NU-PKB dan Pilpres Putaran 2

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

Sebagaimana kita ketahui, pelaksanaan Pemilu 2004 diserahkan sepenuhnya kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU) berdasarkan Undang-Undang (UU) No.12/2003. Dalam melaksanakan hal itu, KPU ternyata memandang dirinya secara arogan hanya berpegang pada UU tersebut, yang selanjutnya “dijabarkan” menjadi surat-surat keputusan (SK) KPU yang dirumuskan dan diterapkan secara sangat arogan. Dalam hal ini, memang nyata bahwa sikap arogan itu “sangat dibutuhkan” oleh KPU sendiri, agar ia dapat melaksanakan pemilu untuk tujuan yang dirumuskan sendiri: memelihara status quo, dan menolak atau menghalangi berkembangnya demokratisasi sistem politik yang kita miliki. Untuk itu, ia harus “sanggup” untuk bersikap ceroboh, curang, dan manipulatif. Ceroboh dalam pekerjaan, curang dalam pelaksanaan pemilu dan manipulatif dalam penghitungan suara.

Bahkan, KPU sendiri karena berumur pendek dan tidak lama masa kerjanya, harus melakukan tindak korupsi secara sangat berlebih-lebihan, termasuk melakukan mark-up (menaikkan) biaya pemilu. Dengan sikap-sikap tersebut di atas, ia memakan biaya sangat besar, termasuk 200 miliar rupiah untuk ongkos-ongkos “uji coba” pengumpulan angka-angka suara yang sudah “ditukangi” sebelumnya. Sikap itu memakan banyak korban, termasuk penulis yang dihambat untuk menjadi calon presiden dengan melanggar dua buah undang-undang. Ketika pelanggaran itu diminta oleh penulis untuk ditinjau kembali, dengan jawaban ketus Ketua KPU menyatakan, bahwa penulis dapat mengajukan masalah kepada Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu). Hasilnya, oleh Panwaslu disalurkan kepada Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), yang belum kita ketahui hasilnya.

Di samping itu, penulis juga mengajukan perkara tersebut ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, yang kini tengah memeriksa perkara itu. Karena perintah pengadilan untuk mencari pemecahan damai, pengacara KPU Amir Syarifudin mengajukan penyelesaian damai yang ditolak penulis. Karena masalahnya bukan perkara perseorangan, melainkan pelanggaran undang-undang untuk menghambat atau menggagalkan upaya memulai proses demokratisasi di negeri kita. Penulis belum mengetahui hasil perkara itu, namun ia tidak begitu optimis. Karena memang dewasa ini pelaksanaan hukum nasional kita tengah berada di tangan “mafia peradilan”. Bahwa diminta penyelesaian secara damai, hal itu menunjukkan sebenarnya lemah kedudukan KPU dalam sebuah kasus pelanggaran undang-undang. Tinggal ini yang dapat memberikan harapan kepada penulis. Pelanggaran oleh KPU terulang lagi pada pemilu Presiden-Wapres 5 Julli 2004.

Selain itu, pada pemilu capres-cawapres lalu cukup banyak para pemilih mengambil tindakan golput alias tidak memberikan suara/memilih. Bentuk yang dipakai adalah merusak kertas suara (dengan jalan mencoblos semua calon) atau tidak datang sama sekali ke tempat-tempat pemungutan suara (TPS). Itu semua tidak diumumkan KPU dan kalau nanti pun diumumkan, tentu dengan “penukangan” atas kertas-kertas suara yang ada. Kalau separuh dari pemilih bersikap golput sebenarnya, itu pun sudah tinggi di mata KPU. Jadi, sebenarnya keseluruhan proses pemilu legislatif dan eksekutif, sudah “diarahkan” ke arah tujuan di atas, yaitu mempertahankan status quo dan menghalang-halangi proses demokratisasi. Sayangnya, bangsa ini secara keseluruhan tidak mempunyai keberanian “mengurus” hal itu.

*****

Di samping langkah-langkah penulis menghadapi KPU itu, NU-PKB juga tidak sepi dari ambisi-ambisi pribadi. Hal ini terlihat sering keluarnya sikap yang mendahului keputusan rapat DPP PKB, apalagi berkonsultasi dengan Ketua Umum Dewan Syura DPP PKB. Dalam pernyataannya kepada pers baru-baru ini, Ketua Umum Dewan Tanfidz DPP PKB menyatakan bahwa PKB akan “berpindah kiblat” mendukung capres Susilo Bambang Yudhoyono dalam pemilihan presiden putaran kedua, 20 September 2004 nanti. Ini menunjukkan, di samping tidak memiliki rasa solidaritas kecuali kepada dirinya sendiri, ia telah menunjukkan ketidakmampuan untuk membedakan antara pendapat pribadi dan sikap organisasi. Herankah kita jika lalu terjadi begitu banyak penyimpangan dari peraturan yang ada? Inilah tragedi yang dialami oleh DPP PKB dengan fungsionaris yang tidak mengerti cara kerja berorganisasi.

Mau tidak mau, penulis lalu harus mengambil keputusan yang mungkin bertentangan dengan sikapnya itu, yang tentu saja harus disetujui oleh DPP PKB secara keseluruhan. Dengan kata lain, sebuah keputusan yang di muka umum tampak tidak bulat mau tidak mau harus diterima. Ini adalah sesuatu yang fair. Seperti ketika rapat DPP PKB yang tidak seluruhnya menyetujui usul mendukung pasangan calon Wiranto-Ir. Shalahuddin Wahid. Tetapi 1/3 anggota DPP PKB yang tidak menyetujui hal itu, diminta oleh penulis untuk menyetujui pendapat lebih 2/3 anggota DPP untuk mendukung pencalonan mereka, kemudian tak ada seorang pun yang menyatakan menolak “suara aklamasi” tersebut. Ini berbeda dengan pendapat Prof. Dr. Alwi Shihab itu, yang sangat pantas untuk “disensor”. Sebenarnya, pernyataan tersebut juga tidak akan menguntungkan siapa pun termasuk orang yang mengucapkannya.

Hal inilah yang harus diingat, untuk tidak “memaksakan kehendak” dalam lingkungan PKB. Sebagai contoh dapat dikemukakan di sini bahwa “keputusan aklamasi” yang diambil DPP PKB itu, dengan penulis tidak turut memutuskan karena ia sendiri menyatakan akan golput, namun ternyata tidak diterima oleh para pemilih di kalangan PKB sendiri. Di Madura, yang tidak memiliki aparat Partai Demokrat dalam jumlah cukup, kebanyakan pemilih memberikan suara kepada pasangan partai tersebut. Inilah yang dilupakan oleh mereka yang dengan mudah saja menyatakan para pemilih NU-PKB akan memberikan suara kepada salah satu pasangan capres, dalam “putaran kedua” nanti.

Lalu apakah yang harus diperbuat oleh DPP PKB, dalam menghadapi pemilu presiden-wakil presiden 20 September 2004 nanti? Jawabnya jelas, yaitu dalam waktu tidak terlalu lama DPP PKB harus meyelenggarakan rapat untuk Musyawarah Kerja Nasional (Mukernas) yang akan memutuskan pandangan NU-PKB. Keputusan itu pun harus dilaksanakan secara tuntas, dengan tidak ragu-ragu sedikit pun. Ambisi-ambisi politik perorangan, terutama mengenai berbagai jabatan yang mungkin “diperoleh” haruslah “sejalan” dengan pendapat para ulama di tingkat bawah, sehingga tidak terjadi “penyimpangan-penyimpangan” seperti di pulau Madura.

Dengan melihat kepada uraian di atas kita sampai kepada kesimpulan, bahwa tindakan-tindakan perorangan di lingkungan PKB sama sekali tidak benar dalam berorganisasi, dan tidak menguntungkan siapa pun. Sebuah musyawarah memang diperlukan dalam memecahkan persoalan-persoalan yang ada, sehingga “keputusan bersama” itu akan diikuti oleh semua fungsionaris. Penulis pernah memberitahukan kepada seorang fungsionaris, bahwa di kalangan pimpinan PKB tidak boleh ada klik-klikan, tidak boleh ada anggapan satu pihak secara kolektif disikapi lain dari kelompok yang berbeda, dan tidak ada sikap pilih kasih dari Ketua Umum Dewan Syura. Ini mudah dikatakan, namun sulit dilaksanakan, bukan?