NU Memasuki Abad Modern

Sumber Foto: https://www.kompas.id/baca/polhuk/2023/02/07/kebangkitan-baru-di-abad-kedua-nu

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

بسم الله الذي خلقنا من نفس واحدة والحمد لله الذي انقلنا من الكفر وعقوبة الردة والصلاة والسلام على رسوله الكريم الذي ارسل الله الينا با الرسالة الخالدة وعلي اله المطهرين الذين تمسكوا بالمحبة والمودة وعلي اصحاب، الذين تخلقوا باخلاق المورة اما بعد

Ulamaa’anal kiraam……

Yang terhormat Bapak Bupati Kepala Daerah beserta Bapak anggota Muspida, Bapak Ketua DPRD dan Pimpinan DPRD. Bapak Bapak Pimpinan Pemerintahan lainnya diberbagai tingkatan dan instansi di Kabupaten Gresik ini.

Bapak Bapak dari beberapa Badan Usaha milik negara yang ada disini, para pengurus Nandlatul Ulama beserta neven organisasinya, baik dari tingkat cabang Gresik, Majlis Wakil Cabang maupun Ranting Ranting: para tamu dari Organisasi Politik dan Partai Politik serta Organisasi kemasyarakatan. Para hadlirin dan hadlirat.

Alhamdulillah, malam ini walaupun sudah agak larut malam, kita masih berada di ruangan ini untuk mengadakan silaturrahim antara Pengurus Besar Nahdlatul Ulama dan warga Nahdlatul Ulama di Kabupaten Gresik, dengan disaksikan oleh Bapak Bupati dan Bapak Bapak yang lain disini.

Terlebih dahulu saya minta ma’af yang sebesar besarnya karena datang terlambat, mengingat memang lalu lintas Jakarta–Gresik walaupun sudah banyak kemudahan, masih sering berada diluar kontrol kita juga. Yang kedua, permintaan ma’af saya adalah karena walaupun sering lewat dijalan Raya ini menuju Lamongan dan seterusnya, tetapi jarang sekali bertemu dengan Nadliyyin dan Nahdliyyat di Gresik ini, karena Jalan Raya ini bukan milik orang Gresik saja. Tetapi milik semua orang. Ini menunjukkan arti strategis dari daerah Gresik, dimana kita melihat pertumbuhan dua sisi dari daerah ini secara bersama-sama sekaligus. Kita melihat sektor modern, (telah berdiri usaha usaha industri yang besar) yang merobah segala macam kehidupan disini: tapi pada saat yang sama, (kita juga melihat di Gresik ini, sebagaimana telah diutarakan oleh Bapak Bupati tadi) masyarakatnya masih berpegang teguh pada ajaran Agama Inilah persisnya apa yang dihadapi oleh Nahdlatul Ulama sekarang.

Mengantarkan Warga Nu Me Masuki Abad Modern

Bagaimanakah Nahdlatul Ulama mengantarkan warganya (yaitu Nahdliyyin dan dan Nahdliyyat) untuk memasuki abad modern, untuk menumbuhkan kehidupan yang sesuai dengan tuntutan zaman. tetapi tidak terlepas dari kendali kendali Agama? Ini tantangan Nahdlatul Ulama yang harus dihadapi. Sedangkan Nahdlatul Ulama tidak hanya melayani orang Gresik saja. Artinya kalau di Gresik ini sudah terasa kebutuhan untuk menyerasikan pertumbuhan kehidupan keagamaan dengan pertumbuhan industri, maka hal ini merupakan tuntutan yang sama di daerah-daerah lain di Indonesia.

Namun laju perkembangannya tidak sama. Ada yang sudah seperti Gresik ini (ada Petrokimia, Pabrik semen dan seterusnya juga ada kuburan Wali. Sedangkan di daerah lain sudah tidak punya kuburan Wali dan tidak ada pabriknya).

Jadı walaupun problemnya sama. (yaitu bagaimana mencarı modernitas menjadi manusia modern. tanpa terlepas dari kaitan agama) tetapi wajahnya lain antara Gresik dengan daerah daerah lain. Nah. … Nahdlatul Ulama harus menjawab ini semua.

Pertumbuhan pertumbuhan yang tidak sama di seluruh Indonesia, harus dijawab dengan satu patokan dan satu ukuran. Inilah kesulitan yang dihadapi oleh Nahdlatul Ulama. Biasanya,

suatu organisasi, apabila ditantang oleh tugas yang demikian berat, lalu terjadi kesulitan kesulitan baru untuk mencari rumusan jawabannya. Terjadi perbedaan faham yang tajam.

Alhamdulillah, Nahdlatul Ulama tidak demikian. Nahdlatul Ulama dengan keutuhan para Ulama’nya, dengan kebulatan tekad para warganya, dengan kerukunan para pemimpinnya, ternyata Nahdlatul Ulama mampu mencarikan jawaban masalah pokok tadi.

Nahdlatul Ulama Berasas Pancasila

Dalam Muktamar ke 27 Nahdlatul Ulama di Situbondo ditetapkan bahwa Nadhlatul Ulama adalah sebuah organisasi yang berasaskan Pancasila.

Mengapa kita harus sulit sulit merumuskan asas Pancasila? Bukankah Pancasila itu sudah miliknya Negara? Sudah mapan melalui sekian ketetapan MPR, dan sudah mapan dalam Undang-Undang Negara? Sudah dimantapkan pula dalam Garis Garis Besar Haluan Negara? Dan mengapa orang yang tidak dipemerintahan harus pula mengikuti asas Pancasila?

Masalahnya adalah karena Indonesia ingin menjadi Negara Yang modern. Modernitas satu bangsa dan satu Negara, ditentukan oleh sistimnya yang tunggal. Ada persambungan dari satu masa kemasa yang lain. Ada terusan program ke program terus menerus. Tidak perduli siapa yang memegang kendali pemerintahan. Fihak mana yang memenangkan Pemilu, tetap saja kehidupan Negara berjalan atas dasar dasar yang sama. Tidak, kalau fihak A menang pemilu lalu Negaranya bercorak begini. Kemudian pemilu berikutnya fihak B yang menang, lalu ganti corak Negaranya. Yang demikian itu namanya belum modern. Kalau yang dinamakan modern betul, negaranya merupakan satu kesatuan yang utuh, bulat dan berkesinambungan. Ini yang dituntut oleh bangsa dan negara kita Republik Indonesia.

Kita sudah membangun. Kalau membangun ke arah negara yang tangguh dimasa depan, sanggup bersaing dengan negara manapun, maka corak kehidupan negaranya harus lumintu. Dan ini hanya bisa dicapai, kalau kita menggunakan satu rujukan, satu refrensi. Dan refrensi itu adalah asas Pancasila. Jadi ini hendaknya yang harus difahami oleh warga Nahdlatul Ulama. Karena walaupun Nahdlatul Ulama sudah menerima asas Pancasila secara aklamasi dalam Muktamar Situbondo dan sudah satu tahun kita menerima asas Pancasila. masih banyak warga kita yang kalau ditanya orang, tidak bisa menjawabnya.

Mengapa kita perlu perlunya menerima asas Pancasila? Kok repot repot? Bahkan pertanyaannya kadang kadang lebih buruk lagi ……. Sampeyan diburuhi piro nompo asas Pancasila? Dikira ini hanya untuk kepentingan sesaat. Persoalannya adalah tidak demikian; ini berkait dengan struktur Negara. Dan bagaimana Agama bisa berfungsi atau berperan di dalam Negara. Karena itulah ketika dilancarkan gagasan untuk memperlakukan asas Pancasila bagi semua organisasi politik dan organisasi kemasyarakatan, yaitu dimulai oleh Pidato Bapak Presiden Suharto pada tanggal 16 Agustus 1983; segera saja Nahdlatul Ulama tanpa ragu-ragu, langsung berunding dengan fihak pemerintah. Dalam perundingan itu kebetulan saya yang (karena memang yang menganggur mungkin kelihatannya) disuruh mengurusi masalah itu.

Saya masih ingat betul; bertemu pertama kali dengan Bapak Murdiono (Mentri Muda Secretaris Kabinet). Saya bertanya kepada beliau “Pak, kalau asasnya itu Pancasila, maka kami boleh-tidak, hidup beragama dengan mendasarkan diri pada keyakinan agama kami?

Jadi berasas Pancasila, tapi ketika hidup beragama (bukan hidup bernegara dan berbangsanya), boleh-tidak, kami menggunakan dasar yang lain? yakni dasar Agama? Sebab ka- ini tidak boleh. yaah …….. , sudah tidak usa NU Pak.” Beliau langsung menjawab; “Oh……….. bebas yang kami urus ini bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, Ini harus melalui saluran Pancasila, karena bermasyarakat itu artinya berantar golongan, termasuk golongan Agama. Sedangkan bernegara jelas sekali adalah kepentingan Nasional yang merupakan titik temu dari kepentingan masyarakat dan golongan yang berbeda beda. Lalu berbangsa adalah kepentingan umum untuk menjaga keutuhan Negara, keutuhan Wilayah dan kawasan Republik Indonesia (keutuhan bumi Nusantara). Itu Pancasila, Lalu adapun orang Islam mau hidup beragamanya pakai Islam, monggo. Orang Kristen pakai Kristen, silahkan!” Jadi langsung saya lego. “Baru ketemu sekali sudah jodoh”, katanya.

Jadi, saya pulang matur (melapor) pada sesepuh saya (Bapak Pengurus Besar Syuriyah). Saya ceritakan bahwa asas Pancasila tidak menyangkut dasar kehidupan beragama kita. Lalu, beliau menjawab: “Yah sudah, kalau begitu kamu rumuskan bagaimana baiknya.” Kemudian kita proses lebih jauh, sampai akhirnya menghasilkan Munas Ulama di Situbondo pada tahun 1983. Disana sudah kita katakan bahwa Nahdlatul Ulama menerima Pancasila sebagai asas. Diperkuat dan diperinci kembali oleh Muktamar Nahdlatul Ulama ke 27, juga di Situbondo tapi tahun ’84 (setahun kemudian).

Dalam Muktamar Situbondo, sudah jelas terbaca masalahnya tertuang dalam Anggaran Dasar Nahdlatul Ulama. Pasal 2, asas. Nahdlatul Ulama sebagai Jam’iyah Diniyah Islaamiyah (Perkumpulan Agama Islam istilah Indonesianya), berasaskan Pancasila, mutlak kita terima.

Nu Beraqidah Islam Ahlus Sunnah Walja Ma’ah

Pasal 3, Aqidah. (laa ini, dasar kehidupan beragama) Aqidah Nahdlatul Ulama adalah Islam menurut faham Ahlussun waljama’ah dan seterusnya. Sekarang saya sering ditanya orang. “Pak, kalau NU beraqidah Islam, artinya baru separuh dari Islam. Karena Islam itu adalah Aqiidatun wasyarie’atun. Bukan hanya aqidah saja, tetapi juga syari’at. Bagaimana NU kok berani beraninya meninggalkan syari’at ini? Apa Bapak tidak takut dilandrat dihari qiyamat nanti?” Saya katakan bahwa, Sampeyan baca Pasal 4 Anggaran Dasar Nahdlatul Ulama, bunyinya tujuan. Tujuan Nahdlatul Ulama adalah pelaksanaan ajaran Islam menurut faham Ahlussunnah wal jama’ah. Jadi kita menginginkan berlakunya ajaran Islam. Berarti ini syari’at. Orang lain tentunya akan kaget (terkejut). “Lho, kalau begitu kan sama dengan Piagam Jakarta?” Jawab kita Jangan kuwatir Pak, syari’at yang hendak dituju oleh Nahdlatul Ulama berbeda dengan syari’at yang lain lain. Rumusannya lain, ada cagerannya. Ini untuk mengamankan Pancasila. Rumusannya adalah bahwa tujuan Nahdlatul Ulama adalah pelaksanaan ajaran Islam berdasarkan faham Ahlussunnah waljama’ah, mengikuti salah satu madzhab yang empat, dalam kerangka bernegara Republik Indonesia. Lah, ini cagerannya. Jadi kita tidak syari’at asal syari’at. Tapi syari’at yang akan diterapkan di negara Republik Indonesia. Yah seperti syari’at yang kita kenal sekarang, dimana orang lain tidak merasa takut apa apa. misalnya seperti; kalau hari Jum’at, orang Islam dengan sendirinya pergi ke Mesjid. Kalau sudah cukup harta bendanya dengan sendirinya membayar zakat, mengeluarkan infaq, shodaqah dan sebagainya. Kalau sudah cukup dengan sendirinya nanti beribadah haji. Yang kalau lahir sudah diajari syahadat; dan seterusnya. Kalau bulan puasa berpuasa. Syariat yang demikian ini adalah syari’at yang berlaku di Indonesia, yaitu sebagai akhlaq masyarakat atau etika masyarakat. Agama menjadi panutan masyarakat, lepas dari wewenang Negara. Sebab Negara kalau yang namanya Republik Indonesia, tidak boleh hanya melayani Islam tok. Tetapi harus juga melayani yang lain lain.

Dimata Undang Undang (jangan dilihat dari sudut akheratnya), semua agama itu memiliki kedudukan yang sama menurut Negara. Harus diperlakukan sama di muka Undang Undang. Adapun nanti di akherat, itu urusannya Gusti Allah yang sudah mengatakan Innaddiena ‘Indal Laahil Islaam (Agama yang benar disisi Allah, adalah Islam). Tapi kalau di Indonesia, perlakuan ini sama, karena memang semua adalah warga negara Republik Indonesia. Tidak boleh ada warga negara kelas satu, kelas dua dan seterusnya, hanya karena berbeda suku, berbeda bahasa Daerah, berbeda agama, berbeda faham pemikiran dan berbeda yang lain lain. Semua dimata Undang Undang adalah sama.

Ini, pengertian negara yang ingin dikembangkan oleh Nahdlatul Ulama. Dan bahwa ajaran Islam itu didalam negara yang sedemikian, diminta dijadikan akhlaq atau etika masyarakat. Karena itulah kita lalu bisa memahami, mengapa Rasulullah SAW menyatakan Innamaa Bu’itstu Liutammima Makaarimal Akhlaaq (bahwasanya Aku diutus kemuka bumi ini, tidak lain hanya untuk menyempurnakan akhlaq yang mulia) kata beliau.

Timbul pertanyaan. “Wong akhlaq sudah mulia, kok masih akan disempurnakan?” Maksudnya adalah akhlaq Islam yang mulia itu supaya berlaku dalam kehidupan masyarakat dengan sempurna. Nah itu hanya akan bisa sempurna kalau akhlaq itu berdasarkan ajaran Islam.

Nah inilah, kalau Nabi saja tugasnya sudah begitu, bukan membuat negara Islam. apa lagi Nahdlatul Ulama (sing jaman koyo ngene iki). Tugas kita tidak lebih dari beliau. Juga kita akan menjadikan agama Islam ini sebagai akhlaq atau etika masyarakat. Soal bentuk negara dan lain lain, itu kita serahkan kepada kesepakatan bersama bangsa Indonesia. Inilah inti sebenarnya dari penerimaan asas oleh Nahdlatul Ulama.

Ketuhanan Yang Maha Esa Dalam Pandangan NU

Masih kurang seken lagi? Di dalam Muqaddimah Anggaran Dasar Nahdlatul Ulama sudah dinyatakan bahwa di dalam Pancasila itu ada sila yang sangat penting, yang pokok yaitu sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa. Ketuhanan Yang Maha Esa dalam pandangan Nahdlatul Ulama atau bagi kaum Muslimin, adalah TAUHID. Ini adalah inti negara. Selama negara membiarkan, memberikan peluang dan hak kepada warganya untuk menegakkan Tauhid, selama itu pula negara itu sudah sah dalam pandangan Islam. Ini yang paling pokok, kalau dalam sudut kenegaraan.

Jadi tugasnya adalah memberikan wadah, memberikan jalur bagi aspirasi ketuhanan kita yang orang lain punya faham sendiri tentang Ketuhanan Yang Maha Esa itu. Kalau yang ditanya orang Kristen, Ketuhanan Yang Maha Esanya Yesus Kristus. Kalau yang ditanya orang Hindu Ketuhanan Yang Maha Esanya Sang Hyang Wedi. Kalau yang ditanya orang Budha, Ketuhanan Yang Maha Esanya Budha Gautama. Jadi kalau yang ditanya orang Islam, Ketuhanan Yang Maha Esanya adalah TAUHID.

Nah, kita bertanya kepada pemerintah pada waktu itu; “Pak, boleh-tidak, kami mencantumkan bahwa menurut kami, Ketuhanan Yang Maha Esa itu adalah TAUHID?” Jawabnya; “Boleh!” Yah, sudah selesai. Tidak usah repot repot lagi. Jadi kita yang memaknai (mengartikan) demikian, eksplisit ditaruh di dalam Muqaddimah Undang Undang Dasar Nahdlatul Ulama. Ini tidak boleh hilang, karena ini merupakan jiwanya. Tanpa ini Anggaran dasarnya rusak. Sama halnya dengan Undang Undang Dasar 1945, juga begitu. Tanpa pembukaannya, Undang Undang Dasarnya hilang.

Bagaimanapun juga kaum Muslimin dimana mana bersaudara satu dengan yang lainnya. Bagaimana dengan kaum Muslimin di Indonesia? Kita rumuskan di dalam Muqaddimah Anggaran Dasar, bahwa Nahdlatul Ulama berkewajiban mengembangkan ukhuwwah Islamiyah dalam pergaulan antara bangsa, namun yang mengemban kepentingan Nasional. Ini kita katakan, setuju adanya ukhuwwah, adanya kesatuan antara kaum Muslimin dan persatuannya dimanapun diseluruh dunia, tapi yang mengemban kepentingan Nasional Indonesia. Sebab kalau tidak demikian, nanti kita repot lagi.

Orang lain mengajaknya belum tentu sama. Iran itu ngajaknya mesti ngajak berontak. Tapi sudah dipagari oleh Nahdlatul Ulama bahwa warga NU tidak akan ikut. Karena apa? Sebab Nahdlatul Ulama akan mengembangkan ukhuwwah dalam hubungan antar bangsa, ukhuwwah Islaamiyah yang mengemban kepentingan Nasional.

Kita tidak akan menerima ukhuwwah Islamiyah yang merusak kepentingan Nasional kita. Sebab apa? Sebab bagi kita, ini sudah selesai masalahnya, tidak perlu dipanjang panjangkan lagi seperti mereka disana.

Mengapa NU Mempertahankan Republik Indonesia

Nah, mengapa kita kok demikian? Bersikeras mempertahankan Republik Indonrsia? Yah, karena Muktamar Nahdlatul Ulama itu sendiri, juga telah memutuskan di dalam komisi Organisasi, bah wa negara Republik Indonesia adalah bentuk final, bentuk terakhir Republik Indonesia itu dari ikhtiar atau upaya mendirikan negara bagi kaum Muslimin di Indonesia Nusantara.

Kita tidak bisa menerima bentuk yang lain. Kartosuwiryo membawa bentuknya sendiri, Darul Islam. Imron dengan Islam jama’ahnya; kita tidak terima, dan nanti saya rasa akan ada yang lain, walaupun kesempatannya sekarang tambah kecil. Keinginan orang itu kan masih saja selalu ada. Nah, mudah mudahan kewaspadaan kita ini bertambah, sehingga keinginan itu tidak terwujud.

Intinya adalah, kalau suatu negara telah memberikan wewenang kepada kaum Muslimin, untuk menegakkan tauhid, kalau bahasanya slogan Li I’laa’i Kalimatillaahi Hiyal ‘Ulyaa, (meluhurkan asma Allah yang Agung) negara itu sudah harus ditaati. Mengapa? Karena gantinya belum tentu begitu. Itu masalahnya. Taruhlah sekarang ini, R.I. telah memberikan jaminan atau hak kepada warga negara yang beragama Islam untuk menegakkan tauhid, tentu juga kepada yang beragama lain diberi hak untuk menegakkan keimanan mereka sendiri sendiri. Negara yang demikian ini kita ganti umpamanya. Apa gantinya lalu tauhid? Belum tentu.

Karena Indonesia merdeka ini juga diproklamirkan oleh orang Indonesia pemimpin yang tangguh, tetapi didukung PKI, habis mendukung, tiga tahun kemudian (sedang krisis krisisnya) PKI menikam dari belakang dengan peristiwa Madiun. Untung kok selamat kita itu. Dicoba lagi tahun 1959. Dikrit 5 Juli 1959 dari Presiden Sukarno mengembalikan negara ini kepada Undang Undang Dasar 1945 dan Pancasila, PKI juga ikut. Enam tahun kemudian, yaitu tahun 1965 setelah merasa kuat, dia berontak lagi. Untung kok ya teratasi.

Terus terang saja, teratasinya itu terutama berkat jajaran ABRI dalam kerjasama dengan BANSER (Barisan Ansor Serba Guna). Yah, waktu itu dua itulah ……., BANSER dengan ABRI. Untung masih bisa. ABRInya belum sempat diporak porandakan oleh PKI, walaupun satu dua pimpinannya sudah ada yang ikut kesana. Tapi yang lain, walaupun dalam satu gebrakan kena beberapa orang (tujuh pahlawan Revolusi) masih tangguh untuk membela Pancasila, membela Republik Indonesia.

Lah, sekarang (umpama ini) kita robohkan Republik Indonesia ini, kita proklamirkan Negara Islam, oleh rong wulan (dapat dua bulan) PKI ngamuk lagi, terus negara Islam itu jadi negara komunis. Itu opo yo awak awak an ini (apakah kita kita ini) terus lepas dosa kalau sampai itu terjadi?

Jadi yang pasti Republik Indonesia ini sudah menjamin pelaksanaan tauhid oleh kaum Muslimin. Ini barang yang sudah pasti. Sudah mantep. Apa ini mau diganti dengan yang meragukan, yang namanya negara Islam itu? Yang belum tentu umurnya panjang, karena kemungkinan bisa diserobot oleh PKI ditengah jalan?

Nah, kalau sampai ini terjadi, kan namanya barang yang mantep (Pancasila yang menjamin pelaksanaan tauhid), akan kita ganti dengan yang meragukan (yaitu negara yang mungkin selamat dari PKI, mungkin tidak). Dengan kata lain aqidah feqih mengatakan Al Yaqienu Laa Yazaalu Bisysyaaki (barang yang sudah pasti dan mantap tidak bisa digantikan dengan barang yang masih meragukan).

Jadi dengan demikian, Nahdlatul Ulama menyatakan bahwa Negara Republik Indonesia ini bentuk terakhir, upaya kaum Muslimin mendirikan negara di Indonesia. Ini harus kita fikir secara mendalam, tanggung jawabnya ke depan. Inilah cara berfikir Ulama, berdasarkan faham Ahlussunnah waljama’ah.

Kemudian, setelah kita mengambil keputusan yang demikian mantap, menegakkan negara ini sebagai bentuk terakhir sehingga tidak ada lagi peluang orang NU untuk mendirikan negara lain, sudah dipatri Loo kalau masih bikin (membuat lagi, vaah bukan NU Gampang saja, selundupkan.

Hubungan Nu Dengan Negara

Sudah demikian kita berasas Pancasila dalam pengertian sudah demikian tepat lalu tentu timbul pertanyaan bagaimana nubungan Nahdlatul Ulama tengan negara” Loh kalau kita sudah berasas Pancasila dan kita sudah menyatakan Republik Indonesia sebagai bentuk final bentuk yang sah bagi kaum Muslimin dari negara kita maka kita wajib taat kepada negara tersebut NASBUL IMAM itu wajib karena Islam adalah agama masyarakat Karena dia menampilkan diri dalam bentuk ahkam hukum hukum agama yang wajib yang halal, vang sunnah, yang makruh, yang harom ini semua dilaksanakan oleh manusia bersama-sama berarti masyarakat

Jaminan Lima Dasar Islam Kepada Masyarakat

Islam memberikan jaminan dasar kepada masyarakat: Pertama, keselamatan fisik warga masyarakat. Tidak boleh ada orang dianiaya secara fisik, tanpa melalui prosedur hukum Hingga kalau ada orang dikenakan tindakan fisikiyah sebagai hukuman.

Kemudian yang kedua, jaminan dasar akan keselamatan keyakinan. Orang tidak boleh dipaksa pindah keyakinan, ke yakinan agama terutama. Dalam hal ini la Ikraaha fid dien (tidak boleh ada paksaan dalam agama). Orang Islam tidak boleh disuruh pindah agama lain, begitu juga orang lain tidak boleh dipaksa masuk Islam. Nah, ini Bapak Bapak; ini di jamin oleh Islam.

Jaminan dasar yang ketiga ialah, keselamatan keluarga dan keturunan. Supaya masyarakat ini bisa sentosa, maka keluarga dan keturunan ini harus mendapatkan hak hak mereka. Karena itu diadakan Lembaga Perkawinan. Dan diadakan harta waris. Ini menjaga hak hak dari keluarga dan keturunan.

Yang keempat, jaminan dasar akan keselamatan harta benda. Tidak boleh dipindahkan secara paksa, tetapi harus melalui prosedur hukum yang jelas dan tuntas.

Yang kelima, jaminan dasar akan keselamatan pekerjaan.

Nah, lima jaminan dasar ini, apa bisa dilaksanakan zaman sekarang, tanpa negara? Saya rasa tidak mungkin. Yah, negara itulah yang menjamin keselamatan kita dari perampokan, dari penodaan keluarga oleh orang lain; dan keselamatan keyakinan kita dari gangguan orang lain; keselamatan pekerjaan kita dari gangguan orang lain; diri kita dari gangguan orang lain. Ini semua sekarang negara yang menjamin.

Karena itu negara harus ada. Soal bentuk, Rasulullah SAW sendiri belum pernah menentukan. Sebab bentuk negara atau bentuk masyarakat Mekkah, ialah masyarakat antar keluarga dalam satu suku di Mekkah. Jadi Bani Abdul Muthallib, Bani Hasyim, Bani apa saja di sana itu, semua adalah suku Quraisy. Jadi antar keluarga dalam satu suku. Ketika hijrah ke Madinah, melebar menjadi masyarakat antar suku dalam satu kota. Ada Aus, ada Khazraj, bahkan ada Bani Quraidah (orang Yahudi); itu semua masyarakat Madinah, disamping orang Quraisy yaitu kaum Muhajirin.

Jadi ini semua adalah perpaduan antara berbagai suku dalam satu masyarakat kota.

Ketika beliau wafat, Sayyidina Abu Bakar melebarkan itu, menjadi masyarakat antar suku, tetapi dalam satu jazirah Arab. Tidak hanya kota Madinah. Dari Yanbu’ di utara sampai Yaman di selatan. Dari Hijaz di barat hingga ke Nejed ditengah sampai kepantai timur, yaitu bangsanya Oman dan sebagainya, Bahrain dan seterusnya. Ini semua diikat dalam satu masyarakat dibawah pimpinan beliau.

Sayyidina Umar datang, maka masyarakat ini melebar menjadi masyarakat kaum Muslimin, dari pantai barat Afrika ditepian Atlantik hingga kesungai Indus disebelah timur dianak benua India. Lebarnya lebih 12.000 km², 21 kali panjangnya Indonesia sekarang. Itu sudah bukan masyarakat antar suku lagi, tetapi masyarakat antar bangsa. Ada bangsa Arab, bangsa Parsi, Bangsa Turki, Bangsa Mesir, Bangsa Barbar, semua itu ditempatkan dalam satu masyarakat dibawah pimpinan khalifah Sayyidina Umar bin Khatthab. R.A.

Lah, dizaman modern ini bentuk negaranya adalah negara bangsa. Negara bangsa Republik Indonesia, Kerajaan Malaysia, Kerajaan India, ini negara bangsa. Suku suku bangsa yang macam-macam membentuk diri menjadi satu bangsa. Yang pokok ialah adanya pemerintahan. Dan pemerintahan ini harus ditaati untuk melaksanakan jaminan jaminan dasar Islam tadi. Ini yang paling pokok.

Jadi benarlah disini dawuh yang mengatakan Laa Diena Illaa Bijamaa’atin Walaa Jamaa’ata Illaa Bi Imaaratin Walaa Imaarata Illaa Bi Amierin. (tidak ada agama bisa tegak tanpa masyarakat, dan tidak ada kepemimpinan bisa tegak tanpa pemimpin) Karena itu pemimpin itu harus ditaati.

Ketaatan Kepada Pemerintah

Pemimpin untuk negara kita adalah Mandataris dari Majlis Permusyawaratan Rakyat.

Ini Amir kita. Ini yang harus kita taati, demi kelestarian negara dan bangsa, agar berfungsi melaksanakan jaminan dasar Islam yang lima tadi kepada masyarakat.

Kalau demikian, Mandataris MPR itu membentuk pemerintah yang terdiri dari Lembaga Exekutif, Lembaga Legislatif dan Lembaga Yudikatif. Ini semua dilantik dan diangkat berdasarkan tatanan Bapak Presiden, merangkap Mandataris MPR tadi (pemerintah). Kita wajib taat kepada pemerintah, selama pemerintah tidak mengajarkan kita melawan tauhid. Dan saya rasa pemerintah Indonesia karena Ber Ketuhanan Yang Maha Esa, tidak akan pernah mengajak demikian.

Lah, kalau kita sudah taat kepada pemerintah, boleh berbeda pandangan dengan pemerintah, boleh ngritik pemerintah, boleh berdebat dengan pemerintah, tapi essensinya taat kepada tatanan yang dibuat oleh pemerintah. Karena itu dalam tatanan tersebut termasuk juga kehendak dari rakyat, termasuk kaum Muslimin yang disalurkan melalui DPR dan MPR.

Jadi Undang Undang wajib kita taati. Sedangkan Undang Undang di Indonesia menyatakan bahwa dalam penataan kehidupan sosial politik yang sehat, harus ada pemisahan wewenang, fungsi dan tugas tugas.

Yang namanya organisasi politik dan partai politik, terdiri dari Golkar, PPP dan PDI, ini berfungsi politik. Yang lain, organisasi kemasyarakatan (seperti NU ini), adalah organisasi sosial keagamaan. Monggo, urusan sampeyan sebelah sini. ABRI sebagai kekuatan sosial, silahkan bagian sampeyan ini, stabilitas Nasional. Kaum profesi wah, semua orang sudah ada bagiannya sendiri sendiri.

Loo, kalau memang kita taat kepada Undang Undang, tidak bisa lain sekarang kita terus memisahkan diri sebagai organisasi. Nahdlatul Ulama harus melepaskan kaitan dengan organisasi politik atau partai politik. Jadi kaitan organisasi harus dilepaskan.

Ada yang keliru menganggap. Karena NU ini digusur dari PPP, terus mangkel, ngambek. Dianggap balas dendam. Loo, yang ngambek ada, yang mangkel mau balas dendam juga ada. Yah ….., warga NU kan macam macam? Tapi kalau saya dianggap begitu, eh, saya menolak pak; karena saya mengusulkan NU berpisah dari kegiatan politik langsung itu sejak tahun 1979. Waktu itu NU joyo joyonya di PPP. Waktu itu saya rasanya seperti anak yatim piatu; kemana mana diperenguti orang, karena saya berani ngomong begitu.

Warga Nu Bebas Menyalurkan Aspirasi Politiknya

Alhamdulillah, akhirnya pemikiran yang dasarnya sendi keagamaan tadi, bahwa kita ada penataan penataan yang perlu dilakukan, jangan simpang siur wewenang masing masing; maka NU melepaskan organisatorisnya. Organisatoris tok saja kok ya ndak mau. Kebangeten itu, wong ya masih boleh. Mau di Parpol, mau di Golkar? monggo! asal jangan bawa nama NU, itu saja. Mau di PDI? Silahkan! wong ndak ada soal.

Lho, terus terang saja, mau pemilu nanti ditanya, “bagaimana?” Yah, terserah! Sampeyan ndak weddi demmit, kono ono wit ringin! Lo, nek sampeyan kepingin moco Qur’an nganggo lentang tok nggak pakai lampu, nyobloslah PPP Lo, kalau sampeyan ingin kumpul banteng, silahkan ndak apa apa di DPI. Sing dipengnging iki kumpul kebo, bukan kumpul banteng. Jadi enak toh kita? Karena politik yang langsung itu, sudah urusannya warga NU, bukan urusannya NU sebagai organisasi.

Ini penting sekali artinya, Ini yang suka dijadikan fikiran. Oleh yang tidak faham disangka kita memusuhi partai politik atau Golongan Karya. Oh, tidak. NU menganggap partai politik dan Golongan Karya adalah bagian sangat penting dari kehidupan kita yang juga harus dibangun. Lain lainnya sudah maju, politiknya masih tukaran saja. Berfaham sempit satu golongan, ndak bisa diteruskan. Harus seimbang bidang politik dengan bidang bidang lain. Nah, kita serahkan; bagian sampeyan ngurusi bidang politik, monggo! Aku nduwe bagian dewe.

Ini kan enak. Sikap yang demikian gampang ini, tentu saja agak repot, sebab ada yang kemaren bersama sama (si PPP ini tunggal omah sembarang kalir), si NU dengan PPP kemaren itu jadi satu, kok tahu tahu disuruh berpisah? Mudah mudahan saja kerinduan ini akan terobati. Terobati dengan apa? Terobati dengan banyaknya orang, tidak hanya dari NU saja, tetapi dari yang lain lain diharapkan ikut ke PPP. Mudah mudahan, Sebab kalau PPP hanya hidup dari NU tok, ini namanya partai nelongso.

NU tidak akan menghabiskan enersinya, waktunya, tenaganya, fikirannya, dan biayanya hanya untuk PPP. Sampeyan kudu iso ngadek dewe (harus bisa berdiri sendiri). Karena sampeyan itu Partai Politik, Modal dasar bangsa. Kalau nggandol saja ini terus bagaimana?

Jadi kita persilahkan, monggo! Berkembanglah dengan sebaik baiknya. Perlu berapa orang NU? kita kirim. Tapi dengan catatan, jangan atas nama NU.

NU juga turut menyumbang kehidupan politik yang berdasarkan kemandirian. Bagaimanapun juga kalau PPP hanya berdasarkan kekuatan terbesarnya pada NU, PPP tidak akan menjadi partai yang berwawasan Nasional. Jangan hanya satu golongan saja. Dia harus mampu menarik orang yang berfikiran sosialistis, menarik orang yang berfikiran nasionalistis, menarik siapa saja, tidak hanya yang berfikiran Islam. Itu baru menjadi partai yang bangun. Jangan mimpi menandingi Golkar kalau belum begitu. Lho, ini kenyataan, karena Golkar me wadahi semua golongan.

Jadi disinilah para hadlirin walhadlirat, keputusan kita itu bukan keputusan yang gegabah, melainkan keputusan yang berpandangan jauh kedepan.

Memang ada warga NU yang sedikit dirugikan dengan adanya keputusan ini. Tapi karena disiplin organisasi, membuat mereka mengerti bahwa ini semua demi tujuan yang lebih jauh, yaitu menetapkan kehidupan bernegara dan berbangsa. Karena hanya bernegaralah Nahdlatul Ulama dapat berkiprah menegakkan tauhid, mengembangkan syari’at sebagai akhlaq masyarakat.

Nah ini, kalau bisa dimengerti, alangkah baiknya. Walaupun masih dialog terus menerus tidak apa apa, asal jangan di ruang ini. Di ruang ini kita batasi sampai sekian saja.

Kiprah Nu Sesudah Tidak Berfungsi Politik Langsung

Lalu, kalau demikian, apa kiprah NU kalau sudah tidak berfungsi politik langsung? Yah. memang berat. Kalau ditanya: “Apa mungkin NU memisahkan Islam dari politik? Wong Islam itu juga politik?” Yah, saya ambil contoh rakyat sajalah.

Kalau sistem politik Indonesia ini, diandaikan orang punya hajat (orang mantu), mantennya Pak Harto dengan Pak Umar. Kemudian Golkar ini shobihul Bait, Loh, lak sugih, bandane akeh, nduwe gawe kan ya pantes? Kalau PPP dengan PDI duwe gawe, kan ya nelongso, nggak duwe opo opo. Lha, memang kenyataannya begitu.

Pak Harto dan Pak Umar pembina Golkar, bukan pembina PPP dan PDI. Tetapi PPP dan PDI juga ikut memiliki pengantennya. Sebagai apa? Lho, sebagai sinoman (laden). Laden ini penting. Coba kalau laden ndak hormat kepada kemantennya, itu kaya’ apa? Yah, ndak mungkin. Jadi Pak Harto dan Pak Umar ini, yah, memerlukan sinoman ini podo sing nduwe omah. Jadi podo petingi, hanya fungsinya lain.

Lha, kalau NU masih tetap mau ikut PPP itu artinya, sak mene akehi pingin dadi sinoman kabeh. Lho yah, tamu belum datang, hidangan sudah amblas.

Lha, kalau begitu NU itu dimana Pak, dalam sistem politik di Indonesia? NU ini, kalau digambarkan contoh tadi, sebagai besan. Besan itu apa? Besan artinya, kita harus baik dengan yang disana (dengan semua fihak). Ndak melok nduwe gawe, cuma ikut iring iringan, ndak ikut repot repot. Nganten rono, lungguh disuguhi. Lhaa, itulah besan. Masa’ ada besan datang datang nyuci piring? Kan tidak ada? Jadi besan itu tugasnya, baik dan menghormat kepada yang punya hajat, maupun kepada panitia (pak sinoman tadi). Tiga tiganya diperlakukan baik. Lhaa, itu besan. Seduluran karo kabeh. Tapi jangan sampai kumpul tunggal omah.

Lha ini, kita tidak menghalagi, jangan salah faham. Kita tidak menghalangi siapapun, tapi NU sebagai organisasi, di dalam Golongan Karya, didalam PPP dan didalam PDI tidak bisa. Karena memang fungsi kita hanya bersifat mendukung ketiga tiganya. Dalam arti supaya warga NU ini diberi kebebasan untuk menyalurkan aspirasi politiknya melalui jalur yang dipilih masing-masing. Ini kita minta ikhlasnya kepada warga NU yang ada di PPP.

Saya tahun 1977 itu JURKAM PPP. Sampai saya berpidato dimana-mana, termasuk di Kemantren. Bayangkan di Kemantren sana, waktu itu masih madani (mengolok olok) Golkar itu seperti jamur tletong; itu tahun ’77 Tahun ’82 sudah sopan. Tahun 87 mungkin, mudah mudahan sudah hilang semua ekses ekses tidak karuan itu. Dulu di monopoli satu Sekarang secara teoritis (pada prinsipnya), tidak boleh di monopoli oleh siapapun. Berarti NU ini warganya bebas kemana mana Monggo’ dan kita mengundang warga NU vang dimana mana, termasuk vang ada di KORPRI untuk ikut aktif di dalam lingkungan NU. Tetapi tentu ini dilakukan dengan cara cara yang baik, konsultasi yang akrab dan betul betul saling pengertian dengan pemerintah daerah Ini kadang kadang kita suka bronto. Yah memang suka lupa. Yah kita selesaikanlah dengan baik penuh kekeluargaan.

Korpri Bisa Juga Masuk Aktif di NU

Saya sudah bertanya kepada Pak Munawu Sadzali (Menteri Agama). ‘Pak, warga Korpri yang NU itu boleh tidak jadi pengurus NU.

Jawab beliau ‘Silahkan! Ini juga dipidatokan dua kali oleh beliau Satu di Amuntai Kalimantan Selatan, dihadapan warga Departemen Agama se Propinsi Kalimantan Selatan, dimana dari PBNU ikut diajak. Ini acara beliau, bukan acara NU, tapi ngajak dari PBNU Karena waktu itu saya harus ke Perancis. maka yang pergi adalah Wakil Ketua Pak dr Fahmi Ja’far Syaifuddin. Dia datang laporan, mentrine ngomong. “Boleh Korpri Departemen Agama jadi Pengurus NU.” Iha, tapi dengan catatan harus seizin atasannya. Kedua kalinya beliau berbicara di Muktamar Muhammadiyah. “Silahkan warga Korpri berkiprah di Muhammadiyah”. Lho, kalau di Muhammadiyah boleh, di NU tentunya juga boleh, di SI boleh, dimana mana organisasi kemasyarakatan juga boleh. Lalu beliau menyarankan saya. “Cak Dur, bok sana tanya sama Pak Darmono”. Wah, langsung saya menghadap beliau (Pak Darmono). Mau nanya ini, soal Korpri. “Kenapa?” Lho, yang punya Korpri kan Golongan Karya. Lo, kami ini kan sudah tidak ada kaitan dengan kekuatan sosial politik manapun. Bagaimana Pak, kalau warga NU yang di Korpri itu didalam kepengurusan NU? “Silahkan! asal jangan menimbulkan probelm”. Lho, itu.

Jadi pada dasarnya tidak ada masalah. Undang yang dari mana mana! Tidak perduli Korpri yang dilingkungan perusahaan, dilingkungan professi, dimana saja semua kita undang. NU terbuka lebar untuk saudara saudara, asalkan saudara ini Muslim yang berfaham Ahlussun nah wal jama’ah, Gampang saja syaratnya. Nah, inilah, jadi NU punya tempat sendiri. Karena itu dia lalu menampung dari mana mana aspirasi warga Ahlussunnah wal jama’ah ini, dalam kerangka kehidupan bernegara.

Pengaruh N.U Melalui Khitthah – 1926

Bagaimana pengaruh Nahdlatul Ulama melalui Khitthah 1926? Ada yang bilang, kalau sudah kembali ke Khitthah ’26, itu artinya kembali ketahun nem likur. Opo ndak kiyaine koyo’ biyen? Sarungnya gawe katok jeru. Dulu, syuriyah ada katoknya sendiri. Katok yang sedikit dibawah lutut. Kenapa tidak landung? Dibawah lutut itu penting, karena aurat peria itu Maa Baina Surrah War Rukbah. Jadi harus dibawah lutut sedikit, supaya kalau wudhu’ jangan kecipratan air yang sudah terpakai atau yang jatuh ketempat kotor. Jadi itu betul betul katok feqih, itu katok syuriyah. Tapi sekarang direbut oleh gadis gadis modern dijadikan katok komprang yang namanya kolot itu. Jadi kalau katok dipakai syuriyah kolot, setelah dipakai gadis, namanya moderen. Yah, ndak apa apa, wong syuriyah itu pemurah. Silahkan pakai, asal ojo serbanku ae sing digawe.

Apa begitu itu, NU kembali kecitra 26? Oh, tidak. Yang dimaksud khitthah 26 itu adalah garis garis perjuangan, yang diinginkan oleh Anggaran Dasar atau Statuten NU tahun 26. Itu maksudnya.

Jadi bagaimana Anggaran Dasar NU tahun 26 itu kita terapkan pada kehidupan NU masa sekarang. Jadi bukannya kok lalu kembali ke model dulu itu, tidak. Cuma bagaimana Anggaan Dasar 26 ini, supaya diwujudkan dalam kehidupan sehari hari. Lho itu, melalui khitthah (garis garis perjuangan). Nah, khitthah NU itu, dengan sendirinya terlebih dahulu mementingkan garis garis pemikiran.

Garis Garis Pemikiran NU

Garis pemikiran NU itu apa? Yah, garis pemikiran Ahlus sunnah wal jama’ah. Menggunakan Ushul Feqih. Qowa’idul fiqih dan sebagainya itu. Menkaji kembali buku buku kuning, melihat apa pendapat Ulama masa lampau, prinsip prinsip apa yang beliau bikin? Dan prinsipnya semua mengenahi kehidupan negara. Umpamanya saja salah satu diantara prinsip itu adalah Tasharruful Imaami ‘Alar Raa’iyyah Maanuutun Bil Mashlahah (kebijaksanaan pemimpin atas rakyatnya tergantung kepada kemashlahatan rakyatnya). Pemerintah itu termasuk pemimpin. Laa, ini kan prinsip ngatur negoro? Dar’ul Mafaasid Muqaddamun ‘Alaa Jalbil Mashaleh (menjauhkan kerusakan lebih dipentingkan, dari pada mendapatkan kebaikan). Loo, ini kan stabilitas nasional? Banyak sekali qa’idah qa’idah itu, kita pakai sebagai landasan berfikir kaum Ahlussunnah wal jama’ah.

Dari landasan berfikir itu, disusunlah sejumlah patokan patokan yang kita namakan semangat kemasyarakatan, Nahdlatul Ulama. Apa saja semangat kemasyarakatan Nahdlatul Ulama itu? Diantaranya adalah ke IKHLASAN. Ini penting kita tegakkan, karena surat ikhlash kita ini sudah mulai dikalahkan oleh ayat kursi. Pada hal semula, ayat kursi itu justru bersendi kepada keikhlasan. Loh, kok malih ngalahno surat ikhlash itu?

Kemudian semangat kemasyarakatan yang kedua adalah, At-Tadarruj. Di dalam segala hal untuk mencapai tujuan dan cita cita, kita harus melihat situasi dan kondisi. Kalau dalam bahasa asingnya, itu gradualisme. Kita menyelenggarakan pekerjaan kita semua secara bertahap. Jangan gruduk gruduk seperti yang sudah sudah. Bertahap berarti perencanaan. Berarti membangun yang berencana. Berarti wawasan pembangunan ada disitu.

Kemudian semangat kemasyarakatan yang ketiga adalah At-Tasaamuh (tenggang rasa atau toleransi). Kehidupan bangsa kita yang begitu aneka ragam manusianya, membutuhkan tenggang rasa yang sebesar besarnya dari kita semua. Kalau tidak, maka dihawatirkan nanti bangsa kita ini bercerai berai. Loh, ini kan prinsip prinsip ngatur negoro. Dan dikatakan di dalam hadits Addienul Musaamahah (agama itu tenggang rasa). Lho, kiyahi itu nggak ngarang, ngambil dari sumbernya.

Kemudian semangat kemasyarakatan yang lainnya adalah At-Tawassuth, sikap mementingkan pendapat yang paling banyak diikuti orang. Pendapat yang ditengah (tawassuth). Ini artinya kita harus mementingkan kepentingan rakyat yang terbesar, yang terbanyak, bukan hanya kepentingan golongan sendiri. Ini adalah semangat kemasyarakatan yang penting sekali untuk bangsa kita.

Kemudian juga semangat Al-Itidal, semangat untuk lurus (istiqaamah), tidak mudah tergoyangkan (belok kanan belok kiri), melainkan kita tegak (i’tidal), menegakkan apa yang benar, terus begitu digandengkan dengan prinsip gradualisme dan seterusnya tadi.

Semangat kemasyarakatan ini merupakan patokan patokan yang akan mewarnai segala keputusan di dalam lingkungan Nahdlatul Ulama. Dan ini sangat penting dirumuskan, karena istilah istilah tersebut dalam khitthah NU telah ditetapkan.

Kalau kita sudah mendasarkan pemikiran keagamaan kita kepada Ahlussunnah wal jama’ah, lalu mengikuti semangat kemasyarakatan Pancasila, maka pertanyaannya, bagaimana itu dimaksudkan? bagaimana semangat kemasyarakatan itu ditegakkan? Jawabnya adalah dengan mendudukkan Ulama sebagai kunci kepemimpinan di lingkungan Nahdlatul Ulama.

Dan ini berarti tantangan kepada Ulama. Menjadi kunci kepemimpinan itu artinya tegas, (yang mumpuni kata orang jawa). Lho, kalau goyang, si A datang diikuti, si B datang diikuti, lama lama kan coraknya ndak karuan Bapak Ulama kita ini.

Jadi Ulama harus jelas. Apa yang menjadi pendirian beliau? Mengapa berpendirian demikian? Bagaimana pendirian itu diterapkan dalam kehidupan? Ini harus jelas, sehingga jama’ah itu mengikuti dengan baik.

Empat Bidang Kegiatan Utama Dalam Periode Ini

Nah dengan berdasarkan pada landasan pemikiran Ahlussunnah wal jama’ ah, dengan semangat kemasyarakatan keikhlasan, tawassuth, i’tidal, tasaamuh dan segala macam itu, tadarruj serta dengan kepemimpinan para Ulama, maka Nahdlatul Ulama menetapkan empat bidang kegiatan utama untuk periode ini.

I. Silaturrahimi

Pada periode sekarang ini, tekanannya adalah pada empat bidang utama. Pertama, kegiatan peningkatan silaturrahimi, ini bahasanya Anggaran Dasar ’26. Lho, waktu itu yang membuat kiyai, bahasanya sederhana. Kiyai itu kan guru (digugu landitiru, tapi juga lugu ning ora saru). Jadi Ulama itu lugu, sederhana saja. Kalau peningkatan silaturrahim ini kita kembangkan akan mempunyai arti penting. Ada yang bertanya “Opo NU itu? Peningkatan silaturrahim terus terusan, bendino iku? Oleh nyucup kiyai diwolak walik sik kurang ae, piye?

Sebenarnya bukan demikian yang dimaksudkan oleh statuten NU 26 (Anggaran Dasar NU 26). Artinya Mu’aasyaratun bil ma’ruuf (pergaulan yang baik), yang timbul dari kejelasan wewenang, tugas, fungsi dan kewajiban masing masing. Ini yang suka dilupakan. Sekarang kita sudah terbiasa silaturrahimi. Dari itu kiyai dijunjung junjung, tangannya diwolak walik ping pitu kalau ngambung. Tapi habis itu dibujuki, diakali tok. Lha, ini harus hilang. Mari kita silaturrahim yang lain.

Silaturrahim dalam jangka panjang artinya, kita mendudukkan wewenang dan kewajiban masing masing, hak masing masing dalam organisasi. Penataan organisasi itu loh maksudnya.

Kalau ini bisa dilakukan, yah, kehidupan Nahdlatul Ulama akan menjadi modern. Jangan seperti sekarang. Sekarang ini sing gak gellem nyambut gawe, yah, ndak apa apa. Sing nyambut gawe diblekki segala macam, sampai bungkuk bungkuk. Mulai jadi ranting sampai pengurus besar itu ada. Lho, iyo, wong kok jadi ranting sampai PB; yo wis kebangeten toh. Rois syuriyah ranting, ro’is syuriyah Wilayah dan ro’is syuriyah PB. Lo ini, terus kabur semua. Termasuk beliau beliau yang dilantik tadi, saya yakin ada yang duduk di Cabang. Lho, wong pengurus ro’is syuriyah Jawa Timur saja, juga adalah sebagai Pengurus Besar Syuriyah Nahdlatul Ulama (Pak Kiyai H. Muhammad Najib Abdul Wahab). Pak H. Hasyim Latif, ketua Wilayah NU, merangkap ketua PBNU. Lho, ini semua kan harus di toto ndak boleh begitu itu. Vertikal harus ada kejelasan, horisontal (menyamping) juga harus ada. Kaitan organisatoris dengan dunia politik sudah dilepas. Lha, yang vertikal di toto secara organisatoris.

Ini sudah kita mulai sedikit demi sedikit. PBNU sudah mengeluarkan keputusan tentang perangkapan jabatan; dilingkungan NU sendiri, nanti ndak bisa lagi itu. Kok Ansor merangkap. Ansor ya Ansor. NU ya NU. Nanti jangan lagi pengurus Ansor merangkap syuriyah. Nanti kan repot tanfidziyahnya. Ati diuring uring, syuriyah. Kalau dikatakan yai, masa syuriyah begitu? Lho, wong aku Ansor kok. Kan bulet tidak karuan itu. Jadi disinilah kita coba menata kembali. Ini pengertian silaturrahimi, artinya penataan organisasi secara tuntas.

Untuk itu lebih dahulu NU menciptakan SIMNU, bukan SIM prahoto (ini Surat Izin Mengemudi truk itu). Maksudnya adalah Sistem Informasi Menegement NU. Kita tegakkan, kita harus tahu keadaan masing-masing cabang, MWC dan ranting. Ini semua harus ada datanya. Dan kita merencanakan sesuatu berdasarkan data data tadi. Yah, NU sudah beli komputer. Tidak seperti dulu lagi. Administrasinyapun sudah modern. Di ruang saya saja ada beberapa filing kabinet. Lho, kalau dulu, yah, administrasinya kan paku ditancapkan di soko. Surat apa saja dicebloskan kesitu, nggantung. Lho, dulu kan begitu. Kalau penting ndak boleh ketahuan orang lain, dilempit lempit dilebokno kopiah. Itu katanya administrasi. Loo, sekarang dirubah. Kebutuhan sudah lain, sudah komplek.

Ii. Peningkatan Pendidikan

Kegiatan utama yang kedua adalah peningkatan pendidikan. Ini jelas sekali. Kalau ada orang yang berkata bahwa orang lain sistem pendidikannya baik, kita senang, kita syukur. Apa lagi sesama organisasi Islam.

Kita nyatakan bahwa NU sekarang ini mempunyai jaringan sekolah yang terbesar di seluruh Indonesia. Ma’arif NU mencatat 21.000 sekolah dan madrasah milik NU, pesantren dan sebagainya. Terus terang saja, itu di Departemen Agama ada daftar 5000 kurang 20 jumlah pesantren seluruh Indonesia. Saya rasa yang 4500 itu barangkali kepunyaan NU semua. Lho sisanya itu 400 sekian kepunyaan orang lain. Tapi kalau bicara pondok pesantren (pondok), NU itu wis pondok gede, la, pondok itu NU cilik. Kan begitu, dari dulu itu. Nah, demikianlah, jadi NU sudah punya jumlah sekolah yang banyak, tapi pating mbesasil gak ono sing ngatur. Warga NU membuatnya saja tidak pakai konsultasi kepada pengurus. Ndak ada yang tahu.

Ngertinya cuma, (wah ini sing nduwe wong NU) a dakalanya karena namanya. Sekolaan orang NU kan namanya aneh-aneh. Misalnya SMA Al-Kawakib, mesti NU ini. Sebab al kawaakib artinya bintang yang banyak, lintang songo ini. SMP Wali Songo, wis terang NU. Ndak ada yang mau Wali Songo selain NU. Ada di Semarang itu SMA Hasanuddin. Teman saya sendiri, wong NU namanya Syukri. Saya tanya Kang, sekolaan sampeyan ini, kok ndak sampeyan namai NU? SMA sampeyan kok Hasanuddin? Jawabnya: “Lho, Hasanuddin ini, lak yo NU toh?” Jadi ndak teratur semua. Soalnya jumlahnya banyak. Oleh karena itu harus ditingkatkan, diatur yang baik.

Karena itulah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama memerintahkan kepada Pucuk Pimpinan Lembaga Pendidikan Ma’arif, agar membuat tiga hal dalam satu tahun ini.

Pertama, membuat masukan dari NU untuk pembahasan rancangan Undang Undang Sistem Pendidikan Nasional, yang akan diajukan pemerintah segera setelah pemilu nanti. Lha, ini NU harus punya urun rembuk, karena dia punya jumlah sekolah terbanyak. Kalau yang lain ikut urun rembuk, masa’ NU tidak.

Kedua, Ma’arif harus membuat konsep sistem pengajaran NU yang bulat dan tuntas.

Ketiga, Ma’arif harus membuat konsep pengadaan sekolah sekolah teladan NU. Jadi di tiap tiap propinsi nanti dibuat sekolah teladan, dimana sekolah NU di Propinsi, ini yang dijadikan tolak ukur. Kalau nututi ini, yah dianggap baik, kalau tidak, yah harus diperbaiki. Gampang saja.

Iii Pengembangan Da’wah

Yang ketiga, (kegiatan utama NU) pengembangan da’wah.

Peningkatan da’wah. Ini semua kita sudah tahu bahwa kata da’ wah itu lebih dahulu diambilkan dari kata Ad-Da’watu Ilal Khairi. Dalam Ayat Waltakun Mingkum Ummatun Yad’uuna Ilal Khairi, Waya’ Muruuna Bilma’ruufi, Wayanhauna ‘Anil Mungkari. (Hendaknya ada diantara kamu, golongan yang mengajak kebaikan, dan menyuruh berbuat baik serta mencegah perbuatan mungkar). Nah., yad’uuna ilal khairi, mengajak kepada kebaikan, baru ya’ muruuna bil ma’rufi kemudian wayanhauna ‘anil mungkari. Ini yang sudah kita ketinggalan. Ad-da ‘watu ilal khairi ini yang kita sudah ketinggalan. Mari kita galakkan rumah rumah yatim piatu, usaha usaha yang sifatnya menolong orang yang menderita, ini semua adalah ad-da’watu ilal khairi.

Program menanggulangi pencemaran lingkungan, apalagi di daerah industri seperti Gresik ini, kita harus sangat hati hati dengan pencemaran lingkungan. Sekali keliru sedikit, akibatnya bisa seperti Bopal di India nanti. Karena itu NU harus turut mengawasi dan mengamati, dan mengusulkan perbaikan perbaikan kalau dikira ada yang membahayakan. Insya’Allah baik usaha industri maupun pemerintah daerah, akan berterima kasih, kalau NU berfungsi konstruktif di dalam soal pencemaran lingkungan ini. Itu semua AD-DA’WATU ILAL KHAIR. Mengembangkan kebudayaan itu semua mengajak kepada kebaikan.

Iv. Peningkatan Usaha Ekονοmi

Kemudian yang terakhir adalah, dari kegiatan utama yang ditetapkan oleh Khitthah 26 sekarang, adalah peningkatan usaha ekonomi. Untuk ini NU telah menggariskan dua sayap.

Sayap pertama, pengembangan usaha kecil. Orang membuat kompor di Tulangan itu ibu ibu Muslimat dan adik adik Fatayat yang membuat di Tulangan itu. Pabrik cor besi (industri kecil) di Batur yang kemarin mendapat hadiah dari pemerintah, itu mayoritas orang NU. kemudian sepatu di Cipaduyut Bandung, saya datang sendiri, itu juga orang orang NU. Kelambi tentara itu di Sepanjang Jawa Timur, banyak yang jahitannya orang NU. Dibidang pertanian juga banyak perintis perintis pembangunan dari warga NU.

Lho ini, mari tenaga warga NU kita mamfaatkan. Untuk apa? Untuk mengembangkan usaha kecil. Karena apa? Karena, warga kita ini sekarang, tarafnya baru sampai pengrajin. Sampai habis tenaganya, bayarannya cuma sekian. Yah, namanya pengrajin, opo jare sing duwe modal. Oleh karena itu warga NU harus ditingkatkan kemampuannya menjadi usahawan. Jangan seperti sekarang, ngremeng: “Opo, ekonomi di cekel Cino kabeh, awak dewe nggak keduman”. (Apa, ekonomi dipegang Cina semua, kita tidak kebagian). Ngomong begitu sambil tidak berusaha. Karena ndak bisa memperbaiki keadaan, yah. cuma marah marah saja. Nah, kan putus asa namanya? Pada hal kata Gusti Allah WALAA TAIASUU (Jangan putus asa). Ikhtiarlah sekuat kuatnya. Nah NU ini akan mengembangkan usaha kecil, kalau jumlahnya besar, dengan tradisi yang cukup matang, akan menjadi usaha menengah. Dalam jangka waktu tertentu, usaha usaha ini akan menjadi usaha usaha raksasa.

Mari kita demikian, jangan cukup grundel dan marah marah saja. Kita melakukan tindakan sesuai dengan semangat kemasyarakatan tadi yaitu tadarruj (secara gradual) secara bertahap. Kekuatan sosial warga NU, marilah kita tingkatkan, pertama tama melalui pengembangan usaha kecil.

Sayap yang kedua, perbaikan kualitas hidup warga NU dan mutu kehidupan sekaligus. Di daerah dimana NU kuat, (ini angka angka yang berbicara, kritik kepada kita semua) angka kematian bayi. tentu adalah yang tertinggi. Ini kan nelongso pak Prihatin dalam hati. Kalau toh anak anak itu tidak mati, uripe engkrik engkriken. Lho, anake wong NU nem tahun, dengan anake wong Cino nem tahun. uwaadoh kace’e. Karena apa? Karena mereka mengembangkan gizi anak. Gizinya itu dipelihara dengan baik. Karena mereka mampu untuk itu. Lah, sekarang bagaimana mutu kehidupan warga NU? Untuk inilah, maka NU akan (dalam waktu lima tahun yang akan datang) menggerakkan 10 sampai 15 ribu tenaga, untuk melayani masyarakat di bidang peningkatan mutu kehidupan. Apakah itu peningkatan mutu gizi keluarga, bersama-sama dengan Departemen Pertanian. Departemen Kesehatan, BKKBN dan Departemen Agama, apakah itu melalui perluasan masyarakat, apakah melalui alih tehnologi sederhana kedesa desa kita, atau apa lagi (wah masih banyak). Tehnologi pertanian, masih banyak yang bisa dikerjakan oleh warga NU.

Ini saja, besok sore saya akan ikut konfrensi immunisasi. lokakarya immunisasi. Saya bertanya: Pak, kenapa kami Ulama kok di ikutkan di dalam seminar immunisasi. Wong immunisasi itu kan nyuntik supaya kebal penyakit. Itu kan sudah halal dalam Islam, sudah ndak ada masalah kok masih dikonfrensikan? Apa jawab beliau dari Departemen Kesehatan dan dari Departemen Agama. “Halalnya sih halal pak, tapi kalau yang ngomong bukan Ulama, rakyatnya tidak mau diimmunisasi”. Itu KB juga begitu. Banyak hal demikian caranya. Bahkan fihak ABRI pun titip. Untuk stabilitas keadaan, “tolong Ulama ikut ikut”! Lho, kan?

Jadi memang Ulama itu lopernya semua fihak. Suruh jualan semua fihak. Kace’e ndak koyo’ prahoto jamu air mancur saja, pakai filem, lagu-lagu segala. Cuma itu kace’e. Tapi kita ini (Ulama) menjual pembangunan kepada masyarakat, mendorong masyarakat untuk turut membangun, memperbaiki mutu kehidupan mereka. Lha, yang paling baik tentunya dengan cara keteladanan.

NU sendiri menyelenggarakan proyek proyek seperti itu, dalam kerjasama dengan pemerintah dan fihak fihak lain.

Jadi ini empat pokok bidang kegiatan utama NU yang diamanatkan oleh Muktamar ke 27 di Situbondo. Lho, kalau ini ditangani Bapak Bapak, jelas sekali Nahdlatul Ulama sudah tidak akan bisa ngopeni politik secara langsung. Kita titipkan saja kepada mereka mereka yang bergerak disana. Kalau orangnya itu warga NU, yah, tentu kita dukung dimanapun berada. Tetapi NU sendiri kegiatannya sudah masuk ke dalam kegiatan sosial keagamaan yang demikian luas.

PENUTUP

Karena itulah, saya rasa para warga NU, hendaknya memahami khitthah 1926, sebagai sesuatu yang membawa kemajuan bagi masyarakat secara keseluruhan. Bukan lalu hanya sekedar masalah sampingan, atau sambil lalu.

Saya rasa sekedar inilah yang perlu saya kemukakan, karena waktu sudah terlalu malam dan saya masih harus kembali ke Surabaya. Tidak lain tidak bukan, apabila ada kesalahan dan kekurangan, saya mohonkan ma’af yang sebesar besarnya.

Wabillaahit taufiq wal hidaayah.