NU Adalah Sebuah Faham

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid
MENGAPAKAH NU seringkali disebut oleh para warganya sendiri sebagai ahlu as-sunnah wa al-jamaah? Padahal istilah tersebut sebenarnya berjangkauan jauh lebih luas, tidak hanya sekadar warga NU saja. Semua Muslimin yang bukan Syiah, Mu’tazilah dan Khawari, adalah ahlussunnah, yang seringkali juga disebut sebagai kaum Sunni. Bukankah dengan demikian lalu terjadi pembelokan arti dan maksud sebuah istilah yang sudah baku?
Jawabnya sederhana saja. Kata ‘ahlu as-sunnah’ memang sama dengan pengertian umum di atas, yang disebut kaum Sunni. Dalam kategori umum ini masuklah semua orang yang tidak mengikuti salah satu dari faham yang tiga itu. Dengan kata lain, istilah “ahlussunnah” adalah kata jenis yang dipakai secara umum itu.
Adapun kata ‘wa al-jama’ah, setidak-tidaknya dalam pengertian warga NU, terbatas artinya pada mereka yang bergabung dalam pengelompokan lebih khusus lagi. Yaitu mereka yang mengikuti salah satu mazhab fiqh yeng empat dan jalan Imam Al-Junaid Al-Baghdadi dalam bertarekat. Pengertian ini jelas tidak mencakup semua ‘kaum Sunni. Dengan demikian, ‘kesunnian’ lalu menjadi dua bagian, yaitu yang umum dan yang khusus. Di waktu warga NU berkiprah bersama kelompok-kelompok lain, yang umumnya dibatasi sebagai pengikut Al-Asy’ari dan Al-Maturidi dalam bertauhid, maka warga NU menggunakan pengertian sebagai kaum Sunni. Dalam keadaan mereka mengkhususkan kebersamaan dalam kelompok sendiri, maka warga NU menggunakan pengertian bermazhab dan bertarekat, seperti dikemukakan di atas.
Antara yang umum dan yang khusus memang akan selalu ada perbedaan, tetapi tidak menyangkut yang prinsip. Dalam kasus para warga NU, perbedaan lebih tampak pada corak pemakaian hukum fiqh dan gerakan tarekat. Dalam hal ini, sebenarnya ada juga kelompok-kelompok yang sama ciri dan sifatnya dengan NU, seperti Jami’iyah Al-Khairiyah, Perti, Al-Washliyah dan lain-lainnya lagi. Mereka juga termasuk ke dalam kategori khusus tersebut.
Kalau begitu, apakah persamaan NU dengan ‘kaum Sunni yang lainnya? Juga sederhana saja: mereka yang menerima skolastisisme Al-Asy’ari dan Al-Maturidi seringkali disebut juga bermazhab ilmu kalam’ dalam bertauhid. Persamaan inilah yang sebenarnya bersifat mendasar. Betapapun berjauhan mereka dalam soal-soal ritual, kaum Sunni bursamaan dalam sendi-sendi keimanan mereka.
Secara historis, sebenarnya pengertian semula adalah mereka yang menerima supremasi ahli hadits, yaitu kelompok ulama yang menentang rasionalisme ekstrem kelompok Mutazilah dan hanya mau menerima supremasi hadits sebagai alat penafsir Al Qur’an. Namun lambat laun pengertian ini berubah menjadi seperti tersebut di atas. Mungkin karena pendekatan para ahli hadits angkatan terkemudian, yang juga telah banyak menyerap wawasan penggunaan akal, walaupun tidak sepenuhnya mengikuti rasionalisme semula itu.
Sekarang lalu muncul masalah bagaimanakah ahlu as-sunnah wa al-jamaah harus berdamai dengan ideologi negara? Masalahnya juga sederhana, ideologi negara adalah soal tata kemasyarakatan, sedangkan ahlu as-sunnah wa al-jamaah hanyalah sebuah faham keagamaan belaka, la bukan ideologi, yang harus dipertentangkan dengan ideologi negara. Dengan kata lain, faham ahlu as-sunnah wa al-jama’ah adalah pengaturan khusus untuk menata pandangan intern kelompok, sedangkan ideologi negara adalah penataan kehidupan berbangsa dan bermasyarakat secara keseluruhan.
Sebagai warga negara, para warga NU tunduk kepada ideologi negara Pancasila. Sebagai warga NU mereka mengikuti pengaturan intern khusus yang hanya berlaku bagi mereka yang sefaham. Pengaturan umum dapat saja diberlakukan dalam kehidupan organisasi mereka, selama tidak berarti menghabisi pengaturan khusus itu. Dengan ungkapan lain, Pancasila dapat diterima sebagal asas organisasi, selama tidak berarti menggusur faham ahlu as-sunnah wa al-Jamaah dalam kehidupan NU sendiri.
NU adalah sebuah faham. la dapat menerima ideologi yang datang dari luar dirinya, selama tidak berarti pemasungan fahamnya itu.