NU dan Politik
Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid
Dalam sejarahnya, NU lahir bukan dari wawasan politik, melainkan dari wawasan keagamaan. Ia lahir karena sebuah keadaan intern di lingkungan kaum muslimin sendiri, yaitu ketika pemerintah Arab Saudi yang baru berdiri, diperkirakan akan melarang cara beribadah haji, yang diikuti para pengikut mazhab fiqh yang empat. Setelah kemenangan “gerakan Wahabi” di semenanjung Arabia, dengan sendirinya itulah kesimpulan yang muncul. Setidak-tidaknya bagi sejumlah pemuda yang tergabung dalam klub Taswirul Afkar di Kebondalem, Surabaya, di tahun 1924.
Mereka pun lalu sepakat memasuki sebuah kelompok yang mempersiapkan pemikiran kaum muslimin Indonesia, yang akan dibawa ke dalam Kongres Islam Sedunia, yang direncanakan akan diselenggarakan oleh pemerintahan baru Arab Saudi itu di Mekkah. Kelompok itu dinamai “Komite Khilafah”, karena masalah utama yang akan dibahas dalam kongres tersebut adalah kepemimpinan ummat Islam di seluruh dunia (Khilafah), setelah pemangku jabatan itu (khalifah) dalam personifikasi Sultan Abdul Hamid II dari dinasti Usmaniah di Turki, dihapuskan oleh Kemal Ataturk dalam tahun 1924 itu juga. Komite tersebut dibentuk di beberapa kota, sedangkan yang di Surabaya beranggotakan tokoh-tokoh seperti H.O.S. Tjokroaminoto dari Sarekat Islam dan K.H. Mas Mansur dari Muhammadiyah. Dari pihak orang-orang Taswirul Afkar disetujui keanggotaan K.H.A. Wahab Hasbullah dalam komite itu di Surabaya.
Dalam tahun 1925 diselenggarakan pertemuan “antara Komite Khilafah” di Bandung. Karena bertepatan dengan wafat ayahnya, K.H.A. Wahab Hasbullah tidak dapat mengikuti acara itu. Ternyata rombongan Surabaya tidak mau membawakan permintaannya akan masalah peribadatan haji, untuk dibawakan ke dalam agenda kongres di Mekkah tersebut. Sebagai akibat, bersepakatlah para anggota Taswirul Afkar membentuk komite tersendiri, dengan tujuan terbatas untuk memperjuangkan masalah peribadatan haji itu. Kelompok ini mereka namai “Komite Hijaz” (karena mempersiapkan utusan tersendiri untuk berangkat ke wilayah itu). Komite baru itu segera memperoleh persetujuan dan restu para kiai pesantren.
Setelah setahun bekerja, komite itu mencapai tujuannya dengan datangnya surat balasan raja Abdul Aziz ibn Sa’ud, yang menyatakan perkenan pemerintah Arab Saudi akan permohonan tertulis mereka. Hasil baik yang dicapai, tanpa mengirimkan utusan ke sana. Pada pertemuan pembubaran komite tersebut dalam tahun 1926, para kiai pesantren minta mereka untuk meneruskan kiprah organisatoris yang sudah berlangsung, sudah tentu untuk tujuan lebih luas menegakkan faham ahlus sunnah waljama’ah menurut penafsiran kaum pengikut mazhab yang empat. Lahirlah dengan demikian Nahdatul Ulama dalam tahun 1926.
Motif non-politis yang mendorong kelahiran NU itu, ternyata menjiwai kehidupan organisasi tersebut, sehingga baru sekitar limabelas tahun kemudian ia terlibat dalam gerakan politik. Kenyataan bahwa para pengambil inisiatif berdiri. nya NU itu adalah bekas pengurus SI cabang Mekkah di tahun 1913-14, tidak lalu berarti NU menumbuhkan orientasi politis dalam dirinya. A. Wahab Hasbullah, R. Asnawi dan Dachlan (Kertosono), yang merupakan inti “Kelompok SI Mekkah” itu, juga tidak memiliki motif politis, ketika mendirikan organisasi tersebut di luar tanah air. Mereka tahu, hanya ada satu organisasi belaka di kalangan kaum muslimin di tanah-air, yaitu SI di waktu itu.
Orientasi politis mulai berkembang di kalangan NU, ketika sejumlah orang muda memegang pimpinan pengurus pelaksana harian (Tanfidziah) sejak akhir dasawarsa tigapuluhan. Mahfudz Siddiq, Abdullah ‘Ubaid, M Ilyas dan A. Wahid Hasjim adalah eksponen kecendrungan untuk menggalang kesatuan gerak dengan kelompok-kelompok muslim lain di luar NU. Apalagi waktu itu tengah berlangsung polemik dan perdebatan tentang dasar-dasar negara, yang akan ditubuhkan di bumi Nusantara kelak, karena keyakinan semakin mendekatnya saat kemerdekaan dicapai. Yang terkenal di antara perdebatan seru itu adalah polemik antara Moh. Natsir dan Soekarno, yang sedikit-banyak tentu menumbuhkan loyalitas primordial antara para pemuda yang tergabung dalam berbagai gerakan Islam, termasuk NU.
Hasil perubahan orientasi NU itu adalah terbentuknya MIAI (Majlis Islam A’la Indonesia, Dewan Tertinggi Islam Indonesia), yang kemudian digantikan oleh Masjumi (Majlis Syura Muslimin Indonesia, Dewan Permusyawaratan Muslimin Indonesia) di tahun 1944. Setelah kemerdekaan diproklamirkan organisasi gabungan kaum muslimin segera menjadi partai politik. Walaupun pada mulanya dapat dipertahankan keutuhan partai tersebut, tetapi dalam waktu tidak sampai sepuluh tahun, dua unsur penting keluar dari Majumi, yaitu SI di tahun 1948 (yang kemudian membentuk PSII, Partai Syarikat Islam Indonesia) dan NU di tahun 1952. Alasan NU adalah karena besarnya dominasi golongan intelektual yang tidak memiliki massa di dalamnya. NU menjadi partai politik yang berdiri sendiri, tetapi segera menjadi nyata, bahwa ada sesuatu yang tak diperhitungkan semula, muncul ke permukaan.
Motif yang secara politis berwatak non-ideologis bagi keluarnya NU dari Masjumi, ternyata hanyalah menghasilkan orietasi politik yang sangat berwatak taktis, tidak bersandar pada kejelasan strategis yang diambil. Turut-sertanya NU dalam kabinet Ali-Arifin, penerimaannya atas Demokrasi Terpimpin di masa pemerintahan mendiang Presiden Soekarno dan kehidupannya di masa Orde Baru ini, jelas menunjukkan waktak taktis dari perjuangan politik NU. Bahkan dalam tahun-tahun belakangan ini “sayap politik” di dalam NU hanya bertumpu pada “perjuangan” taktis semata-mata, dengan tidak ada pretensi strategis sama sekali Walk-out di MPR, minderhedsnota di DPR, kampanye pers hanya untuk masalah-masalah insidentil dan sebagainya. Kehidupan NU dengan demikian lalu sangat dipengaruhi oleh perkembangan sesaat belaka, yang dalam jargon komunikasi massa disebut “orientasi isyu” (issues oriented). Agenda NU dengan demikian lalu didikte dan ditentukan dari luar.
Hal ini sangat jelas tampak dalam kemelut MI-NU dalam PPP saat ini. “Sayap akomodatif” dalam NU tampak sangat dipengaruhi oleh kemungkinan pengucilan politik, jika sampai muncul anggapan pemerintah, bahwa NU “menggagalkan keberhasilan Pemilu 1982”. Ketakutan ini lalu membuat NU samasekali tidak mengambil sikap jelas terhadap MI.
Sebaliknya, “sayap non-akomodatif” yang diwakili beberapa tokoh pimpinan penting, juga terlalu dihantui oleh kejijikan atas apa yang mereka anggap sebagai cara-cara kotor, yang digunakan pimpinan MI untuk menggusur NU dari dominasi politik dalam PPP. Sikap emosional yang jelas tidak didukung oleh kerangka strategis yang jelas.
Padahal dalam kemelut MI-NU itu tersembunyi sebuah masalah strategis yang mendasar. Budaya politik apa yang seharusnya ditumbuhkan dalam kehidupan bangsa di masa depan? Budaya politik submissif (mengekor) yang dijinakkan oleh konformitas sikap dan dibentuk oleh uniformitas pola kehidupan di segala bidang? Ataukah justru budaya-politik yang berwatak keterbukaan bagi gagasan saling berbeda, termasuk di bidang politik sendiri?
Kalau pilihan kedua ini yang akan diambil, jelas bahwa NU tidak dapat lebih lama lagi berada di lingkungan PPP Ini berlaku apa pun “penyelesaian” taktis yang dapat dihasilkan oleh pimpinan NU dalam percaturan politik mereka dengan pimpinan MI, yang juga menjadi bagian dari sistem lebih besar (tetapi tetap berdimensi sub-negara) saat ini di luar PPP sendiri.
Argumentasi paling kuat bagi keputusan untuk keluar dari PPP, jika diambil NU sebagai “penyelesaian” strategis dalam kemelutnya dengan MI sekarang adalah secara taktis mungkin saja NU memperoleh kemenangan, tetapi secara strategis tetap tidak ada harapan bagi NU untuk memperjuangkan di dalam PPP budaya-politik yang dipilihnya itu Budaya-politik seperti itu pada saat ini memang hanya dapat dikembangkan di luar lingkungan partai dan golongan politik, karena seluruh sistem pemerintahan tidak memungkinkan.
Keputusan untuk membina kehidupan politik lebih baik bagi bangsa di kemudian hari justru mengharuskan NU untuk memasuki jaringan perjuangan non-politis, untuk melakukan transformasi mendasar secara damai dalam segala bidang kehidupan, bersama dengan gerakan bantuan hukum struktural, gerakan konsumen, gerakan memajukan pedesaan melalui pendekatan dari bawah dan seterusnya.
Dengan potensinya yang besar umatnya yang relatif masih utuh dan wibawa ulama yang memimpinnya, NU dapat berperan lebih besar lagi bagi penegakan kehidupan bangsa yang lebih demokratis dan lebih berkeadilan di kemudian hari.
Bukankah ini lebih mulia dari pada “perjuangan” memperebutkan sejumlah kursi, yang tidak memiliki fungsi efektif di lembaga-lembaga perwakilan rakyat dan melestarikan sistem politik yang timpang?