NU Antara Elitisme Dan Egalitarianisme
Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid
Semenjak beberapa bulan terakhir ini, Nahdhatul Ulama menjadi berita ramai di media massa dan bahan perbincangan di mana-mana. Mula-mula karena pertikaian tajam antara sejumlah pimpinan NU dan perangkat Muslimin Indonesia (MI) dalam Partai Persatuan Pembangunan (PPP) mengenai pencalonan keanggotaan DPR dalam Pemilihan Umum tahun 1982. Masalahnya menjadi reda, ketika masa kampanye pemilu tiba, yaitu ketika semua warga NU turut berkiprah di pihak PPP. Seolah-olah mereka ingin menunjukkan bahwa kekuatan mereka masih tetap besar, walaupun kekuatan itu justeru diremehkan orang lain.
Suasana yang berkaitan dengan NU kembali menjadi hangat ketika tanpa diduga ketua umumnya, KH. Idham Chalid, menyatakan pengunduran diri dari jabatan tersebut. Kejadian tersebut cukup mencengangkan khalayak ramai, apalagi setelah diikuti beberapa hari kemudian pencabutan pernyataan pengunduran diri oleh yang bersangkutan. Belum lagi “perang wawancara” antara para fungsionaris NU sendiri berhenti, antara yang mendukung dan menentang pengunduran diri itu, rapat harian Pengurus Besar Syuri’ah NU memutuskan menunda persoalannya hingga rapat pleno yang akan mendengar keterangan sesepuh NU yang tadinya menasehatkan dan menerima serta menyaksikan pengunduran diri KH. Idham Chalid itu. “Keputusan” PB Syuri’ah NU itu beberapa hari kemudian dikomentari oleh Wakil Ketua Umum H Imam Sofyan dalam wawancara yang menyimpulkan bahwa “masalahnya dianggap selesai”.
Timbulkan Tanda Tanya
Sudah tentu perkembangan itu membingungkan semua orang, tidak terkecuali warga NU sendiri di daerah maupun di ibukota. Adakah hubungan antara kejadian tersebut dengan pertikaian tajam NU-MI menjelang masa kampanye 1982? Apakah sebenarnya yang terjadi dengan dua keputusan KH. Idham Chalid yang saling bertentangan dalam waktu yang hanya berselang beberapa hari saja? Adakah campur tangan dari luar dalam kejadian itu? Dapatkah ditafsirkan, bahwa ada pemberontakan intern terhadap kepemimpinan KH. Idham Chalid? Banyak lagi pertanyaan dapat diajukan sehubungan apa yang sering dikenal sebagai “kemelut dalam tubuh NU” itu. Bahkan seorang tokoh NU di suatu daerah menuliskan teks doa yang unik ini: Ya Allah, Ya Tuhan kami, berikanlah kepada kami pimpinan yang mengurusi kepentingan kami, bukannya yang menjadi urusan kami.
Sudah tentu tidak satupun di antara pertanyaan itu dapat dijawab dengan tuntas, karena persoalannya sendiri masih diselubungi kabut rahasia. Sejarahlah nanti yang akan dapat menyajikan gambaran lengkap tentang apa yang terjadi saat ini dalam tubuh NU di tingkat pimpinan nasionalnya.
Tetapi tak ada salahnya pula dikemukakan di sini sebuah tinjauan yang menggunakan sudut pandangan tertentu, sebagai upaya memahami perkembangan dalam tubuh NU secara analitis. Sudah tentu tidak dapat sepenuhnya keadaan sangat kompleks itu digambarkan dari hanya sebuah sudut pandangan belaka, namun setidak-tidaknya sebuah gambaran definitifakan muncul dari upaya tersebut. Kebenaran cara ini, seperti dikatakan di atas akan dibuktikan sendiri oleh sejarah.
Tradisi Keilmuan
Sudut pandangan yang dimaksud di atas adalah melihat perkembangan dalam tubuh NU dari perkembangan tradisi keilmuan yang dimiliki para ulamanya. Dalam hubungan dengan berkembangnya tuntutan untuk bersikap “lebih organisatoris” dan “lebih menghormati Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga”. Dalam sebuah kalimat yang begini sederhana ternyata terkandung sebuah proses besar yang akan menetukan perkembangan NU sebagai organisasi di kemudian hari. NU adalah organisasi sosial-keagamaan yang didirikan oleh kalangan ulama yang memiliki tradisi keilmuan dan taraf pendidikan yang berstandar tinggi di bidang ilmu-ilmu keagamaan Islam tradisional Penguasaan penuh para ulama dengan standar penguasaan ilmu-ilmu keagamaan yang tinggi itu atas kehidupan NU sebagai organisasi, telah tampak nyata sejak kelahirannya. Penempatan dewan eksekutifnya (tanfidziyah) sebagai sinoman yang melayani dewan keagamaannya (syuriyah, sering ditulis syuriah), merupakan manifestasi “struktur kekuasaan” intern NU pada awal perkembangannya, dan sampai saat ini masih ditampakkan dalam simbol “cium tangan” terhadap kyaı-kyai di kalangan pimpinan NU di semua tingkatan.
“Struktur kekuasaan” seperti itu bersumber pada stratifikasi atau pelapisan yang sangat tajam dalam tradisi keilmuan para ulama tradisional kita semenjak berabad-abad. Mereka yang menguasai ilmu-ilmu syari’ah, terutama fiqh (hukum agama) dan peralatannya menempati kedudukan tertinggi dalam stratifikasi tersebut Tetapi di antara para ahli fiqh itu, kedudukan tertinggi dipegang oleh mereka yang menguasai secara tuntas ilmu-ilmu tafsir Alquran dan memiliki penguasaan penuh atas hadist Nabi sebagai “alat penunjang penerapan kaidah fiqh atas keadaan nyata di masyarakat”
Di antara sedikit ulama yang mencapai ketinggian derajat seperti itu ialah almarhum KH. Hasyim Asy’ari, pengasuh pesantren Tebuireng yang ditahun 1926 diumumkan sebagai pendiri dan pemimpin tertinggi NU, di saat organisasi itu baru didirikan. Padahal, dalam kenyataan pengambil prakarsa untuk mendirikan organisasi tersebut adalah muridnya, almarhum KH. A. Wahab Chasbullah yang kemudian menggantikan sebagai pimpinan tertinggi di tahun 1947.
Pada masa kepemimpinan KH. A. Wahab Chasbullah masih tampak dominasi “ahli fiqh” dengan standar penguasaan ilmu-ilmu keagamaan mereka yang tinggi itu masih terasa sangat kuat. Walaupun KH. A. Wahab Chasbullah sendiri adalah orang yang berpandangan hidup egalitarian dalam soal-soal organisasi, dalam arti memberikan tempat sangat penting kepada pemimpin-pemimpin NU yang tidak memiliki keahlian tinggi di bidang fiqh. Salah satu “wajah dominasi” golongan fiqh dimasa kepemimpinan KH. A. Wahab Chasbullah itu adalah kesediannya untuk memperhatikan pendapat iparnya, KH. Bisri Syansuri, yang kemudian menjadi Rais Am NU sewaktu KH. A. Wahab Chasbullah wafat pada tahun 1972.
“Wajah dominasi” itu tampak juga dalam masa kepemimpinan KH. Bisri Syansuri, hingga saat wafatnya tokoh terakhir dari “generasi pendiri NU” ini, seperti terlihat dalam kasus skorsing yang dijatuhkan atas diri almarhum Ketua I PBNU, HM. Subchan dalam tahun 1972. KH. Bisri Syansuri bertindak sekaligus sebagai jaksa penuntut, hakım pengambil keputusan dan pengadilan banding di kala ada suara-suara protes darı daerah. Ketiga fungsi itu dilakukannya sendiri, karena pada dirinya memang bertemu persyaratan penuh sebagai “penuntut ilmu fiqh”.
Perubahan Mendasar
Tetapi sebenarnya telah berlangsung perubahan mendasar dalam “struktur kekuasaan” di lingkungan NU, yaitu sebagai akibat diambilnya keputusan dalam tahun 1952 untuk menjadikan NU sebagai partai politik. Keputusan tersebut mengandung implikasi peningkatan status pimpinan eksekutif (tanfidzıyah) sebagai “jembatan penghubung” dengan dunia luar. Dalam konstelasi kehidupan politik, keputusan hukum agama bukan satu-satunya yang harus menjadi pertimbangan dalam pengambilan keputusan. Perkembangan politik memiliki juga “hukum-hukum”-nya sendiri. Kenyataan itu tidak segera disadari, karena dua hal.
Pertama, kemampuan Rais ‘Am KH. A. Wahab Chasbullah untuk mempertemukan antara pertimbangan politik dan ketentuan hukum agama, minimal “dipertemukan” dalam situasi “setuju untuk tidak mencapai persetujuan”. Hal itu tampak nyata sekali dalam kasus sikap NU terhadap Demokrasi Terpimpin mendiang Presiden Soekarno. Pertimbangan para politisi yang menghendaki agar konsep Soekarno itu diterima, berhadapan secara total dengan “pendapat fiqh” yang dikemukakan almarhum Wakil Rais ‘Am KH. Bisri Syansuri. Kesudahannya adalah keputusan untuk “membiarkan anggota mengikuti salah satu dari dua pendapat itu”.
Sebagaimana dapat dilihat dari gambaran di atas, kepemimpinan KH. Bisri Syansuri setelah menggantikan KH. A. Wahab Chasbullah selaku Rais ‘Am semenjak wafatnya ulama yang belakangan ini ditahun 1972, ternyata lebih mementingkan “pendekatan fiqh”, walaupun dengan tidak pernah “patah arang” dengan sektor politik yang sering memaksakan kehendaknya sendiri. Situasi seperti inilah yang sering melahirkan “sikap-sikap aneh” NU seperti jalan keluar dalam berbagai persoalan kenegaraan, walaupun sering pula terbukti, “hukum fiqh” merupakan sandaran moral umat Islam dalam saat-saat yang menentukan (seperti dalam kasus RUU Perkawinan yang menghebohkan pada tahun 1973-1974).
Faktor kedua yang juga penting adalah, masih besarnya jumlah pemimpin idealisitis di lingkungan NU, sewaktu diputuskan bahwa organisasi tersebut memisahkan diri dari Partai Masyumi dan menjadi sebuah partai politik. A. Wahid Hasyim, HM. Ilyas, H. Ahmad Siddiq, H. Musta’in, dan Saifuddin Zuhri adalah contoh dari kelompok ini. Walaupun mereka menjadi politisi, tetapi moralitas politik mereka bersandar sepenuhnya pada moralitas fiqh. Karena sebagian berpulang ke alam baka dan sebagian lagi beralih dari fungsi eksekutorial (tanfidziyah) ke fungsi keagamaan (syuriah). Kelompok ini kemudian digantikan satu demi satu oleh mereka yang tidak pernah mengenal tradisi keilmuan yang berlandaskan dominasi hukum agama dalam bentuk fiqh, dan hanya mengenai tradisi politik belaka dalam berorganisasi.
Gejala ini sudah dapat dideteksi dengan terpilihnya H. Idham Chalid sebagai Ketua Umum pada tahun 1957. Walaupun ia sendiri dibesarkan dalam tradisi fiqh, tetapi fungsi kepemimpinannya dalam NU menunjukkan penonjolan pendekatan politis dalam keputusan-keputusan yang diambil NU semenjak itu.
Elite dan Egaliter
Dari sudut penglihatan ini, maka arti perkembangan terakhir di NU akan sangat penting bagi kelanjutan organisasi sosial-keagamaan ini. Para sesepuh NU yang menasehatkan KH. Idham Chalid untuk mengundurkan diri jelas bertolak dari pemikiran dominasi fiqh saat ini sangat baik untuk mengakhiri era Idham dengan kenangan-kenangan manis, jadi sebaiknya dilakukan pengunduran diri tanpa menunggu datangnya masa muktamar, sudah baik menurut pandangan fiqh. Mau apa lagi?
Sebuah pikiran yang sangat elitis, tetapi mengandung latar belakang historis yang unik dan tradisi keilmuan yang kuat, dengan stratifikasi strukturalnya sendirı Elitisme dalam artinya yang paling ideal dan paling mulia adalah pertanggungjawaban moral sekelompok “orang terpilih” untuk menjaga kelangsungan historis kelompok dan kemungkinan erosi nilai di dalamnya.
Sebaliknya, mereka yang menuntut agar KH. Idham Chalid menyelesaikan masa jabatannya hingga muktamar yang akan datang, bertolak dan pandangan egalitarian yang muncul sebagai akibat dari keputusan “mempolitikkan” NU di tahun 1952. Para anggota melalui muktamar-lah yang berhak menentukan pergantian personalia kepemimpinan. Tanpa semangat seperti ini, NU tidak akan mampu menjadi organisasi yang tangguh dan memiliki pandangan hidup rasional.
Memang berat usaha merumuskan pemecahan terbaik bagi NU Kalau pandangan elitis yang diambil, maka akan selalu terjadi pengabaian atas “aturan permainan organisatoris”. Tetapi mengambil sikap egalitarian berarti semakin derasnya erosi nilai dalam lingkungan NU sendiri. Tanpa tradisikeilmuan yang bertumpu pada dominasi fiqh, apakah arti NU sendiri dalam jangka panjang?