NU Dan Tugas Intelektual Muslim

Sumber foto: https://alif.id/read/fi/mitos-kemunduran-dunia-intelektual-islam-b247663p/

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

Jika ingin melihat posisi Nahdhatul Ulama (NU) dalam konfigurasi kelompok-kelompok strategis bangsa saat ini, maka satu hal yang harus disadari bahwa NU merupakan bagian dari organisasi-organisasi atau gerakan Islam, (islamic movement). Oleh karenanya, kita akan melihat terlebih dahulu nasib islamic movement itu dalam naungan rezim Orde Baru, sejauh usia dua puluh lima tahunnya yang pertama.

Pengamatan terhadap konstelasi sosial politik era Orde Baru akan memperlihatkan pola perkembangan dasar hubungan antara Islam dan negara. Terdapat pula dua perkembangan yang berlawanan arah sebagai akibat ambivalensi kebijaksanaan pemerintah terhadap Islam. Pertama, dengan policy monoloyalitas, penyederhanaan parta-partai politik Islam dan penetapan Pancasila sebagai satu-satunya asas, pemerintah Orde Baru sesungguhnya sedang melakukan suatu rekayasa untuk sebuah proses yang disebut orang dengan dealiranisasi. Dengan kebijaksanaan itu, partai-partai politik yang berdasarkan aliran seperti Partai Nasional Indonesia (PNI), PSI, Nahdhatul Ulama (NU), Murba, PSII, Perti dan sebagainya berhasil dipapras oleh pemerintah. Dapat disaksikan kemudian, kekuatan politik formal. Islam bersama-sama golongan lain habis tergusur dari panggung politik nasional.

Namun kedua, pada saat yang bersamaan, pemerintah ternyata memerlukan legitimitas bagi program-program pembangunan dari berbagai pihak, termasuk dari gerakan Islam. Hampir semua pihak berhasil diserap pemerintah termasuk PNI, PSI dan sebagainya. Pemberian legitimitas itu berhasil dicapai dengan mudah, karena tawaran mereka simpel sekali: “ikutkan kami dalam proses politik, beres”. Hanya kantong-kantong kecil saja yang tidak berhasil diserap, termasuk gereja. Tetapi karena jumlah mereka kecil, ya tidak ada masalah bagi pemerintah.

Yang menyangkut golongan Islam-lah yang susah. Karena jumlahnya yang besar, maka pemerintah tidak begitu saja meninggalkan golongan Islam yang upayanya memperoleh legitimitas bagi program-program pembangunan semacam KB, lingkungan hidup, perkembangan hukum dan sebagainya.

Akibat dari ambivalensi itu dapat dilihat sekarang, yaitu terjadi proses berkebalikan. Di satu pihak terjadi proses pengikisan kelompok formal politik Islam, namun di pihak lain kekuatan kepemimpinan non-formal Islam justru semakin meningkat. Karena ia kemudian dapat berbeda dalam sistem, sekaligus sebagai korektor di luar sistem. Ini merupakan proses yang tidak terduga sebelumnya. Kekuatan islam, walaupun tidak formal, sudah seimbang dengan kekuatan lain.

Polarisasi Kekuatan islam

Kekuatan (politik) umat Islam selama lebih kurang 20 tahunan ini sudah tumbuh dan berkembang. Namun bukan berarti tanpa dinamika sama sekali. Kita semua tahu, di kalangan Islam, tidak terdapat kesamaan strategi dalam pengembangan kekuatan umat, sehingga terjadi polarisasi yang begitu tajam antar berbagai gerakan Islam. Ada dua kecenderungan umum yang selama ini terjadi, walaupun dalam kenyataan nantinya berkembang menjadi varian-varian yang beragama dan seringkali justru berlawanan. Pertama, Pihak yang berpendapat bahwa Islam seharusnya tidak menampilkan diri dalam bentuk yang eksklusif. Islam tidak menampilkan warna kelslamannya, melainkan mengintegrasikan kegiatannya dalam kegiatan bangsa secara keseluruhan. Pada kelompok ini, tema-tema dan pilihan-pilihan masalahnya sangat jelas, yaitu masalah yang dihadapi bangsa. Paradigmanya adalah berangkat “dari agama” untuk memecahkan masalah-masalah bangsa. Kedua, Pandangan yang menginginkan terwujudnya ajaran Islam dalam kehidupan berbangsa dan bernegara melalui pranata negara (state). Mereka ingin agar agama menjadi pemecah masalah. Paradigmanya adalah berangkat “dengan agama” untuk menyelesaikan masalah-masalah bangsa.

Kedua kecenderungan di atas menurut saya sama-sama kuat. Kecenderungan pertama diwakili oleh NU dan sebagian Muhammadiyah. Kita sudah mantap di tempat sendiri dalam ke-Islaman kita, lalu tidak butuhidentifikasi baru lagi. Kita sekedar berpikir masalah bangsa itu apa, lalu dengan tenang ikut menyelesaikannya. Sedangkan sebaliknya, mereka yang berada dalam pencarian identitas secara intens, identifikasi diri sebagai proses pengenalan Islam maka mereka ini justru ingin menampilkan wajah Islamnya. Dan-celakanya-kadang-kadang tidak didukung oleh substansı apapun, karena memang tidak mengerti agama. Mereka ingin mengekspresikan keberagamaannya dalam lingkup negara, dengan tidak memisahkan agama dari negara. Mereka punya kerinduan agar ajaran Islam diaplikasikan dalam kehidupan masyarakat melalui negara.

Namun sesungguhnya perpecahan ini justru menjadi hikmah karena posisi umat Islam menjadi bertambah kuat. Umat Islam lalu terbagi dalam sekian banyak kegiatan secara merata. Dari yang mengeritik model pembangunan, mengurusi ritual, politik formal dan masuk birokrasi. Ada juga yang hanya bangga kalau “dekat” dengan pejabat, tapi yang mbeling, gila juga ada. Akibatnya sungguh luar biasa. Umat Islam muncul sebagai kekuatan yang sangat diperhitungkan, yang bisa berfungsi korektif walaupun dalam banyak hal befungsi legitimitatif yang sangat memuakkan. Karena meskipun terpecah, dalam beberapa hal dasar mereka menyatu, seperti sama-sama anti Kristen, anti korupsi, anti SDSB dan sebagainya.

Oleh karena itu, sebenarnya — menurut saya, sudah waktunya melakukan upaya untuk lebih saling memahami, bukan menyamakan atau menyeragamkan. Kalau bisa tanpa harus dikomunikasikan secara mekanistik. Karena jika sudah dipahami, tanpa komunikasi pun akan terjadi proses saling mendukung dan mengisi.

Proses Demokratisasi

Sekarang situasi yang sangat kompleks dalam lingkup internal gerakan Islam itu kita hadapkan pada konstelasi situasi secara umum darı bangsa kita. Proses dealiranisasi yang direkayasa oleh pemerintah Orde Baru, ternyata juga memperlihatkan corak perkembangan (laten) lain. Ada upaya untuk melakukan sekularisasi, yaitu upaya untuk memperciut ruang gerak agama, apapun alasannya. Kaum sosialis, PSI, orang Murba dan sebagainya karena pengaruh filsafat plitiknya yang materialistik, tidak mengakui agama sebagai kekuatan politik. Karena itu mereka sebenarnya setuju dalam soal agama, tetapi agama sebagai alat individu, sebagai ekspresi individual.

Dalam konteks belantara kebangsaan seperti itu, maka persoalan yang mendesak untuk segera dijawab adalah bagaimana melakukan upaya mencari bentuk-bentuk negara yang lebih pasti, yang akan memberi tempat kepada agama tetapi tidak mematikan yang lain. Pada umumnya di masa lalu, jawaban terhadap masalah ini sangat vulgar, seperti kebatinan dan sebagainya. Namun dalam perjalanan sepuluh tahun terakhir, hal ini telah mencapai bentuk yang sangat baik, yaitu proses demokratisasi.

Bagi saya, isu demokratisasi inilah merupakan hal yang dapat mempersatukan beragam arah kecenderungan kekuatan-kekuatan bangsa. Ia dapat membuat keterceraiberaian arah masing-masing kelompok menjadi berputar bersama-sama menuju arah kedewasaan, kemajuan dan integritas bangsa. Jika gerakan Islam dapat memperjuangkan proses ini, maka ia akan dapat menyumbangkan sesuatu yang sangat berharga bagi bangsa ini.

Jadi proses demokratisası itu — karena orang Islam sendiri tidak pernah bisa memberikan sumbangan yang jelas — maka hal itu menjadi tumpuan harapan dari mereka yang menolak pengagamaan negara, tetapi sekaligus memberikan tempat bagi agama. Kalau suatu masyarakat itu demokratis, Islam akan terjamin. Ini merupakan appeal kepada orang-orang yang fanatik tadi, yang sedang mencari identifikasi Islam. Kita katakan, demokratisasi justru akan menampilkan wajah Islam. Sementara kepada yang lain, yang tahunya Islam hanya serem-serem saja, maka demokratisasi kalau kita garap-kembangkan, berarti datangnya perlindungan dari Islam bagi mereka.

Polarisasi dalam Agama Kristen

Di atas telah dijelaskan bahwa proses demokratisasi akan merupakan jaminan perlindungan dari Islam sebagai agama mayoritas. Baik kepada kaum sekuler, yang menolak pengagamaan negara, maupun kepada kelompok agama lain yang selama ini selalu “ngeri” melihat kekuatan Islam. Hal ini perlu dijelaskan untuk mencegah kecenderungan kita yang senantiasa mengidentifisir kelompok lain menjadi kelompok yang selalu mengecam umat Islam Karena jika kecenderungan ini berlebihan, hanya akan menampakkan wajah rendah kita dan pada gilirannya akan menjadi suatu counter productive bagi kekuatan kita, sebagaimana diilhami oleh kaum Kristen.

Ide demokratisasi sesungguhnya tidak murni hanya berasal dari Islam. Namun juga berasal dari kalangan muda Katolik dan Kristen yang risau melihat policy dari pemimpin-pemimpin politik mereka, yang berusaha menjejalkan orientasi Kristen dalam kehidupan negara.

Sesungguhnya ada dua pendapat tentang cara bernegara dan hubungannya dengan umat Islam di Indonesia di lingkungan generasi muda Katolik. Pertama, pendapat yang ditawarkan Ali Murtopo melalui CSIS (Centre for Strategic and International Studies). Teorinya sering disebut dengan minus mallum atau dalam bahasa Ushul al-Fiqh kira-kira “mengambil yang paling ringan dari dua hal yang sama berat”. Dalam kasus Indonesia, apa yang harus dipilih antara hijaunya tentara atau hijaunya umat Islam. Mereka lalu memilih hijaunya tentara untuk memukul umat Islam. Sekarang, policy itu menjadi counter productive.

Kedua, kelompok yang berpendapat sebaliknya. Bagi mereka, hidup di Indonesia tidak bisa begitu. Mengadu antara tentara dengan umat Islam sama saja dengan mencari penyakit. Gajah berkelahi dengan gajah, maka yang mati adalah pelanduk di tengah-tengah Mereka khawatir terhadap pukulan balik umat Islam. Mereka percaya bahwa umat Islam tidak berbahaya, kecuali jika diganggu. Sehingga mereka lalu mengajukan gagasan mayos bannum. Mana yang paling bermanfaat, itulah teman. Maka terbentuklah kemudian Yayasan Rakyat Indonesia yang didirikan antara lain oleh Chris Siner Keytimu, Eko Tjokrojoyo, Jakon Oetama, Romo Mangun, John Totely, Einar Sitompul, Nababan, Franz Magnis Suseno dan sebagainya. Maka tidak heran, ketika Forum Demokrasi (Fordem) dibentuk, mereka menunjuk saya sebagai ketuanya.

Krisis Internal ABRI

Perkembangan konstelasi sosial politik era Orde Baru ternyata juga memperlihatkan kepada kita krisis yang terjadi di dalam lingkup internal ABRI. Krisis itu timbul karena beberapa hal yang saling terkait. Perubahan sosial ekonomi yang dilakukan pemerintah, bagaimanapun juga telah membawa sedikit peningkatan taraf hidup. The great expectation pun lalu dikandung penduduk sebagai akibat naiknya ukuran-ukuran obyektif kehidupan Kamudian ada tuntutan-tuntutan subyektif dalam menilai keberhasilan pembangunan, sehingga muncul pula tuntutan kebebasan berpendapat, berserikat dan –pendeknya– demokratisasi di segala bidang. Di sini kita tahu bahwa proses demokratisasi tidak dapat ditunda lagi

Dalam tekanan arus demokratisasi di atas, yang menempati posisi paling sulit adalah ABRI. Jika arus itu ditebas, maka ABRI menjadi semakin tidak populer Mereka sangat menyadari hal ini. Namun jika tidak dipotong, tentu akan menciptakan pertentangan intern dalam tubuh ABRI sendiri. Antara yang dinilai melanggar wewenang mengumpulkan kekayaan, menyalahgunakan wewenang kekuasaan dan sebagainya dengan mereka yang masih “puritan”. Gejala-gejala dari semua krisis semacam ini sudah sering nampak.

Agenda Intelektual NU

Apa yang harus dilakukan intelektual NU? Kita sudah melihat, bahwa sesungguhnya, kita dapat melihat banyak sekali yang dapat dijadikan partner dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, jika kita ingin mengembangkan pola-pola kebangsaan dengan ikut mengupayakan proses demokratisasi di segala sisi kehidupan. Oleh karena itu –menurut saya– kita perlu menempuh strategi ganda. Ada yang harus mengurus proses formalisasi agama dalam kehidupan bernegara melalui cara-cara dalam produk-produk yang nantinya menampilkan syi’ar, sebagaimana yang telah diperjuangkan oleh Departemen Agama, ICMI, sisi lain NU dan Muhammadiyah. Sementara itu, juga harus ada yang merebut –justru– isu-isu umum yang bukan “khas” Islam untuk dikelola, sehingga kita akan mendapat banyak teman. Walaupun pandangan mereka mungkin ada yang membahayakan agama, namun perlu diayomi. Sebab bagi saya, orang Islam seperti itu hanya karena tidak mengetahui Islam.

Pemahaman yang utuh terhadap strategi ganda seperti itu, harus memiliki zonder yang dikomunikasikan secara normal Ya, non formal saja, sedikit demi sedikit akan menjadi rata. Jika sudah demikian, maka dalam jangka panjang, konstelasi sosial politik nasional –terlepas dari siapa yang menjadi presiden atau apa model pemerintahan– maka tempat ajaran Islam sudah terjamin.

Lalu ukurannya? Kalau ukuran optimalnya harus menguasai lembaga kenegaraan, mungkin itu harus menunggu. Tapi kalau minimal, Islam sekedar berfungsi mendorong proses semakin mengentalnya identitas Islam dalam kehidupan bernegara dan semakin dikenalnya Islam sebagai rahmatan li al-‘alamin, bukan menjadi masalah besar.

Selanjutnya yang perlu digarap adalah kelompok-kelompok strategis seperti militer, birokrat, organisasi politik, organisasi massa, profesi, LSM dan pers. Ketujuh kelompok strategis inilah yang menjadi pengambil keputusan politik di Indonesia. Dengan konstelasi seperti ini, menurut saya, kedua corak pandangan Islam di atas sebenarnya bisa sama-sama masuk dalam single issue yang walaupun berbeda, tapi tujuannya sama. Dengan demikian tidak ada masalah yang mengganggu Islam. Kalau terjadi hal-hal yang semacam, itu ancaman taktis saja. Seperti isu Wapres dari kalangan non-Muslim Nah itu bisa diatasi dengan cara taktis pula seperti acara gendeng-gendengan yang sering saya lakukan.

Malah yang justru harus diperhatikan adalah mencegah jangan sampai terjadi proses over islamization di pemerintahan, karena Islam akan lebih mudah dimanipulir. Dan kemudian islam disantuni begitu rupa sehingga kemampuannya untuk berkembang secara dinamis, independensinya dari kekuasaan, dan kreativitasnya sebagai lembaga yang hidup di atas tenaganya sendiri, akan terancam.

Jika proses demokratisasi islam oleh pemerintah terjadi, maka kita menempuh cara yang bijaksana, yaitu tidak mengambil sikap konfrontatif. Melainkan melakukan perbaikan-perbaikan gradual. Dan kalau perlu meminjam strategi Kardinal Sin dari Filipina. la mengatakan bahwa gereja sebaiknya mengambil kebijaksanaan critical collaboration (bekerja sama secara kritis) terhadap Marcos. Yaitu dalam hal yang sama, tetap sama, namun dalam hal yang berbeda, kita kritis.