NU-PKB: Tradisionalis atau Modernis?
Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid
Ketika Komite Pemilihan Umum (KPU) mengganjal penulis dari pencalonan presiden, dengan cara melanggar undang-undang dan melakukannya secara sangat arogan, maka timbul sesuatu yang menimbulkan tanda tanya besar. Yaitu tentang hakikat NU-PKB: modernkah ia, atau justru tradisional dan kolot? Pertanyaan ini timbul karena adanya dua hal sekaligus. Pertama, sikap KPU yang melakukan ganjalan itu karena takut apabila penulis dan Dr. Marwah Daud Ibrahim menjadi calon, yang menunjukkan adanya ketakutan status quo akan diubah oleh demokratisasi. Ini jelas menunjukkan adanya watak “modern” dalam fungsi politik NU/PKB, karena demokratisasi berarti perubahan untuk memberikan hak politik kepada warga negara tanpa pandang bulu. Namun, tak lama kemudian dimunculkan oleh pers jawaban fikih dari KH. Abdullah Faqih dari Langitan (Widang, Tuban), bahwa perempuan jangan dipilih menjadi kepala negara kita. Di mata siapa pun, ini jelas menunjukkan kuatnya pengaruh tradisionalisme dalam pengambilan keputusan di lingkungan NU-PKB.
Kalau kita berpikir secara mendalam memang terdapat kenyataan seperti itu, yaitu dalam modernitas NU-PKB ada tradisionalisme, dan dalam tradisionalismenya ada modernitas, ini menunjukkan bahwa pertumbuhan kelompok/golongan itu memang sehat. Banyak ukuran yang digunakan dalam hal ini oleh para pengamat, yang memang “kebelinger” dengan acuan-acuan politik saja. Padahal mereka lupa, bahwa NU-PKB adalah entitas besar dengan kehadirannya yang memukau. Terbukti dari sebuah contoh, para pemimpin politik mengharapkan dukungan darinya yang dinyatakan dalam bentuk “konsultasi” terus-menerus oleh berbagai pihak kepada penulis. Kita harus melihat hal ini sebagai sesuatu yang tidak hanya bersifat politis saja, melainkan “pendekatan-multidimensi” kepada pihak NU-PKB. Kenyataan ini adalah sesuatu yang hidup-nyata di masyarakat kita.
Dalam hal ini memang ada ambivalensi (kegalauan) sikap masyarakat kita pada umumnya dalam memandang NU dan PKB. Ada yang mencoba berpegang pada sikap modern yang dimiliki NU-PKB, tetapi ada pula sikap untuk justru berpegang kepada tradisionalitas/kekolotan kelompok itu. Mereka beranggapan, kalau diserahkan kepada pihak NU-PKB saja tidak akan ada keputusan, berarti tidak akan terjadi perubahan politis dalam kehidupan kita sebagai bangsa. Dan yang menang bukanlah pihak-pihak yang menghendaki status quo, melainkan justru “tradisionalisme”, minimal di bidang politik yang nantinya “menyulitkan” setiap langkah ke arah modernisasi kehidupan bangsa di hampir semua bidang kegiatan.
Sikap ambivalen itulah yang sebenarnya harus dikaji dan diteliti, bagaimana para penganut kedua pandangan itu berhubungan satu sama lain, dan “secara bersama-sama” mengambil keputusan besar yang menentukan corak kehidupan kita sebagai bangsa di kemudian hari. Bagaimana mungkin, dua hal yang berlawanan dapat hidup berdampingan sambil mengembangkan “kesatuan” yang demikian luas jangkauannya, tanpa ada friksi politik yang membawa kepada kekerasan? Kalau toh terjadi “kekerasan politik”, itu pun karena adanya salah satu “pihak luar” yang ikut bermain, baik itu dari “orang-orang modern” atau sebaliknya.
Di negeri-negeri lain, seperti di AS dewasa ini, di bawah kepemimpinan Presiden Bush, tradisionalisme tidak menimbulkan “bahaya” apa-apa. Mengapa? Karena diakui oleh semua pihak bahwa rakyat dapat mengubah keseimbangan-keseimbangan politik yang ada melalui pemilu sebagai proses politik empat tahun sekali. Inilah yang sebenarnya harus kita pahami dengan baik, tercermin dalam sikap politik kita sebagai bangsa.
Sebenarnya proses politik kita dewasa ini belum selesai. Walaupun KPU telah membuat aturan tentang kampanye pemilihan kepala negara dan wakilnya dengan sangat arogan/sombong, bahkan melakukan pelanggaran undang-undang, di luar dirinya masih ada proses-proses lain. Minimal ada dua buah proses yang akan terjadi: Pertama, dialog yang dilancarkan oleh penulis dan kawan-kawan pada saat ini tentang kecerobohan dan kecurangan KPU. Hal itu dimulai dengan sikap penulis melakukan langkah golput alias tidak memberikan suara dalam pemilu kepala negara dan wakilnya pada tanggal 5 Juli 2004 yang akan datang. Yang dapat menghentikan “kegiatan” ini hanyalah Mahkamah Agung yang akan dilawan oleh penulis secara legal. Hanya lembaga itu yang memiliki wewenang atas boleh tidaknya sebuah kegiatan dilakukan berdasarkan undang-undang dasar atau undang-undang.
Hal lain yang merupakan proses yang mau tidak mau akan berlanjut terus, adalah pernyataan para mahasiswa, lembaga swadaya masyarakat, dan para cendekiawan yang merasa berkeberatan atas calon-calon presiden dan wakil presiden dari pihak militer. Sikap seperti itu dapat saja secara politis dinilai benar atau tidak, tetapi yang terpenting pengaruhnya atas perkembangan politik bangsa kita tidak dapat dianggap kecil. Inilah juga yang harus diamati dengan baik, dan diperhitungkan secara seksama akibat-akibatnya. Bukankah telah ada bukti bahwa akan ada titik tertentu yang mengakibatkan perubahan-perubahan mendasar dalam kehidupan bersama kita sebagai bangsa? Itu telah terjadi antara lain ketika Bung Karno digantikan oleh Pak Harto dalam tahun 1965-1966, terlepas dari mana yang benar dan mana yang salah. Perubahan yang terjadi memang dahsyat, karena menyangkut seluruh aspek kehidupan kita.
Karenanya, kita tidak boleh bermain-main dengan hal ini, karena potensi untuk menimbulkan “reaksi kekerasan politik” dalam kehidupan kita sebagai bangsa. Kita harus “mencari” pegangan, minimal secara politis dalam kehidupan ini. Sayangnya, para calon yang akan mengikuti putaran pertama pemilihan umum presiden dan wakil presiden tidak memiliki kemampuan untuk menghadapi kenyataan ini. Mereka sibuk dengan ikhtiar masing-masing untuk memenangkan jabatan kepala negara/wakil kepala negara melalui pemilu itu sendiri. Dengan kata lain, pendekatan yang mereka ambil sangat bersifat politis, dan memperlakukan aspek-aspek kehidupan lainnya secara subordinat (ditundukkan) kepentingan politis sesaat saja. Hal ini jelas akan semakin memperparah kehidupan kita sebagai bangsa.
Sebuah pertanyaan sangat besar muncul tanpa disadari dan direncanakan: akan ke manakah kita sebagai bangsa? Dapatkah para calon yang ada memberikan kepemimpinan yang diperlukan bangsa kita untuk menyelesaikan krisis yang ada? Inilah yang belum dapat kita jawab saat ini sebagai bangsa. Lalu, apa yang harus diperbuat dihadapan kenyataan seperti itu? Tidak banyak yang dapat kita perbuat, jawaban itu pun belum sesuai dengan yang diperlukan. Karenanya mau tidak mau kita lalu merasa puas dengan situasi politik sekarang ini. Situasi politik yang tidak dapat kita perkirakan dengan baik, apakah ini sesuatu yang modern atau tradisional.
Karenanya, NU-PKB harus membawa ke arah perubahan-perubahan semua bidang kehidupan, alias perkembangan ditentukan oleh “kemenangan” pihak yang melakukan modernisasi ataukah justru berakhir dengan kemenangan pihak “tradisional.” Tentu saja, ada yang berharap agar pihak yang melakukan modernisasi akan memperoleh kemenangan, walaupun realitas politik justru memperlihatkan kenyataan sebaliknya. Bagaimanapun juga kita sebagai bangsa tidak dapat hanya membiarkan perubahan-perubahan menuju “modernitas” yang hanya bersifat teknis belaka, seperti penggunaan komputer dan administrasi modern, sedangkan hal-hal dasar tetap tidak berubah, seperti tidak adanya kedaulatan hukum tidak ada upaya menghilangkan KKN, pendidikan tetap berdasarkan pandangan positivistik dan sebagainya. Hal-hal tersebut memang mudah dikatakan, tetapi perubahan-perubahan mendasar memang sulit dilakukan, bukan?