mereka beranggapan posisi di lingkungan NU memberikan legitimasi pada mereka untuk menduduki jabatan-jabatan tersebut. Ini berarti, mereka tidak memahami terjadinya perubahan kedudukan dalam posisi NU sendiri.

Setelah PKB terbentuk mereka masih melihat NU berperan dalam politik praktis dan tidak melihat posisi NU itu telah diambil alih oleh PKB dan organisasi-organisasi politik “praktis” lainnya. Dengan kata lain, mereka telah mencoba untuk menerapkan kepemimpinan NU “gaya lama?”.

Yang tidak disadari, yang menjadi fungsi NU dewasa ini dalam politik adalah “berpolitik inspirasional”. Maksudnya, NU memberikan inspirasi bagi organisasi-organisasi politik (parpol) untuk berkiprah di lingkungan negara dan pemerintahan. Ini berarti organisasi-organisasi politik itu yang memperebutkan jabatan-jabatan pemerintahan (eksekutif, legislatif dan yudikatif), dengan menggunakan acuan-acuan yang dipersiapkan oleh PBNU. Dengan demikian, etika, moralitas atau akhlak politik kita akan terangkat naik, tidak lagi berpusat pada upaya mencari posisi dalam pemerintahan, melainkan untuk melaksanakan prinsip politik tertentu, seperti kepentingan rakyat banyak, penciptaan kedaulatan hukum dan pemerintahan yang bersih.

Karena itulah, harus ada perbedaan yang jelas antara “politik praktis” dari “politik inspirasional”. Ketidakmampuan menyadari hal itu, akan berakibat pada tingginya derajat kerancuan di kalangan para pimpinan NU sendiri. Kenyataan inilah yang seharusnya disadari oleh semua pihak termasuk parpol-parpol golongan lain yang ingin mengangkat para pemimpin NU sebagai partner mereka, dalam pemilihan Presiden, Gubernur, Walikota dan jabatan lainnya. Selama sikap itu dipertahankan, selama itu pula mereka mengingkari reformasi politik yang sesungguhnya karena hanya mementingkan ambisi politik pribadi maupun kepentingan golongan. Karena itu, bila memang menghendaki reformasi politik yang sebenarnya, maka hendaknya NU tidak untuk di pecah-belah dari luar yang sebenarnya mengingkari reformasi politik itu sendiri.

*****

Beberapa watu yang lalu, profesor Dr. Mahfud MD menyatakan kepada penulis, seorang Kyai di Jawa Tengah/DIY menghubunginya dan memberitahukannya, bahwa Ketua Umum PBNU KH. Hasyim Muzadi sibuk mencari partner bagi pencalonannya dalam pemilihan Presiden/ Wakil Presiden yang akan datang. Beliau mengkhawatirkan adanya dua orang calon dari NU yaitu tokoh tersebut dan penulis sendiri, yang diperintahkan ulama-ulama sesepuh untuk menjadi calon Presiden. Karenanya, Prof. Dr. Mahfud MD akan “sowan” kepada KH. Abdullah Faqih di Langitan, Widang (Tuban) guna meminta beliau memanggil KH. Hasyim Muzadi. Penulis tahu, bahwa tujuanya untuk melarang tokoh tersebut menjadi Presiden/Wakil Presiden. Penulis menyatakan kepada Prof. itu untuk meminta agar KH. Abdullah Faqih menyatakan kepada KH. Hasyim Muzadi penulis tidak ikut-ikutan mengeluarkan larangan itu. Sebabnya, penulis tidak keberatan KH. Hasyim Muzadi jadi calon apa pun karena memang itu adalah haknya.

Sebagai seorang warga negara tidak ada larangan bagi fungsionaris NU di segala tingkatan untuk menjadi apapun di negeri ini, haruslah dihormati. Bagaimana mungkin kita mendirikan Republik yang kuat kalau Undang-Undang kita injak-injak sendiri. Bahwa para pemilih akan melihat kejanggalan seorang fungsionaris harian NU –hal ini juga berlaku bagi Muhammadiyah– duduk di jabatan efektif kenegaraan. Ini adalah urusan para pemilih, tentu mereka tidak mau dianggap “tolol” dalam memilih orang untuk mengisi jabatan strategis di negeri ini. Dibutuhkan untuk mengisi jabatan itu, seorang pemimpin yang memahami dengan jelas batasan-batasan jabatan itu sendiri dan siapa saja yang dapat mengisinya.

Hal inilah yang sering dilalaikan, karena masing-masing asyik dengan perebutan jabatan tersebut sebagai kekuasaan tertinggi yang ingin diraih seorang. Pemimpin inilah yang seringkali membuat hal-hal yang aneh dalam memperebutkan jabatan itu. Orang tidak tahu kalau telah meraih jabatan tertinggi di bidang eksekutif itu, apa yang harus diperbuat dengan orientasi kehidupan, motif-motif apakah yang dimiliki bangsa ini untuk memajukan diri di masa yang akan datang. Padahal, dengan sumber-sumber alam yang begitu besar seperti produk hutan, produk pertambangan dan kekayaan laut yang sangat besar kita seharusnya memiliki perekonomian yang sangat kuat, dan menjadi salah sebuah negara yang besar dalam segala-galanya di dunia.

Uraian diatas menjelaskan, mengapa yang kita perlukan seorang pemimpin dan bukannya sekedar seseorang yang menjabat kedudukan pejabat tertinggi sebuah bangsa. Kaitannya dengan hal ini, sangat menarik apa yang dikemukakan oleh Dr. Sjahrir, bahwa pada saat ini bangsa kita tidak memiliki pemimpin, yang ada hanyalah sekedar penguasa belaka. Tentu yang dimaksudkannya adalah pemimpin formal bangsa kita, dalam artian pejabat pemerintahan yang ada saat ini. Kemungkinan besar bangsa dan negara ini akan dipimpin oleh seseorang dari NU, membuat pertanyaan yang diuraikan di atas menjadi penting. Bagaimanakah jika memang benar KH. Hasyim Muzadi bersedia dicalonkan sebagai Presiden/ Wakil Presiden? Tentu saja, jawabnya sangat mudah ia dapat saja bersikap menerima pencalonan itu, namun etika/akhlak harus dijaga dalam hal ini. Menjaganya adalah dengan meninggalkan jabatan harian di lingkungan NU, karena harusnya memang NU berperan inspiratif dan bukannya melakukan peranan politik praktis.

Karena PKB jelas memiliki potensi meraih mayoritas tunggal dalam pemilu yang akan datang, karena orang sudah bosan dengan tidak adanya kemampuan menyelesaikan dengan “tangan besi” dalam menyelesaikan berbagai pelanggaran hukum/kecurangan dan skandal yang terjadi. Demokrasi telah diartikan secara salah oleh para pemimpin politik, yaitu kemerdekaan bagi mereka untuk bertindak “semau gue” dalam upaya memenangkan pemilu bagi partai masing-masing. Para petinggi itu melupakan sebuah hal, bahwa penyimpangan hukum di atas tidak akan dilupakan oleh masyarakat, dan digunakan dalam menilai para calon pemegang jabatan–jabatan kunci di negeri ini. Tentu saja dari sekarang dapat diperkirakan, yang akan terpilih adalah calon-calon yang bersih, jujur dan tahu apa yang harus diperbuat dalam memimpin bangsa ke arah masa depan yang diharapkan.

Karena prospek yang cukup baik bagi seorang warga NU -melalui PKB- untuk meraih jabatan eksekutif tertinggi di negeri ini, maka menjadi sangat penting apa yang ditakutkan oleh Kyai yang menyatakan kepada Prof. Dr. Mahfud MD, akan “bahaya” beragamnya calon Presiden/Wakil Presiden dari warga NU dalam pemilu yang akan datang. Penulis justru berpendapat sebaliknya, karena ia percaya para pemilih tidak akan gegabah menentukan pilihan, mereka akan memilih seorang pemimpin yang benar-benar akan membawa mereka ke masa depan yang diharapkan, dan memimpin bangsa kepada sebuah tingkatan masyarakat makmur (Affluent Society). Kondisi ini dimaksudkan UUD 45 sebagai masyarakat adil dan makmur dan dapat diwujudkan dalam dasawarsa akan datang ini, jika memilih seorang pemimpin yang tepat. Pilihan yang kelihatannya sulit, tetapi dengan mudah akan dilakukan bangsa ini dalam pemilu yang akan datang.