NU dan PKB Milik Siapa?

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

Saat bulan April 1952 NU menyatakan diri resmi menjadi partai politik, maka tahun 1955, partai politik NU menjadi partai pemenang ketiga dalam pemilu, di atas PKI yang menjadi pemenang keempat. Ini menunjukkan kekuatan NU yang jumlah pengikutnya selalu dipertentangkan dan disengketakan hingga saat ini. Ada yang berpendapat, pengikut NU ada sekitar 35 juta orang, sedangkan Muhammadiyah berpengikut 28 juta orang. Namun, beberapa tahun yang lalu sebuah lembaga intelijen di salah satu negara sahabat melaporkan bahwa pengikut NU ada sekitar 60 juta orang, sedangkan Muhammadiyah 15 juta orang. Sebuah penelitian lain, menyebutkan jumlah 90 juta orang pengikut NU, sedangkan Muhammadiyah disebut-sebut berpengikut 5 juta orang. Angka mana pun yang dipakai, jelas itu menunjukkan bahwa pengikut NU memang berjumlah sangat banyak.

Bahkan seorang atase pertahanan pada Kedutaan Besar Australia di Jakarta, dengan pangkat kolonel angkatan darat, menyatakan kepada penulis bahwa NU adalah organisasi paranormal (psychic organization). Setelah ia lihat statuta pertama perkumpulan para kiai itu, yang menyatakan bahwa NU “didirikan” untuk 29 tahun. Maka jalan pikirannya orang ini menyatakan, dimulai dengan tahun berdirinya NU yaitu 1926, ditambah dengan 29, akan membuat angka 55, yakni tahun pertama kali pemilu digelar. Kemudian tahun 1955, bila ditambah dengan bilangan 29, akan menjadi 1984. Ternyata, dalam tahun itulah NU merubah asasnya; dari asas Islam menjadi asas Pancasila. Ia bertanya pada penulis, apakah yang terjadi 29 tahun kemudian, yaitu tahun 2013? Penulis menjawab tidak tahu, karena perkembangan di Indonesia akan berjalan sangat cepat. Berarti tidak ada orang yang tahu, apa yang yang akan terjadi pada tahun 2013 nanti. Apalagi sekarang, dengan adanya perubahan politik yang sangat mendasar, akan terjadi perubahan besar-besaran dalam dunia perpolitikan di tanah air kita.

*****

Dalam abad ke 18, Kiai Ahmad Mutamakkin di Mejagung (ada yang menyatakan itu Desa Kajen, Pati, ada juga yang menyatakan hal itu terletak di Kabupaten Tuban sekarang) telah memulai sebuah strategi baru dalam kaitan dengan penguasa. Pada waktu itu, para pemimpin tarekat/gerakan tasawuf pada umumnya menentang penguasa. Sedangkan para ahli fikih, umumnya mendukung penguasa -pada tahun-tahun 60-an hingga sekarang, keadaan menjadi terbalik: pemimpin gerakan tarekat justru dekat/dan banyak mendukung para penguasa, sedangkan ahli fikih umumnya melawan mereka-. Kiai Mutamakkin menempuh strategi baru, yaitu tidak pernah terang-terangan melawan penguasa, melainkan hanya menyebutkan bahwa penguasa yang baik harus mengkhususkan diri untuk menegakkan keadilan, menyejahterakan masyarakat, dan memelihara keamanan di negerinya. Dengan kata lain, ia mengemukakan penguasa yang baik secara teoritik adalah penguasa yang tidak hanya menguasai diri sendiri belaka dan istananya, melainkan kebijakan dan tindakan yang perlu diambil guna kepentingan rakyat.

Strategi untuk tidak berhadapan dengan penguasa ini, ternyata diteruskan dalam bentuk bermacam-macam oleh umat Islam hingga saat ini. Seperti dalam tesisnya, Einar Sitompul menyatakan bahwa ketika Muktamar tahun 1935 di Banjarmasin (Borneo Selatan), Muktamar NU harus menjawab pertanyaan berikut: wajibkah bagi kaum muslimin di kawasan Hindia-Belanda (demikian negeri kita waktu itu disebut) mempertahankan keutuhan kawasan itu yang diperintah oleh para kolonialis Belanda yang tidak beragama Islam? Jawaban Muktamar NU saat itu adalah: wajib, karena di kawasan itu –dahulunya terdapat kerajaan-kerajaan Islam. Keputusan itu sesuai dengan keterangan yang terdapat dalam kitab Bughyah al-Mustarsyidin, di samping kenyataan bahwa kaum muslimin di kawasan tersebut bebas melaksanakan syari’ah Islam. Jawaban ini menunjukkan bahwa, sejak sebelum kemerdekaan, NU selalu terlibat dalam perjuangan bangsa untuk mendirikan negara, apa pun “warna”-nya.

Pada tanggal 22 Oktober 1945, PBNU menyatakan fatwa hukum bahwa mempertahankan dan berjuang dengan senjata untuk membela Republik Indonesia (RI) yang notabene bukan Negara Islam, hukumnya adalah wajib. Karena RI bukanlah Negara Islam, dari fatwa ini menunjukkan bahwa negara agama tidaklah wajib bagi Indonesia dalam pandangan hukum Islam (fiqh).

Setelah itu pada akhir 1984, Muktamar NU di Asembagus (Situbondo) menyatakan asas NU bukan lagi Islam melainkan Pancasila, lebih-lebih lagi NU tidak mementingkan “bentuk luar” bernama Negara Islam, melainkan lebih mementingkan “masyarakat Islam”. Dengan demikian, di satu pihak NU dapat menerima dan lebih mementingkan sebuah negara kesatuan di bawah Orde Baru bagi kita semua, sedangkan di pihak lain NU tetap bersikeras harus ada demokrasi yang akan menjaga kedaulatan hukum. Konsekuensi dari pendirian ini juga adalah kewajiban mutlak untuk mempertahankan RI dari segala macam rongrongan, termasuk terorisme yang menggunakan nama Islam sekarang ini. Kaitan dari sikap tersebut adalah kalau memang benar Amrozi dan Abu Bakar Ba’asyir terlibat dalam tindak teror di negara kita, dan ini dibuktikan secara hukum tanpa “peradilan oleh pers”, maka dengan sendirinya mereka harus menerima hukuman mati atau penjara seperti “diputuskan” oleh pengadilan negeri kita sekarang ini.

*****

Yang menjadi persoalan kita sekarang, adalah kenyataan bahwa NU dan PKB menjadi dua buah entitas/wujud yang berdiri sendiri. Secara organisatoris, kedua lembaga itu tidak memiliki hubungan, walaupun secara historis dan ideologis terikat secara erat. Apa yang penulis ingin dengarkan dari para pemimpin NU adalah ketulusan dan kejujuran hati untuk menyatakan bahwa PKB dilahirkan dan didirikan atas perintah PBNU tahun 1998, setelah PBNU tidak menerima/mengakui usulan KH. M. Cholil Bisri untuk mendirikan sebuah partai yang secara teoritik maupun praktis adalah sebuah partai Islam seperti “PPP sekarang”. Maka diperintahkanlah penulis untuk mendirikan sebuah partai nasional, berarti bukan partai Islam. Inilah, yang kemudian disebut sebagai Partai Kebangkitan Bangsa, lebih dikenal dengan singkatannya, yaitu PKB. Secara historis, hal ini didokumentasikan oleh bukti-bukti yang lengkap.

Dewasa ini, terjadi sedikit “kemelut” di tubuh PKB, dengan munculnya “surat sakti” beberapa orang kiai yang dianggap kiai “khas”, yang menolak hasil pemungutan suara Dewan Syura DPP PKB baru-baru ini. Dalam pemungutan suara itu, Sekretaris Jenderal DPP PKB sekarang ini, mengalami reposisi kedudukan/jabatan, setelah tim tiga telah menemukan penyimpangan-penyimpangan tokoh tersebut di Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) sendiri. Enam belas orang dari delapan belas orang anggota dewan tersebut hadir, dan menyetujui adanya pemungutan suara itu. Ini berarti, telah memenuhi ketentuan-ketentuan AD/ART PKB dan keputusan yang diambil menjadi sah. Kalau masalah ini dibawa juga di pengadilan, berarti memang ada rencana dari luar untuk “memburukkan” nama PKB dalam kedua pemilihan umum yang akan datang.

Karenanya kita tidak perlu takut akan hasil pemilu, karena rakyat sudah dewasa dan tidak akan terpengaruh oleh kembang-kembang seperti itu, dan akan tetap memenangkan PKB. Sebenarnya, yang lebih penting dari itu adalah mendiskusikan-membahas tentang peranan kiai dalam PKB. Sekarang keadaan sudah berubah dalam PKB penentu keputusan bukan hanya kiai saja, melainkan juga rakyat pemilih. Sistem politik kita sudah membuat keadaan sedemikian rupa, sehingga upaya menegakkan demokrasi benar-benar dituangkan dalam bentuk kedaulatan rakyat, melalui hasil pemilu yang sah. Karena itu para kiai juga terikat pada sistem politik seperti itu. Dengan kata lain, para kiai harus mengerti benar kepentingan rakyat yang tercermin dalam proses pemilu, bukan hanya menuruti kehendak hati sendiri. Dengan kata lain pula, kepentingan para kiai haruslah senapas dan sejalan dengan kepentingan rakyat banyak yang akan memberikan suara dalam pemilu nanti. Karena dalam dua tahun terakhir ini penulis selalu berbicara di muka umum (dan dengan sendirinya mendengar) suara orang banyak. Jika apa yang penulis anggap sebagai “suara rakyat” itu tidak benar, tentu penulis sudah ditinggal orang, dalam bentuk tidak mau mendatangi pertemuan-pertemuan tersebut. Nyatanya, sebaliknyalah yang terjadi, dan dengan demikian anggapan penulis itu dibenarkan oleh kenyataan. Nah, penulis berpendapat/berkesimpulan rakyat menghendaki demokrasi dan akan memberikan suara dalam pemilu kepada pihak yang memperjuangkan demokrasi itu, dalam hal ini PKB.

Karena itu, AD/ART harus dipertahan di lingkungan PKB, karena tidaklah mungkin kita menegakkan demokrasi, kalau kita tidak menuruti atau tunduk kepada peraturan-peraturan yang kita buat sendiri. Inilah yang menjadi dasar pendapat penulis dalam kasus yang disebutkan di atas. Memang mudah mengatakan bahwa kita akan menegakkan demokrasi, namun sulit melaksanakan dalam kenyataan, bukan?