NU dan LSM

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

Seminggu yang lalu, penulis didatangi oleh Tony Pangcu, seorang aktivis LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) dari Yogyakarta. Ia bertanya pada penulis, adakah rencana untuk menengok tokoh LSM yang waktu itu sedang dirawat di rumah sakit Bethesda, Yogyakarta? Penulis menjawab karena tekanan pekerjaan yang sudah direncanakan sebelumnya, maka penulis bermaksud menengok Mansour Fakih hari Sabtu. Bersama istri dan putri kedua, Zannuba “Yenni” Arifah Chafsoh Wahid, penulis mengunjungi Mansour Fakih, yang sudah tidak sadar enam hari lamanya. Penulis turut mendoakan si sakit dan menemui keluarga Mansour Fakih. Didapatinya, istri Mansour Fakih dan anaknya sangat tabah menghadapi cobaan itu, memiliki kekuatan jiwa yang luar biasa. Sore harinya, penulis kembali ke Jakarta, dan keesokan malamnya (Minggu malam Senin), penulis mendapat interlokal dari Yogyakarta, bahwa Mansour Fakih meninggal dunia. Tokoh itu, meninggal dunia dalam keadaan tidak sadar, dengan ditunggui banyak aktivis LSM yang sejak awal, berada di ruang tunggu rumah sakit tersebut.

Penulis pada awal-awal tahun delapan puluhan, telah menyaksikan dedikasi Mansour Fakih yang sangat tinggi terhadap profesinya, melalui sebuah LSM yang didirikan untuk mendampingi proyek pengembangan masyarakat melalui pondok pesantren, di lingkungan LP3ES (Lembaga Penerangan, Pendidikan, Pengembangan Ekonomi dan Sosial) di Jakarta. Penulis sangat terkesan oleh kepribadiannya yang berisikan konsistensi sikap terhadap pilihannya dan dedikasi yang tinggi kepada profesinya. Kemudian penulis dengar bahwa ia mendapatkan beasiswa dan menyelesaikan studi di sebuah perguruan tinggi di Amerika Serikat, dan selanjutnya penulis juga dengar bahwa ia mengajar di Universitas Gadjah Mada (UGM) di Yogyakarta. Terakhir, penulis mendengar ia menjadi anggota Komnas HAM (Komisi Nasional Hak-Hak Asasi Manusia).

Yang menarik perhatian, bahwa tokoh NU dan LSM ini, seperti banyak aktivis lainnya, tidak “bergaul” erat dengan pimpinan formal NU. Tidak hanya di Yogyakarta, Jakarta, apalagi di daerah lain. Ini menimbulkan tanda tanya besar ada apakah gerangan antara NU dan LSM? Mengapakah antara keduanya tidak tumbuh kerja sama yang erat? Benarkah sikap yang demikian itu, yang dalam jangka panjang akan merugikan kedua-duanya? Kalau begitu, adakah cara yang dapat ditempuh, untuk menjembatani kelangkaan hubungan antara keduanya itu? Bagaimanapun juga, dalam jangka panjang NU tidak dapat “berpangku tangan” terhadap masalah-masalah yang ditangani LSM, karena persoalannya menyangkut masa depan bangsa. Kedua-duanya ingin melihat Indonesia yang lebih adil dan lebih makmur di masa depan. Kecenderungan mengembangkan kerja sama erat antara NU dan LSM yang menjadi dambaan penulis sejak tahun-tahun tujuh puluhan, mau tidak mau lalu membuat penulis memperhatikan kenyataan itu dan mengajukan pertanyaan di atas. Ini karena penulis merasa sayang kepada kedua-duanya.

*****

Beberapa hari sebelum penulis mendiktekan artikel ini, ia pergi ke Jember, menghadiri sebuah rapat umum yang penuh sesak dengan para petani tembakau dari sebuah kecamatan. “Rapat umum petani” itu diorganisir oleh sebuah LSM yang berisikan anak-anak muda NU. Bahwa mereka berhasil mengumpulkan sekian banyak petani itu, menunjukkan kemampuan mengorganisir masyarakat. Sangat banyak keluhan para petani dan begitu beraneka-ragam usulan-usulan yang mereka ajukan sebagai jawaban atas persoalan-persoalan yang mereka hadapi, menunjukkan kepada kita betapa besar masalah-masalah yang mereka hadapi dan bagaimana tinggi tingkat pengertian para aktivis LSM tersebut. Kemudian, penulis menemui sejumlah fungsionaris NU di tingkat cabang Jember. Dalam pertemuan itu, penulis menyatakan bahwa NU memang mengalami “gangguan” dalam dirinya, sesuatu yang tidak pada tempatnya memang terjadi dalam beberapa tahun belakangan ini. Kalau tidak ditangani dengan serius, ini dapat berakibat fatal bagi masa depan NU sendiri.

Persoalannya terletak pada masa depan bangsa. Di masa lampau, para ulama NU meletakkan titik berat perhatian mereka kepada masalah-masalah bangsa, setidak-tidaknya secara kultural. Hal ini terbukti dengan sikap non-kooperatif (tidak mau bekerjasama) dengan pemerintah kolonial, demi mempertahankan identitas intern NU dan solidaritas dengan perjuangan bangsa pada umumnya. Lahirlah dari sikap ini, sistem pendidikan sekolah agama yang berinduk pada pesantren-pesantren. Memang pada mulanya sangat “berbau agama”, sehingga kurikulum pun hampir-hampir tidak menyentuh kehidupan nyata. Namun, dalam hal-hal pokok, seperti hubungan antara agama dan masyarakat/Negara perbaikan kualitas hidup umat dan sebagainya, banyak sumbangan sikap dan pemikiran yang patut dihargai. Sayangnya, LSM seperti kita kenal sekarang belum lahir pada waktu itu, sehingga pihak NU pun terpaksa “meraba-raba” apa yang harus dilakukan.

Dari sinilah kita pahami upaya seperti yang dilakukan oleh alm. KH. Mahfud Siddiq, yang semasa hidupnya menjadi seorang ketua PBNU. Ajakannya untuk mewujudkan “prinsip-prinsip kebajikan umat” (mabadi khaira ummah) sebenarnya terkait dengan berbagai kegiatan untuk memperkuat posisi ekonomi-finansial warga NU sendiri sebagai anggota gerakan Islam, patut dipelajari dengan mendalam pada saat ini. Sayangnya, seruan itu dikeluarkan menjelang kedatangan tentara Jepang di tanah air kita, sehingga “seruan” itu terhenti di tengah jalan sebelum berhasil diwujudkan. Keputusan Muktamar NU di Palembang tahun 1952 sekaligus menjadikan NU sebuah partai politik. Sebagai respons terhadap “pemaksaan kehendak” oleh Moh. Natsir dan kawan-kawan dari Partai Islam Masyumi akhirnya membuat NU tenggelam dalam kancah politik. Akibatnya, secara tidak terasa orientasi NU dipusatkan pada bidang politik saja.

Kecenderungan ini, lebih diperkuat dengan sikap pemerintahan Orde Baru yang sangat teknokratik. Mereka yang tidak masuk dalam lingkungan tersebut, tidak memperoleh kesempatan untuk bergerak sama sekali. Verpolitisasi NU tambah menjadi-jadi, dan sebagai akibatnya hanya mereka yang berorientasi politik sajalah yang dapat menguasai NU di bidang sehari-hari. Para ulama/kiai melanjutkan upaya mereka meneruskan kegiatan pengajian dan membina masyarakat. Dalam keadaan seperti itulah lahir anak-anak muda NU yang kemudian aktif dalam berbagai kegiatan LSM, termasuk penulis sendiri. Agenda mereka mengenai perubahan struktural masyarakat untuk memperoleh keadilan dan kemakmuran, tidak dimengerti oleh para pemimpin formal NU yang tidak memahami apa yang tidak dimaui para anak muda itu. Apalagi sebagian dari mereka telah “disuapi Orba” dengan uang dan pangkat, sehingga semakin tidak melihat perlunya perjuangan LSM. Mereka ini dihinggapi apa yang oleh V.I. Lenin sebagai “penyakit kiri kekanak-kanakan kaum revolusioner”, yang intinya adalah anggapan jika mereka tidak memimpin secara resmi “perjuangan pembebasan rakyat”, maka revolusi telah gagal.

*****

Kalau kesenjangan seperti itu diteruskan, dengan memberikan tempat hanya kepada orang yang berorientasi politik saja, maka masa depan NU akan sangat suram. Inilah yang membedakan NU dari PKB: NU jangan berpolitik, karena segala sesuatunya di bidang itu sudah digarap oleh PKB. Kenyataan ini yang seharusnya kita sadari bersama, ternyata masih belum disadari juga oleh banyak pemimpin formal NU, hingga saat ini. Mereka masih ribut dengan agenda politik seperti menjadi caleg (calon legislatif) dan sebagainya. Bahkan ada kecenderungan, terjadi persaingan antara sebagian fungsionaris NU dan fungsionaris PKB. Kalau perlu, sampai di tingkat pusat, seperti terlihat pada sejumlah pernyataan PBNU akhir-akhir ini. Bahkan, sikap-sikap “berbau politik” itu, terlihat juga pada mereka yang tidak berhasil mencapai maksud untuk memperoleh jabatan-jabatan politis seperti caleg dan kepala daerah, untuk memboikot PKB dalam soal-soal tersebut. Seolah-olah menjadi fungsionaris PKB, sama dengan mewujudkan tujuan-tujuan NU, ini tentu tidak benar. Cobalah dipahami seperti apa yang secara tersirat dalam ungkapan Rais Aam PBNU, bahwa (1) NU tidak mempersoalkan keputusan-keputusan politik DPP PKB; (2) bahwa masalah organisatoris PKB adalah urusan intern PKB sendiri; dan (3) bahwa PBNU tidak akan mencalonkan siapa pun untuk jabatan apa pun di negeri ini.

Ternyata, penyelesaian “kemelut” NU dan PKB sebenarnya mudah dicari, kalau orang berhati ikhlas dan bersikap jujur. Dalam hal ini, NU seharusnya mementingkan pengembangan kehidupan masyarakat secara menyeluruh. Hal itulah yang sekarang menjadi agenda LSM, sehingga dorongan bagi tokoh-tokoh LSM untuk berkiprah di lingkungan NU, dibuat semakin besar. Jika di satu pihak para fungsionaris NU semakin banyak yang meninggalkan bidang politik dan bersama-sama dengan para teman aktivis LSM mewujudkan tatanan masyarakat yang baru itu, akan semakin lebih baik keadaan NU sendiri. Sedangkan PKB justru harus diarahkan NU untuk merumuskan kebijakan pemerintahan (terutama perundang-undangan) yang mengarah kepada susunan dan perilaku yang menunjang terwujudnya “khaira ummah”. Dengan sendirinya penguasaan NU atas perjuangan kebangsaan kita di masa depan akan menjadi semakin besar. Ini mudah dikatakan, namun sulit dilakukan, bukan?