NU dan PKB

Sumber Foto: Ditulis pada Tahun: 2002 Pertama kali dipublikasikan di dalam: Buku Koleksi, 16 Februari 2002 Dipublikasi kembali di dalam: Buku Kumpulan Kolom dan Artikel KH. Abdurrahman Wahid Selama Era Lengser (2002)

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

Tak pelak lagi Nahdhatul Ulama (NU) dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dalah dua buah entitas yang saling berbeda. Yang satu memainkan peranan non-politik sedangkan yang lain justru menjadi sayap politik. Kenyataan ini yang mendorng adanya perbedaan tajam antara pengurus NU dari berbagai tingkatan, terlepas dari pengurus PKB dari tingkatan yang berbeda-beda pula. Ketidakmampuan melihat perbedaan ini dapat berakibat fatal, di samping memang bertentangan dengan Undang-Undang (UU) partai politik kita.

Namun, terlihat bahwa para Kiai NU pada umumnya adalah juga pendukung-pendukung PKB. Banyak yang menyatakan tidak mau menjadi pengurus PKB, tetapi berjanji akan mendukung PKB dan segenap kegiatannya. Dalam forum-forum NU mereka tetap aktif, tetapi dalam forum-forum PKB mereka juga tidak kalah aktif. Dengan demikian, tampak dengan jelas di mana letak simpati mereka, yaitu terhadap PKB. Kenyataan sederhana ini tidak dipahami oleh para pengamat, bahkan oleh sebagian oknum-oknum Pengurus Besar Nahdhatul Ulama (PBNU) sendiri.

****

Perbedaan fungsi politik PKB dari fungsi NU yang tidak politis, tidak menutup kenyataan adanya persamaan yang sangat besar antara keduanya. Hal ini, tidak mengherankan karena memang PKB didirikan oleh para pemimpin NU. Sedangkan PKB, bagi mayoritas warga NU adalah wadah politis di luar NU bagi mereka. Kenyataan ini, jarang sekali dimiliki oleh pimpinan NU ditingkat atas (elite). Karena itu, tidak aneh jika para pemimpin NU ada yang menekankan perbedaan antara keduanya karena tidak melihat persamaan-persamaan tersebut. Kecenderungan ini diperkuat pula oleh adanya orang-orang NU di lingkungan partai-partai politik lain. Semisal, Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Golkar, Partai Rakyat Indonesia (PARI), Partai Demokrasi Indonesia NU, jadi Perjuangan (PDI-P), Partai Kebangkitan Umat (PKU), Partai Nahdlatul Ummat (PNU), dan Partai Keadilan (PK), yang merupakan wadah yang banyak diisi orang-orang NU, jadi bukan hanya PKB saja.

Namun, perlu diketahui, kedudukan PKB memang berbeda dari kehadiran orang-orang NU di tempat-tempat lain itu. Perbedaannya terletak dari sikap mereka terhadap kedudukan para Kiai/Ulama dalam pengambilan keputusan. Dalam PKB, para Kiai/Ulama memegang kedudukan dominan dalam pengambilan keputusan, tidak akan lepas dari beliau-beliau itu. Sedangkan di lingkungan partai-partai lain itu, pengambilan keputusan dilakukan oleh para pemimpin partai, yang pada umumnya bukanlah Kiai/Ulama. Dengan demikian, peranan Kiai/Ulama di lingkungan parati-partai politik non-PKB hanya bersifat suplementer. Sedangkan di lingkungan PKB bersifat elementer.

Inilah yang menjadi sebab, mengapa sejumlah Kiai/Ulama di lingkungan NU maupun PKB bersikeras menganggap NU harus menjadi pendukung PKB sebagai satu-satunya wahana politik yang diakui mereka. Ketidakmampuan memahami hal ini berarti juga ketidakmampuan memahami hakikat NU sendiri. Organisasi keagamaan terbesar di kalangan kaum muslimin itu, bisa juga menjadi pihak yang dikorbankan oleh proses modernisasi yang memiliki keyakinan akan supremasi organisasi atas kehidupan para pengikut. Padahal dalam kenyataan, para pengikutlah yang menjadikan para pemimpin PKB sebagai panutan, juga harus diperhitungkan.

***

Dalam hal ini haruslah dilihat, kesungguhan sikap para pemimpin PKB dan sebagian pemimpin NU untuk menegakkan kedaulatan hukum sebagai sebuah hal yang sangat menarik untuk dikaji. Keinginan mereka untuk menegakkan demokrasi secara tuntas, yang berarti dilanjutkannya proses penegakan hukum dan persamaan perlakuan bagi seluruh warga negara di muka Undang-Undang, adalah sesuatu yang didasarkan pada etika/moralitas/al-akhlaq al-karimah yang tuntas pula. Selama para pemimpin NU tidak memperhatikan faktor tersebut, dan hanya menggunakan retorika demokratisasi belaka maka para warga NU akan tetap berbeda pandangan dari pemimpin mereka.

Kenyataan inilah yang harus diperhatikan terus-menerus, baik oleh pemimpin NU maupun PKB. Tentu, hal ini juga harus diramu dengan warisan budaya lingkungan pesantren selama ini. Kenyataan yang demikian sederhana ini, terasa tidak diperhatikan oleh pimpinan NU di lingkungan organisasi keagamaan terbesar Islam itu. Karenanya, tuntutan agar warga NU dibatasi hanya ada di PKB saja, harus dipahami dari sudut perkembangan ini. Tanpa adanya “afiliasi Kultural” seperti itu, maka baik NU maupun PKB akan kehilangan jati diri yang selama ini belum pernah terancam secara serius.

Dengan demikian, di samping perbedaan organisatoris kedua kekuatan tersebut, haruslah juga diingat persamaan dasar yang ada antara keduanya. Apabila dalam pemilu yang akan datang PKB memperoleh dukungan mayoritas warga NU, karena kesungguhan mereka memperjuangkan demokratisasi secara tuntas, tentulah sikap mereka ini harus dirubah. Ini berarti, pengakuan bahwa para pemimpin partai-partai politik lain, walaupun mereka berasal dari NU, tak lagi diikuti masyarakat luas. Kalau hal ini sampai terjadi tentulah wibawa para pemimpin NU yang tak memahami hakikat organisasi mereka ini menghadapi ujian sangat berat. Nah, sampailah kita pada dilema sangat pelik: benarkah mengaitkan NU dengan PKB secara kultural akan menjadi kenyataan?