NU dan Kekuatan Politik
Oleh: KH. Abdurrahman Wahid
Nahdlatul Ulama penyambung penggantian Raja Jawa di Surakarta dari Susuhunan Pakubuwono XII ke Sinuhun Pakubuwono XIII (yang sampai sekarang masih diperebutkan antara Gusti Ngabehi dan Gusti Tejo Wulan), melalui seorang Ketua PBNU yang penulis lupa namanya. Mau tidak mau, NU harus melakukan keseimbangan sikap dengan mengeluarkan pernyataan umum-umum saja. Sehingga siapa pun yang belakangan menjadi Sinuhun Pakubuwono XII, akan dapat mengajukan klaim bahwa dialah orang yang didukung NU. Dari contoh ini saja, sudah terlihat bagaimana penting tindakan yang dilakukan penyeimbangan politik antara orang-orang yang saling berbeda. Ini berarti, baik dalam penetapan siapa yang menjadi penguasa maupun dalam hal-hal lain, NU memerlukan keseimbangan politik berbeda-beda, sesuai dengan bidang masing-masing. Jika hal ini tidak diperhatikan, perjalanan NU akan terseok-seok. Dan mungkin akan ada hal-hal yang merugikan NU sendiri.
Di masa depan, mahasiswa, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), dan para intelektual merupakan kekuatan sosial/politik pertama di negeri kita. Sementara, Tentara Nasional Indonesia (TNI) sebagai kekuatan sendiri dan partai politik yang terdiri dari minimal tiga (mewakili gerakan Islam, gerakan nasionalis, dan gerakan yang mementingkan pertimbangan-pertimbangan profesional) menjadi kekuatan ketiga. Karena itu, hendaknya Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) menjadi salah satu kekuatan dari parpol itu dan ia berfungsi menjadi “jembatan politik” antara kelompok pertama dan TNI. Bagaimanapun juga perbedaan pandangan hidup akan sangat menonjol dalam hubungan antara mereka, dengan parpol berfungsi sebagai penengah. Untuk itu, setelah Muktamar PKB bukan April 2005, susunan kepengurusannya akan menjadi 50% dari lingkungan NU, 20% dari gerakan lainnya, dan 25% dari kalangan kaum non-muslim.
Diharapkan, dengan demikian kalangan NU dapat meneruskan keseimbangan politik secara kuantitatif maupun kualitatif yang sangat diperlukan untuk menjaga agar perkembangan politik dapat berlangsung secara sehat. Sudah tentu di tengah jalan keseimbangan seperti itu dapat berubah sewaktu-waktu, dan ini mengharuskan adanya perumusan-perumusan yang lentur/fleksibel, untuk menjaga persambungan/kontinuitas. Walaupun NU bukan kekuatan sosial-politik, namun ia juga harus memelihara keseimbangan itu, karena ia akan menentukan kelangsungan hidup organisasi itu sendiri dalam jangka panjang. Tindakan-tindakan taktis yang diambil, haruslah mempertimbangkan keseimbangan dimaksud. Hanya dengan demikian, perjuangan yang semulia apa pun seperti pencapaian tujuan I’ la’i kalimati Allah al-laty hiya al-ulya (meluhurkan asma Allah yang sudah tinggi) dapat dilakukan. Itulah pentingnya arti penjagaan keseimbangan bagi sebuah gerakan.
Apalagi kalau diinginkan berdirinya sebuah sistem politik baru, untuk menjamin benar-benar demokrasi akan tegak di negeri kita dalam jangka panjang. Demokrasi yang berlandaskan kedaulatan hukum, dengan persamaan perlakuan bagi semua warga negara, terlepas dari perbedaan asal-usul budaya, etnis/ras, bahasa Ibu, ekonomi dan seterusnya. Dengan kata lain, demokrasi tidak dapat tegak hanya melalui lembaga-lembaganya saja, seperti Dewan Perwakilan Rakyat, aparat hukum, birokrasi yang bersih dan sebagainya, melainkan gabungan antara lembaga-lembaga tersebut dan tradisi demokrasi. Tradisi itu harus berupa penerimaan akan kemajemukan bangsa, ‘kebiasaan’ mengembangkan transparansi, bertanggung jawab, dan lain-lain. Lembaga-lembaga demokrasi tidak menjamin tegaknya demokrasi itu sendiri, tanpa adanya tradisi yang akan ‘memaksa’ para warga negara untuk menerima keputusan pihak ‘mayoritas’. Demi memelihara tradisi itu tetap ada, apa pun bentuk dan rupanya, diperlukan upaya menjaga keseimbangan kekuatan sosial politik yang ada, inilah hakikat demokrasi.
Walaupun telah ada lembaga-lembaga demokrasi yang diinginkan, namun jika yang tegak adalah sistem golongan dan koncoisme maka demokrasi tidak akan dapat ditegakkan, seperti di negeri kita saat ini. Reformasi yang digembar-gemborkan hanya berarti memelihara dan meneruskan status quo yang ada, bukannya melaksanakan demokrasi yang sebenar-benarnya. Apalagi kalau ada penggunaan uang dan pengaruh untuk mempertahankan jabatan dan ‘jalur-jalur politik’ yang bertahan sampai sekarang, termasuk dalam hal ini semua peraturan yang akan memelihara ‘kebiasaan politik’ yang ada. Contohnya adalah pemilihan presiden dan wakil presiden serta kepala daerah secara langsung oleh para pemilih, walaupun telah meninggalkan cara lama melalui Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD I dan II) ternyata tidak dapat digunakan lagi, karena tidak bersih dari politik uang dan pengaruh kekuasaan itu.
Salah satu cara yang sangat kuat menonjol dalam ‘budaya politik’ yang kita miliki sekarang ini, adalah salah kaprahnya pihak-pihak yang mengambil keputusan. Salah satu di antaranya, adalah ucapan Kapolri Da’i Bachtiar, yang menyatakan bahwa demo mahasiswa di depan rumah Megawati Soekarnoputri (sewaktu ia menjadi Presiden RI) adalah pelanggaran ketertiban umum. Penulis segera menjawab, yang lagi-lagi tidak disiarkan oleh pers domestik mana pun, mempertanyakan kebenaran ungkapan yang diucapkan Kapolri itu. Dengan lain ungkapan, pertanyaan itu berbunyi: siapakah yang diperkenankan menentukan sesuatu itu sebagai tindakan yang melanggar ketertiban umum? Semua pakar hukum akan menjawab bahwa Mahkamah Agung yang diperkenankan menentukan sebuah tindakan dianggap melanggar ketertiban umum atau tidak. Dalam kerancuan keadaan yang ada saat ini tetap saja Polri tidak mempunyai wewenang merumuskan hal itu.
Kerancuan itu akan kita mengerti sebab-sebabnya, jika kita gunakan konsep Dr. Tuti Herawati Nurhadi yang dikemukakan tahun-tahun delapan puluhan. Ia melihat kebuntuan komunikasi antargolongan, karena penggunaan bahasa semu atau yang sering disebut meta-language. Orang ditangkap dikatakan diamankan. Bahasa semu itu mengakibatkan masyarakat menjadi tersekat-sekat, dan sangat sulit untuk berkomunikasi. Sehingga orang harus bertindak keras untuk didengar suaranya. Dengan demikian lahirlah budaya kekerasan dalam masyarakat kita sekarang ini. Banyak orang yang berbincang-bincang dengan penulis menanyakan asal-usul budaya tersebut. lalu penulis menyatakan keterangan yang dituliskan di atas. Baru dengan demikian dapat diketahui mengapa ada budaya kekerasan seperti itu.
NU harus juga memperhatikan keseimbangan di antara pihak-pihak yang memiliki kekuatan politik. Walaupun ia bukan sebuah parpol, tapi ia harus mengembangkan politik inspirasional, sedangkan parpol harus mengembangkan politik institusional. Penulis memahami politik inspirasional sebagai tindakan-tindakan membela kaum lemah, mengadakan pembelaan terhadap mereka yang dinilai secara salah oleh orang-orang dari birokrasi pemerintahan. Mereka harus independen dari pengaruh siapa pun, kecuali menerima gempa bumi sebagai kehendak Tuhan. Setelah dijelaskan adanya perbedaan antara politik inspirasional dan institusional, di pihak lain non-politis, barulah dapat dimengerti “perbedaan tugas” antara parpol dan NU. Kemudian barulah kita dapat beranjak dari penggambaran politik secara utuh.
Memang, untuk dapat mengerti hubungan antara NU dan politik inspirasional, haruslah dapat dimengerti pula pengetahuan yang jelas, antara NU sebagai organisasi keagamaan yang melakukan tindakan-tindakan yang sebenarnya berfungsi pembelaan kepada kaum lemah dan orang kecil. Jika ini yang terjadi, kita lalu tahu tidak perlu semua orang NU masuk ke dalam parpol dan menjadi pengurusnya. Dengan demikian, NU lalu berfungsi memperjuangkan politik inspirasional itu. Dengan demikian dapat dihindarkan kerancuan sikap seperti terjadi dewasa ini yang berujung kepada sikap meremehkan peranan ‘orang-orang tua’ yang menginginkan NU tetap pada fungsi berpolitik secara inspirasional. Inilah penyebab utama kerancuan yang terjadi di tubuh NU dewasa ini. Karena itu diperlukan proses melestarikan dan membuang hal-hal yang dianggap “menyimpang” dari perjalanan hidup NU sendiri. Ini adalah keadaan melestarikan dan membuang yang lumrah terjadi dalam sejarah manusia, bukan?