Muhammadiyah, Pewaris Gerakan Kebangsaan dengan Peran yang Canggih

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid
K.H. Abdurrahman wahid, tokoh muda yang lahir dan tumbuh di lingkungan Nahdlatul Ulama (NU), dikenal luas sebagai cendekiawan-pemikir, dan peminat banyak masalah. Mulai dari persoalan-persoalan mondial sampai perdesaan, politik, kebudayaan, agama, pendidikan, filsafat, dunia humor, dan juga jangan lupa… dunia kecantikan. Tidak keliru, jika seorang cendekiawan, teman akrab Abdurrahman Wahid, memberi gelar kepada Ketua Tanfidziah NU ini sebagai “manusia majemuk, atau dalam bahasa DR. Nurcholish Madjid melukiskannya sebagai “manusia ensiklopedis, resourcefull”. Tetapi, tidak banyak orang yang mengetahui bahwa Gus Dur panggilan akrab Abdurrahman Wahid dalam usia 44 tahun sekarang pernah berlabuh tiga tahun di lingkungan keluarga Muhammadiyah “Ketika masih SMEP di Yogyakarta, saya tinggal di rumah K.H. Djunaid, kawasan Kauman Yogyakarta, selama tiga tahun. Karena itu, saya tahu persis beberapa pemuka Muhammadiyah,” cerita Abdurrahman Wahid mengenang masa remajanya awal ’50-an. Mungkin karena persentuhannya yang hanya ‘sebentar’ dengan Muhammadiyah, dan sekarang dikenal dekat dengan tokoh-tokoh muda Muhammadiyah itulah, dengan senang hati putra K.H. Wahid Hasjim ini mau menjawab pertanyaan-pertanyaan Iqbal Abdurrauf Saimima dari Panjimas. Beberapa petikan dari percakapan khusus yang berlangsung santai, dan penuh humor, di kantor PBNU Kramat Raya 64 Jakarta itu, diturunkan lengkap di bawah ini:
Dalam kapasitas sebagai Ketua PB NU, barangkali Gus Dur bisa memberikan harapan-harapan kepada Muktamar ke-41 Muhammadiyah di Solo?
Ya, bisa. Cuma, gimana, yaa?! (Tertawa, agak kikuk). Sebagai orang NU, harapan saya, tentu, didasarkan kepada mencari langkah-langkah persamaan antara NU dan Muhammadiyah, atau lebih luas lagi mencari titik-titik temu dari sesama gerakan Islam. Jadi, dasar harapan saya di sana, tidak bisa di luar itu. Karena bagaimanapun juga, konteks Muhammadiyah-NU begitu dekat, meski antara keduanya merupakan entitas yang berdiri sendiri-sendiri, dengan titik persamaan dan titik perbedaannya. Biar begitu, saya melihatnya dari titik persamaan, yaitu karena atas dasar apa yang disebut “sesama umat Islam.”
Saya melihat, problem Muhammadiyah dengan NU, agak berkebalikan. Pada NU, problemnya lebih merupakan ‘penataan organisasi dengan struktur yang kuat, dan penciptaan infrastruktur dengan tata kerja yang rapi. Profesionalisme NU masih jadi problema. Di samping itu, adalah mengembangkan pandangan-pandangan yang lebih profesional-organisatoris di masa depan. Pada Muhammadiyah, mekanisme organisasi dengan segala tata kerjanya sudah bukan masalah lagi, demikian juga dengan pemikiran profesional, sudah berkembang dengan baik.
Yang perlu saya garis-bawahi di sini, terutama adalah mengenai keterlibatan kemasyarakatan Muhammadiyah sudah begitu kompleks. Demikian canggihnya keterlibatan sosial Muhammadiyah itu, sehingga dalam Muhammadiyah, misalnya, tidak perlu ada sikap yang mempertanyakan: “bagaimana Muhammadiyah menghadapi Pemilu 1987?” Di situ, saya melihat, dalam Muhammadiyah, memang, ada pembidangan sikap atau kerja yang profesional.
Tetapi, kemudian, yang menjadi ‘problema dalam Muhammadiyah sekarang adalah solidaritas. Solidaritas yang saya maksudkan di sini bukan solidaritas dalam pengertian sempit karena solidaritas eksternal tidak ada problem. Contoh, suara ke luar Muhammadiyah selalu bersikap sama, sehingga kesan orang luar, susah melihat Muhammadiyah itu, karena “harus mau bicara dengan siapa, semua orang suaranya sama,” hampir-hampir tidak ada nuansa. Suara Muhammadiyah dalam pemikiran keagamaan, bagi orang luar, selalu hanya menerima satu sikap dan satu suara saja, “Cukup, Qur’an dan Hadits!” Jawaban semacam itu yang terus-menerus ditunjukkan oleh tokoh-tokoh Muhammadiyah di level atas sampai kepada mereka yang mengaku anggota Muhammadiyah biasa.
Contoh ini menunjukkan pengaruh kuat solidaritas-external dalam Muhammadiyah. Sepintas kelihatannya wajar, tetapi bagi orang luar, justeru sangat gelap dan sukar untuk melihat, bagaimana jawaban-tunggal semacam itu dalam praktiknya, terutama yang menghendaki pertimbangan rasio dan nuansa. Bagaimana Muhammadiyah menempatkan dua hal itu dalam konteks pemikiran keagamaan? Bagi orang luar, sekali lagi, agak gelap, karena adanya tembok solidaritas external, tanpa nuansa tadi, terlalu kokoh.
Hal seperti ini, dalam NU, agak lain, karena NU sangat menekankan nuansa. Seribu pandangan terungkap dengan gampang saja, sehingga ada kesan, hanya ada ‘kekacaubalauan’ dalam NU. Padahal, sudah pada tingkat menentukan masalah bersama, selalu mudah. Kenapa? Karena adanya variasi pandangan yang begitu luas, Justeru pembahasan menjadi lebih intensif, dan tidak muter-muter menjadi uneg-uneg. Dalam konteks itu, pembahasan justeru secara bertahap, berkembang, dan maju. Karena itu, bagi orang luar, NU itu mengundang kebingungan.
Dengan demikian, menurut saya, solidaritas-external Muhammadiyah seperti sekarang, memerlukan pemikiran bersama. Karena semua pihak (termasuk NU) berkepentingan dengan Muhammadiyah, sebab kalau yang tumbuh di antara orang Muhammadiyah, hanya solidaritas-external tidak wajar, akan menjadi Muhammadiyah yang mengganggu semua orang. Tapi sebaliknya, kalau solidaritas-external Muhammadiyah itu tumbuh sangat kokoh, ya, kita semua merasakan keenakannya, ikut menikmatinya.
Untuk mencapai solidaritas-external demikian, diperlukan suatu pola, yaitu bagaimana bertenggang-rasa dan bertolak-angsur di dalam pengambilan keputusan. Ini yang sampai sekarang, menurut saya, masih menjadi ‘tanda tanya’ –lihat perdebatan yang tak selesai-selesai mengenai asas Pancasila itu dalam Muhammadiyah?! Tampak di permukaan begitu, hal ini mengindikasikan bahwa tidak adanya mekanisme untuk menyamakan pendapat secara bertahap. Yang ada kemudian monolog, dan bukan dialog. Suara A dan suara B dalam masalah yang sama, dan nanti dalam forum resmi, maka akan terjadi ‘tabrakan. Itu suatu hal yang saya khawatirkan, suatu proses yang nantinya akan menghasilkan lompatan-lompatan.
Dengan semua pertimbangan itu, maka harapan saya kepada Muktamar XXXXI Muhammadiyah adalah memperkokoh solidaritas-external yang dialogis, dengan mengembangkan tahapan-tahapan yang berjangka panjang. Ini harapan saya, dan bukan penilaian.
Nah, jikalau solidaritas-external Muhammadiyah dikembangkan secara bertahap, dialogis, dan memperkenankan tradisi take and give, serta menumbuhkan nuansa yang sangat tinggi dalam pengambilan keputusan, maka dengan sendirinya, dampaknya berkaitan sekali dengan kepentingan umat, yaitu terbentangnya ruang bagi dialog Muhammadiyah dengan kelompok ‘non-Muhammadiyah. Sebab, bagaimanapun, dalam masalah-masalah nasional, antara organisasi-organisasi Islam punya kepentingan yang sama menekankan akhlakul karimah, kesejahteraan sosial yang merata, dan semacamnya.
Tapi, sejauh menyangkut patokan-patokan perjuangan orang-orang Islam sendiri, tentu, menghendaki agenda tersendiri, sementara ini yang menyamakan itu, cuma kesamaan emosi saja. Seperti saya, dalam posisi seperti sekarang, menginginkan adanya counterpart di teras kepemimpinan Muhammadiyah, yang punya wawasan dan bisa diajak ngomong. Oke, saya temukan di sana, tetapi tidak setingkat dengan saya, dalam pengertian punya tempat di kepemimpinan teras Muhammadiyah. Di tingkat ini, memang ada orang yang bisa ngomong, tapi lingkup pembicaraan tidak bisa jauh. Kebutuhan saya itu, mencari partner bicara yang dialogis di Muhammadiyah. Saya mungkin keliru, karena harapan saya mungkin terlalu tinggi, dan banyak, kepada Muhammadiyah.
Kalau apa yang diinginkan itu muncul dari kelompok ‘tertentu’ dalam Muhammadiyah, dan bukan kepemimpinan teras?
Ya, bisa juga, asal kelompok ‘tertentu’ itu harus mendapat legitimasi dari pimpinan. Kalau tidak, apa gunanya bicara dengan ‘pinggiran’ terus, saya ingin partner bicara itu dari mereka yang berada pada posisi ‘sentral. Walhasil, saya banyak sekali punya teman-teman orang Muhammadiyah, tapi apakah mereka berani bertanggungjawab mengatasnamakan sesuatu sikap sebagai ‘suara Muhammadiyah’?! Ini hanya harapan saya. Apakah sepenuhnya bisa tercapai nanti, ya saya sendiri nggak tahu, harapan itu ‘kan bisa macam-macam juga.
Bagaimana dengan Muhammadiyah membawa peran terhadap pemerintah, misalnya?
Saya melihat hubungan antara Muhammadiyah dan NU dengan pemerintah, memang berbeda jauh, dalam segala hal. NU bertolak dari suatu constituent tersendiri, yaitu massa rakyat perdesaan. Ini, NU punya. Maka hubungan NU dengan pemerintah berbeda. Tinggal sekarang, bagaimana untuk mengatakan hal itu kepada pemerintah, bahwa “NU ‘begini’ dan bapak bagaimana?” Kemudian akan ada dialog.
Tapi, pada hubungan Muhammadiyah dengan pemerintah, menurut saya, tentu lebih kompleks, terutama karena begitu banyak orang Muhammadiyah yang duduk dalam pemerintah, terutama dalam posisi kunci. Dalam posisi demikian, maka waktu mereka bergerak, tidak dalam kapasitas sebagai orang Muhammadiyah, atau sedang membawa apa yang disebut ‘aspirasi Muhammadiyah. Karena apa? Mereka dalam posisi sebagai fungsionaris pemerintah.
Akibatnya, ada dual-role; di satu pihak mereka membawa ‘aspirasi Muhammadiyah, tapi ternyata dalam kedudukan sebagai fungsionaris pemerintah, mereka tidak bisa membawa aspirasi Muhammadiyah. Karena itu, yang kemudian tampak adalah sikap ketertutupan di kalangan orang-orang Muhammadiyah, mau tidak mau. Dan ujungnya, yang terjadi adalah mereka hanya menangani masalah-masalah praktis saja, dari usulan juklak ‘ini’ sampai juklak ‘itu’ – dan untuk hal demikian mereka cukup “rajin”. Peran praktis semacam ini, menurut saya, untuk menghindari kemungkinan keterputusan hubungan. Sementara itu, pemikiran-pemikiran yang lebih mendasar, kurang tersentuh.
Akhirnya, saya melihat, pemikiran-pemikiran pemerintah sejauh yang bisa ditangani oleh orang-orang Muhammadiyah ‘di atas, tidak memberi umpan-balik yang signifikan kepada Muhammadiyah, dan sebaliknya, Muhammadiyah sendiri tidak memberi umpan-balik yang kualitatif dan mendasar kepada pemerintah.
Sekarang ini, sejauh yang saya lihat, justeru penanganan masalah-masalah oleh Muhammadiyah kepada pemerintah sifatnya sangat rutin, praktis, dan tidak memecahkan masalah-masalah yang lebih besar. Contoh, baru-baru ini Muhammadiyah mengusulkan supaya ada penambahan jam pelajaran agama di sekolah-sekolah. Hal ini, pada akhirnya memang akan diperhatikan juga, oleh Departemen Agama. Tetapi, tidak perlu secara terus-menerus Muhammadiyah memberi perhatian ke situ, sebab akan menjadikan masalah itu sebagai rutin saja.
Mungkin peran ‘besar’ Muhammadiyah itu pada pendewasaan wawasan kebangsaan, sehingga tidak ada pendikotomian ‘masyarakat muslim dan masyarakat Indonesia?’
Terus terang saja, saya mengatakan di sini bahwa Muhammadiyah itu adalah suatu gerakan kebangsaan! Sedangkan NU, adalah gerakan keulamaan, dan bukan gerakan kebangsaan. Karena itu, yang kemudian terjadi dalam Muhammadiyah adalah, apa yang saya sebut dis-ulamaisasi, yaitu penguasaan ahli agama atas kehidupan masyarakat dipatahkan oleh Muhammadiyah. Juga terlihat dari sikap, yang bisa dilihat sebagai indikator dari pernyataan saya itu bahwa siapapun termasuk orang yang biasa-biasa saja sanggup melaksanakan ijtihad, tak perlu sampai menjadi kiai besar.
Terus terang saja, hal begitu membawa satu implikasi besar, yaitu yang menyatukan mereka (orang-orang Muhammadiyah) adalah wawasan kebangsaannya, dan bukan karena dikuasainya ilmu-ilmu agama atau karena strata sosialnya. Mereka umumnya adalah berada pada lapisan tengah masyarakat, yang dengan sendirinya adalah kalangan pengusaha, dan terpelajar kota.
Jadi, menurut saya, di antara gerakan-gerakan Islam, Muhammadiyah adalah paling teridentifikasi sebagai gerakan kebangsaan Bahkan, yang menjadi ‘pewaris’ gerakan kebangsaan dari HOS Tjokroaminoto dan H. Agus Salim, sebenarnya adalah Muhammadiyah! Karena itu, jangan kaget, kalau orang-orang Muhammadiyah –baik di Jakarta maupun di daerah-daerah– memasuki berbagai sektor kehidupan dengan cara kerja sangat canggih.
Sementara NU sendiri, masih terus bergelut dengan dirinya, bagaimana mendudukkan perannya secara pas. Untuk Muhammadiyah, hal begitu, tidak ada problem. Karena peran canggih Muhammadiyah seperti itu, maka menurut saya, Muhammadiyah dapat menyumbang banyak dalam pemerintahan. Hanya sayang, karena agenda keagamaan Muhammadiyah sendiri seperti saya katakan tadi tidak mampu menuntaskan masalah-masalah besar, kecuali bergerak di ‘situ-situ’ saja, akhirnya potensi peran mereka, ya, praktis dan rutin saja, tidak maju ke depan. Karena itu, potensi pemikiran yang mendasar, belum dikembangkan secara optimal.
Pikiran mendasar – terutama bidang keagamaan – barangkali bisa lahir dari forum Majelis Tarjih, semacam Majelis Syuriah dalam NU?
Saya tidak banyak tahu tentang Majelis Tarjih Muhammadiyah. Tapi, sekadar untuk pengetahuan, saya dulu (masa remaja -red) sekolah menengah ekonomi pertama (SMEP) di Yogyakarta, tinggal tiga tahun di tengah-tengah keluarga Muhammadiyah, yaitu di rumah KH. Djunaid di sekitar Kauman Yogyakarta. Jadi, saya tahu persis beberapa kiai Muhammadiyah, seperti KH. Ahmad Basjir (ayah dari KH. Azhar Basjir [Ketua PP Muhammadiyah 1990-95, editor]), KH. Hadjid, KH. Ma’shum Abu Hasan, dan KH. Hanan. Ketika itu, saya bertanya kepada KH. Wahab Chasbullah, “Siapa yang Jago” dalam hukum agama, fiqh terutama, dalam Muhammadiyah?” Waktu itu, kiai Wahab menjawab, “Kiai Hadjid”, sejak wafatnya kiai Hadjid, kemudian menjadi gelap untuk saya, sesudah Kiai Hadjid, “Siapa penggantinya?!”
Kalau di dalam NU, justeru ahli hukum ‘agama berkarung-karung, misalnya untuk Kiai Bisry Sansuri bidang fiqh, dan Kiai Wahab Chasbullah untuk Usul Fiqhnya. Dan dalam suatu pencarian dasar hukum, perbedaan pandangan selalu ada, yang satu masuk dengan argumen “kaidah bilang begini’ tapi yang lain akan berangkat dengan argumentasi ‘bukan begitu, tapi kitab bilang begini, tapi ujungnya, ada titik temu juga.
Dengan demikian, jelas, begitu tajam dan dalamnya nuansa fiqh ini di NU. Tapi, banyaknya ahli fiqh tidak berarti ada yang mau mengklaim sebagai fuqaha. Fuqaha itu, menurut pendapat umum para kiai di NU, tidak ada, atau belum sampai di situ. Sementara di organisasi gerakan Islam lain, termasuk Muhammadiyah, betapa mudah untuk memberi predikat fuqaha itu. Di NU sendiri yang dikenal sebagai fuqaha itu tidak ada, mereka hanya kenal Ibu Hadjar, dan lain-lain. Zaman sekarang, belum apa-apa, sudah disebut fuqaha.
Jadi, jelas situasinya, bahwa di NU ada yang ngerti fiqh, dan memang, ngerti betul, karena ukuran-ukurannya mudah diketahui. Tapi yang lainnya? Saya tidak melihat ada ukuran yang jelas untuk menyandang predikat fuqaha.
Dalam situasi begitu, dari mana, menurut Gus Dur, Muhammadiyah bisa ‘masuk untuk mengembangkan pikiran keagamaan secara mendasar?
Ya, saya kira yang mendesak sekarang, adalah harus tumbuh kelompok studi, atau pemerhati dan peminat fiqh dalam lingkungan Muhammadiyah. Forum studi terbatas, dan serius semacam itu mesti dibentuk, tanpa tergantung kepada keputusan formal Muhammadiyah. Saya rasa betapa perlunya grup studi fiqh itu dalam Muhmadiyah.
Di sini bedanya Muhammadiyah dengan NU. Kemenangan NU adalah, sebetulnya, bukan sidang-sidang Syuriahnya, tapi di pesantren-pesantren tidak habis-habisnya orang-orang mentradisikan perdebatan masalah fiqh. Kunci kemenangan NU di pesantren itu, dengan sendirinya memunculkan kelompok-kelompok pencinta fiqh. Pada Muhammadiyah, sejauh yang saya amati, tradisi begitu tidak ada, tetapi lebih banyak tergantung kepada keputusan-keputusan formal.
Dan lagi, keputusan-keputusan formal Itu tidak diuji coba, sehingga akan ada umpan-balik. Kalau di NU, Iho sampai sekarang, kiai-kiai masih ribut soal asas Pancasila, kok?! Ini bagus, karena dengan demikian mereka sendiri akan matang melihat dan menerima asas Pancasila itu. Artinya, para kiai sendiri tidak puas saja dengan keputusan-keputusan formal di Muktamar XXVII Situbondo 1984, tapi mereka berdebat sendiri untuk mencari pendirian yang lebih matang. Itu bagus saja. Sebab, di samping memungkinkan pematangan, sosialisasi, dan yang penting, adalah pendalaman.
Atau titik-masak alternatif, juga bisa lewat, misalnya ‘pengkaderan ulama’. Kemungkinan ini, ‘kan kelihatan ‘nyaring’ dikemukakan di lingkungan Muhammadiyah sekarang, oleh Pak Munawir (Syadzali [1925-2004], Menteri Agama dua periode, 1983-1988 dan 1988-1993, editor) maupun oleh Pak Mukti Ali ([1923-2004] Menteri Agama 1971-1978, editor)?
Ya, memang, ‘bagian saya’ di MUI, itu juga, pengkaderan ulama. Tapi, saya lalu berpikir, kok gimana, sih pengkaderan ulama’? Pengkaderan ulama itu kayak, apa?) (tertawa ngakak). Apa ulama itu bisa dikader?! Ulama kan sama dengan pemimpin, mereka tumbuh dengan sendirinya, bukan dicetak, dan direncanakan seperti itu. Sekadar pengkaderan ulama sebagai tujuan, menurut saya, memang mulia sekali, tetapi sebagai sasaran operasional, bagi saya, masih menjadi tanda-tanya besar. Sebab, kalau diandaikan kepada IAIN, bahwa dengan pemenuhan kurikulumnya, maka lulusannya menjadi ulama. Apa iya, begitu? Belum tentu… Ulama itu ‘kan kebulatan pribadi, tidak hanya karena memiliki pengetahuan agama saja. Bagaimana mungkin ulama ‘lahir’ lima setengah tahun dari IAIN?! Kalau ahli ilmu agama, mungkin bisa saja. Karena itu, saya sendiri ngeri dengan mencetak ‘ulama’ dalam lima tahun itu (baca: selesainya studi di IAIN). Jadi, dengan upaya ‘pengkaderan ulama’, paling banter yang dihasilkan hanyalah ahli ilmu agama, Itu bisa.
Citra Muhammadiyah selalu identik dengan semangat pembaruan, gerakan tajdid. Akhir-akhir ini semakin keras kritik ditujukan kepada Muhammadiyah. Adalah menarik, kalau Gus Dur “nimbrung” beri pandangan?
Begini. Saya melihat, semangat pembaruan dalam Muhammadiyah dari dulu sampai sekarang, merupakan sesuatu yang tak kunjung padam. Hanya saja, skop dan bidang garapan dari semangat pembaruan itu, tidak diperluas, kecuali seperti sekarang – sangat menekankan aspek-aspek legal-formalistik. Padahal, yang diperlukan sekarang, adalah pembaruan dengan jangkauan yang lebih luas. Misalnya, jika perlu, mengadakan peninjauan terhadap rumusan-rumusan akidah, dan dasar-dasar pengambilan hukum agama. Selama masalah seperti ini tidak dilakukan, maka pembaruan hanyalah bersifat stationary, pembaruan yang statis. Kelihatan, memang dua istilah itu kontradiktif, tapi kenyataan begitu; ada pembaruan dinamik dan pembaruan statis.
Cakupan pembaruan yang tertangani selama ini?
Ya, legal-formalistik saja. Yang sangat jarang dipermasalahkan oleh Muhammadiyah, sebagai gerakan pembaruan, adalah masalah metodologis. Sebab, lihat saja, ‘pembaruan’ itu seperti taken for granted. yaitu “kembali kepada Al-Qur’an dan Hadits” melulu. Seolah-olah dengan semangat itu, lantas tinggal beres, selesai. Gimana, bisa?! Lha Al-Qur’an dan Hadits saja memerlukan alat-alat perlengkapan, kok! Karena itu sangat membutuhkan metodologi, dan pemahaman yang bermacam-macam. Ternyata, sampai sekarang, masih gitu-gitu juga, yaitu untuk pemahaman, ya, ‘dipinjam’ juga Ushul fiqh Imam Syafii.
Maka, saya berpendapat, selama solidaritas-external Muhammadiyah sendiri tidak memungkinkan pengembangan individu yang inovatif untuk memulai rintisa-rintisan pembaruan pemikiran. maka semangat pembaruan hanyalah merupakan sesuatu yang rutin. Di situ, yang tidak jalan adalah ‘pembaruan’nya, yang ‘jalan’ justeru ‘semangat kerutinan’nya. Padahal, sebetulnya, pembaruan ya menolak kerutinan itu.