Menjembatani Rukun Iman dan Rukun Islam

Sumber Gambar https://bincangmuslimah.com/khazanah/membumikan-rukun-iman-dan-rukun-islam-ala-gus-dur-36682/

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

Kenapa umat Islam tidak begitu peduli dengan masalah-masalah sosial, padahal ayat-ayat tentang itu demikian banyak dan jelas? Mengapa misalnya perjuangan dengan harta tidak banyak dilakukan, padahal hampir dalam semua ayat tentang jihad, perjuangan dengan harta benda disebut lebih dahulu sebelum jihad dengan jiwa (perang)? Pertanyaan ini juga perlu direnungkan kalangan NU.

Beberapa waktu yang lalu, misalnya, seorang peneliti menemukan kasus dalam penelitiannya di daerah Subang. Di tempat itu para haji yang kaya membangun masjid yang megah atas swadaya masyarakat. Para haji itu menikmati kesempatan yang cukup untuk beribadah, sedangkan para buruh berangkat pukul 03.00 pagi untuk bekerja dan mereka tidak bisa mengerjakan salat subuh. Bagaimanakah nasib buruh itu di akhirat, padahal masjid-masjid itu dibangun sebagian besar dari cucuran keringat mereka? Apakah begitu saja diputuskan bahwa Pak Haji itu masuk surga dan buruh mereka masuk neraka?

Persoalan seperti ini meluas sekali di masyarakat, dan orang Islam belum bisa memberikan perhatian yang sewajarnya. Perbedaan taraf ekonomi di kalangan sunni sendiri sangat besar. Mungkin di Indonesia tidak demikian gawat. Tetapi di negara lain seperti Mesir, persoalan itu demikian mencolok. Di satu pihak orang memiliki tanah puluhan ribu hektar, sementara orang lain tak punya apa-apa. Lalu dilaksanakanlah land-reform. Tapi serta merta ulama melancarkan tentangan, padahal maksud dari kebijaksanaan land reform adalah menyamakan kedudukan manusia di muka hukum, agar perbedaan si kaya dan si miskin tidak terlampau jauh. Sebab, lebarnya jurang pemisah ini akan sangat menguntungkan kaum komunis.

Ada sebuah ayat yang sangat relevan dalam masalah ini yaitu surah Al-Baqarah ayat 177. Ayat tersebut berbunyi:

Laisal-birra an tuwallu wujuhakum qibalal-masyriqi wal-magribi wa lakinnal-birra man amana billāhi wal-yaumil-akhiri wal-malā ‘ikati wal-kitābi wan-nabiyyin, wa ätal-māla ‘alā hubbihi żawil-qurbā wal-yatāmā wal-masākīna wabnas-sabili was-sä ilīna wa fir-riqab, wa aqāmas-ssalāta wa ātaz-zakāh, wal-mufuna bi’ahdihim iza ahadu, was-sābirīna fil-ba’sa i wad-darra’i wa hinal-ba’s, ulā’ikallazīna sadaqu, wa ulā ika humul-muttaqun.

(Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat, dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa.)

Dengan mengkaji ayat tersebut, kita bisa melihat bahwa persoalan yang mendesak untuk dipecahkan adalah keterpisahan antara dua komponen dalam sistem keyakinan Islam, yaitu keyakinan akan keimanan yang sangat pribadi, sebagaimana yang tercantum dalam Rukun Iman dan dimensi sosialnya sebagaimana tercantum dalam Rukun Islam. Pada dimensi individu, ukuran keimanan bersifat sangat pribadi dan merupakan urusan seseorang dengan Allah (hablun minallah). Sedang pada dimensi sosialnya, syahadat yang tampak bersifat sangat pribadi itu ternyata berwawasan sosial, karena pengucapannya harus dilakukan di muka orang banyak, seperti halnya dalam perkawinan.

Salat, apalagi berjamaah, berfungsi mencegah perbuatan keji dan munkar, yang berarti berorientasi menjaga ketertiban masyarakat. Zakat jelas merupakan ibadah sosial. Puasa adalah keprihatinan sosial dan ibadah haji adalah saat berkumpulnya kaum muslimin dari segala penjuru dunia dengan berbaju ihram yang sama tanpa memandang pangkat dan kedudukan. Persoalannya kini adalah bagaimana dimensi pribadi ini bisa diterjemahkan secara sosial. Karena di dalam Islam ternyata dimungkinkan menjadi mukmin yang baik dan sekaligus menjadi makhluk asosial. Sebaliknya, bisa terbentuk pula sikap hidup yang begitu sosial tetapi tanpa keimanan. Usaha menjembatani kedua bentuk keberagamaan yang ekstrem ini adalah sebuah keharusan. Ayat tadi memberikan petunjuk, struktur masyarakat yang adil harus ditandai dengan perhatian yang cukup terhadap kesejahteraan orang-orang yang menderita dan pengerahan dana untuk membela kaum lemah. Secara epistemologis, konsep ini belum pernah dirumuskan dan disepakati sebagal soal teologi, melainkan dianggap sebagai soal politik. Dengan demikian yang masih diperlukan adalah pengembangan akidah Islamiyah yang mempunyal komponen Rukun Iman dan sekaligus Rukun Islam dalam bentuk yang terjembatani.

Mengembangkan Teori Sosial

Mungkin orang akan mengatakan, masalah sosial dicukupi oleh ajaran tentang zakat. Padahal zakat bukan bertujuan menyelesaikan persoalan kemasyarakatan secara umum, melainkan “hanya” menyucikan harta, merupakan tanda keikhlasan kita kepada Allah. Dengan bahasa lain, zakat sama dengan “memberi ikan” (tabarru), sedang memecahkan masalah sosial adalah “memberi pancing” Karena itu pendapat bahwa zakat sama dengan pajak tidak bisa diterima sama sekali. Pengembangan zakat menjadi zakat produktif adalah sebuah penyimpangan. Silakan melakukan upaya-upaya meningkatkan produktivitas, tetapi pakailah sumber dana lain di luar zakat.

Berdasarkan pemikiran ini perlu dikembangkan kerangka teori sosial. Ini bertolak dari pendapat bahwa Islam tidak mempunyai teori sosial. Ternyata pendapat terakhir ini menimbulkan kemarahan di kalangan umat Islam, karena didakwa tidak mempercaya bahwa Islam telah sempurna. Padahal sebenarnya kesempurnaan Islam barulah dalam bentuk penetapan prinsip-prinsip. Buktinya kita masih perlu menjabarkan nash menjadi hukum-hukum yang terinci. Dan dalam rangka penjabaran ini, pemikiran tentang Islam akan terus berkembang. Bahkan menurut sebagian mufassirin arti kata ‘akmaltu’ dalam ayat 3 Surat al Maidah bermakna ‘anhaitu, yaitu bahwa dalil-dalil keagamaan sudah tidak akan turun lagi. Dan kalau mau kurang ajar penafsiran bisa dilanjutkan bahwa firman itu menyuruh. Selanjutnya pakailah pikiranmu sendiri,

Prinsip-prinsip yang dilakukan dalam Al-Quran ada tiga, yaitu persamaan (al-musawah), musyawarah (asy-syura) dan keadilan (‘adalah), Dari prinsip ini lalu bisa dikembangkan menjadi teori sosial. Dan tentu saja, hasil dari pengembangan ini hanya berlaku pada masa dan tempat tertentu. Sedang yang berlaku terus adalah “apa yang disepakati oleh jumhur atau seluruh ulama” (ijma). Sebagai contoh, tidak ada ijma tentang bentuk negara, kekuasaan iman (kepala negara) dan sebagainya. Pada dasarnya, teori sosial menurut Islam belum disusun. Sedangkan yang digunakan selama ini barulah “wawasan” Islam. Wawasan adalah “pandangan” (ra’yu). Sedangkan teori merupakan pemikiran yang bulat dan utuh.

Sebagai contoh dari kekosongan teori sosial, Islam belum pernah merumuskan secara bulat, utuh dan terinci tentang hubungan antara individu dengan negara. Misalnya, tidak pernah dirinci sejauh mana rakyat harus taat kepada penguasa. Selama ini yang dikenal adalah tak perlu taat kepada suatu perintah yang merupakan kedurhakaan (maksiat) kepada Allah. Sementara itu di dunia ini telah berkembang dengan pesat teori-teori sosial seperti komunisme, kapitalisme, dan lain-lain.

Memang beberapa cendekiawan Muslim telah berusaha menyusunnya. Tetapi selama ini hasil yang mereka capai baru merupakan pendapat perorangan, belum menjadi kesepakatan sehingga belum tentu bisa dikatakan sebagai teori sosial Islam. Konsep Wilayat ul-Faqih yang dirumuskan oleh Imam Khomeini adalah teori kenegaraan, sebab konsep tersebut setidaknya mengandung dua hal yaitu bentuk negara dan proses penggantian kekuasaan. Di dalamnya disebutkan bahwa bentuk negara adalah jumhuriyah (republik) yang di dalamnya fuqaha menempati kedudukan tertinggi. Mereka tergabung dalam dewan fuqaha yang juga dinamakan maraji’ addin al-ulya (sumber agama yang luhur) dan keputusan mereka mengikat negara. Teori ini jelas berbeda dengan kapitalisme yang meniadakan kekuasaan yang diterima di luar kekuasaan negara. Juga berbeda dengan komunisme yang menjadikan partai sebagai pemegang kekuasaan tertinggi.

Meskipun demikian konsep Wilayatul Faqih belum bisa dikatakan sebagai teori Islam. Konsep tersebut lebih tepat disebut sebagai pemikiran pribadi Imam Khomeini yang hanya berlaku di Iran. Di Arab Saudi, raja memegang kekuasaan tertinggi sementara para ulama hanya menjadi penasihat dengan fungsi konsulatif belaka. Di sana juga tak ada perwakilan rakyat semacam DPR. Sedangkan di Pakistan ada gabungan antara kekuasaan presiden dan perdana menteri seperti yang ada di Prancis. Baik Iran, Arab Saudi maupun Pakistan yang menyebut dirinya negara Islam. Tetapi siapapun sulit mengatakan siapa di antara mereka yang benar-benar Islami.

Pernyataan bahwa Islam tidak mempunyai teori sosial maupun kenegaraan tidak mengganggu keyakinan tentang kesempurnaan Islam. Sebab, prinsip-prinsip yang mempunyai nilai kebenaran abadi telah secara lengkap dibakukan. Dari sini dapat dibuat teori-teori yang di antaranya bisa berlaku terus, dan di antaranya bisa diubah sewaktu diperlukan.

Teori sosial harus menyediakan tempat yang selayaknya bagi upaya-upaya pembebasan masyarakat dari penjajahan dalam segala bentuk, keterbelakangan, dan kemelaratan. Sebab ketiganya sebenarnya hanya merupakan akibat saja dari struktur masyarakat yang pincang.

Muktamar NU mendatang hendaknya bisa merespons hal-hal di atas. Jika Muktamar melalaikan tugas ini, artinya NU hanya bermain-main dan tidak mau mengerti bahwa dirinya hidup di tengah-tengah suatu bangsa yang nyata-nyata ada.

Dari sini kita berusaha membuat tawaqqu’at (proyeksi) ke masa depan. Yaitu apa tugas NU setelah Muktamar ke-28 nanti (periode 1990-1994)? Untuk itu yang terlebih dahulu harus dijawab adalah apa kebutuhan bangsa pada saat itu. Sebab pada tahun 1999, bangsa kita akan lepas landas. Istilah lepas landas terdengar sederhana tetapi mempunyai konsekuensi yang sangat besar yang mencakup perubahan total dalam cara hidup bangsa. Kita hidup dalam era industrialisasi besar-besaran. Nilai-nilai yang selama ini kita pahami akan terjungkir balik. Kalau tidak bersiap-siap menghadapi masa itu, maka NU akan terjebak pada kegiatan mengurusi soal-soal yang tidak pokok dan meninggalkan soal-soal pokok.

Karena itu Muktamar ke-28 harus mampu menghasilkan keputusan-keputusan yang membawa warga NU kepada masa persiapan menuju era lepas landas itu. Tantangan yang terbesar bagi bangsa ini harus kita rumuskan, misalnya berupa rumusan tentang wujud tantangan yang ditujukan kepada agama. Problem pokoknya adalah di mana kedudukan syariah. Sebab ternyata syariah sebagai sebuah keseluruhan tidak bisa diundangkan. Yang perlu kita ikhtiarkan adalah bagian syariah yang mana yang mesti diundangkan dan bagian mana pula yang cukup dibiarkan saja menjadi etika (akhlaq) masyarakat.

Era lepas landas menuntut beberapa persyaratan di luar bidang “agama”. Persyaratan pertama, pertumbuhan ekonomi harus tetap tinggi. Pertumbuhan yang tinggi hanya mungkin jika ada efisiensi serta kemampuan untuk mengelola segala sumberdaya sebaik-baiknya. Efisiensi berarti, antara lain, kemampuan untuk mengekspor sebanyak-banyaknya dan menyediakan kebutuhan dalam negeri semurah-murahnya. Efisiensi ini diperlukan untuk bersaing dalam peraturan ekonomi internasional. Efisiensi memerlukan ‘maudlu’iyyah (obyektivitas), berupa ukuran-ukuran yang jelas untuk memastikan adanya hak dan kewajiban tertentu. Untuk melindungi obyektivitas diperlukan keadilan dan kepastian hukum. Artinya, akan tiba saatnya, misalnya, ketika seseorang terbukti secara formal tidak berhak menjabat suatu jabatan yang dipegangnya, akan ditindak oleh pengadilan berdasarkan tuntutan yang diajukan oleh orang yang merasa memenuhi persyaratan formal. Tiap pelanggaran, baik oleh pemerintah maupun masyarakat, bisa dituntut ke pengadilan.

Keadilan hukum membutuhkan kedaulatan hukum, bukan kehendak satu dua orang penguasa. Kedaulatan hukum berarti hak untuk berbicara secara bebas. Hak berbicara secara bebas membuahkan mekanisme kontrol atas pemerintahan secara efektif.

Kebutuhan-kebutuhan masa depan ini saling bertalian. Pertanyaan inti yang kemudian muncul adalah bagaimana NU turut menyumbang ke arah terpenuhinya kebutuhan bangsa itu, tanpa mengganggu stabilitas nasional? Selama ini belum ada satu pihak pun yang sanggup melakukannya. Setiap usaha ke arah demokratisasi pasti menimbulkan konflik sengit. Kalau NU sanggup memberikan sumbangan itu, yang bahkan secara teoretis pun pada saat ini mustahil dicapai, akan sangat bagus sekali.